Kisah Pengusaha Warung Makan Melewati Masa Sulit Kala Pandemi. Sepi Pengunjung Hingga Ubah Strategi Jualan

Bangunan semi permanen berukuran 5 x 3 meter berdiri tegak di tengah perumahan komplek Dirgantara. Komplek yang terletak di Jalan Babarsari, Kecamatan Depok,  Kabupaten Sleman ini mayoritas dihuni para mahasiswa perantau dari luar daerah.

Advertisement

Warung Bu Parti, demikian para pembeli biasanya menyebut meskipun nama yang tertulis di banner adalah Warung Dirgantara. Tempat ini menjual berbagai menu makanan dengan harga terjangkau terutama bagi mahasiswa perantau. Berjajar kursi dan meja panjang yang menjadi tempat biasa para pembeli menyantap pesanannya, tak lupa sendok dan garpu tertata rapi di atasnya.

Suparti, wanita berusia 43 tahun dan suaminya Aris (44) merupakan pasangan suami istri yang berasal dari Gunung Kidul, Yogyakarta. Kesehariannya menjual berbagai makanan dan minuman untuk mereka yang ingin mengisi perut laparnya. Usaha yang sudah ditekuni bersama sang suami sejak 2004, hingga kini masih menjadi mata pencaharian utama mereka.

Dulu awal buka sekitar 2004, awalnya datang ke Dirgantara merawat orang jompo tapi satu tahun kemudian meninggal. Setelah itu saya merasa jika bekerja ikuti orang bakalan kurang mandiri kedepannya. Kebetulan saat itu ada kesempatan untuk berjualan makanan setelah meminta izin kepada Pak Budi (Kepala RT Dirgantara) untuk menggunakan lahan kosongnya, jelasnya.

Advertisement

Mayoritas pelanggan warung Bu Parti adalah mahasiswa dan para pekerja di sekitar komplek Dirgantara. Sekitar Pukul 12.15 WIB menjadi puncak kepadatan para pembeli pada tempat makan tersebut. Tak ayal antrian beberapa orang nampak terlihat saat memasuki jam makan siang.

Ahmad Prayoga (23) adalah mahasiswa Universitas Atma Jaya, sudah sejak lama tinggal di salah satu indekos yang terletak di komplek Dirgantara. Sudah sejak lama pula ia mengandalkan warung Bu Parti sebagai tujuan kala perutnya lapar.

Advertisement

Harganya sangat murah dibanding tempat makan yang lain soalnya. Sekali makan dengan nasi telur sama orek tempe cuma enam ribu, jadi bisa banget buat hemat pengeluaran, ujarnya.

Tempat yang sering terlihat ramai pada jam makan siang pada masa pandemi covid-19 menjadi sepi. Efek pandemi Covid-19 sangat terasa bagi usaha yang terbilang sederhana. Pelanggannya yang merupakan mahasiswa dari luar kota, satu persatu meninggalkan tanah rantau karena pemerintah menetapkan adanya pembatasan kegiatan masyarakat termasuk kegiatan belajar mengajar.

Wanita paruh baya tersebut mengaku, dulu saat keadaan normal kurang lebih 15 kilogram nasi habis terjual dalam sehari. Kondisi tersebut tak lagi ia alami selama pandemi Covid-19. Pada puncak pandemi tahun 2021 warung dengan atap asbes seng tersebut hanya mampu menjual 2-3 kilogram nasi dalam sehari, itu pun habis untuk konsumsi pribadi.

Waktu pada pulang (mahasiswa rantau) itu sepi banget kebanyakan hanya mas mas yang kerja bangunan. Kadang dalam sehari sering merugi daripada untungnya hingga saya dan suami mengganti jam bukanya hanya malam saja, agar tidak rugi-rugi amat, ungkap Bu Parti sambil membungkus nasi pesanan pelanggan.

Seiring berjalannya waktu pandemi yang mulai bisa dikendalikan, kini perlahan warung Bu Parti mulai ramai seperti sedia kala meskipun belum sepenuhnya. Mahasiswa yang mulai berkegiatan lagi di kampusnya membawa dampak positif kepada penjualan tempat makan tersebut.

Dengan iringan suara menggoreng salah satu menu pesanan pembeli. Wanita yang kini dikaruniai cucu menjelaskan kini sudah jauh lebih baik penjualannya. Dalam sehari setidaknya habis 7 kilogram, angka tersebut memang setengah dari penjualan normalnya dulu. Tetapi hal itu ia syukuri setidaknya tak ada lagi rugi yang ditanggung.

Kisah serupa dirasakan oleh Imam, pria paruh baya yang kini memiliki dua orang anak yang masing-masing duduk di bangku sekolah dasar. Sehari-hari Imam bersama istrinya berjualan menu makanan ayam geprek di teras rumahnya. Warung dengan warna merah menjadi identitasnya sudah ia rintis sejak 2021.

Imam menjadi salah satu diantara usaha penjual makanan yang mencoba memulai usahanya di tengah pandemi Covid-19. Berbekal keahlian membuat sambal khas pedesaan serta dukungan sang istri, pria yang mempunyai hobi bermain bola tersebut membuka warung makan dengan sebutan Cowek Desa. Letaknya yang berada di komplek Dirgantara menjadikan usaha suami istri ini menargetkan mahasiswa sebagai pelanggannya.

Melihat sebagian mahasiswa sudah kembali ke kampus ditambah masih banyak usaha warung makan yang tutup di sekitarnya, Imam mengaku tergerak melihat peluang tersebut. Satu bulan pertama warungnya buka ternyata sehari hanya mampu menghabiskan sekitar lima porsi ayam geprek. Pria berambut plontos itu memilih tetap konsisten buka meskipun di awal penjualan hanya sedikit pembeli, hingga saat ini warung Cowek Desa sudah ramai akan pelanggan.

Tak jauh dari warung Imam berkisar 3 kilometer ke arah timur kisah yang tak jauh berbeda  juga dirasakan Mbah Yam, wanita renta berusia 60 tahun sudah memulai usaha kecil dengan berjualan lauk pauk di salah satu ruangan rumahnya. Dengan wajah penuh ceria wanita bernama lengkap Maryam biasa menggelar dagangannya. Dirinya mengaku pandemi Covid-19 cukup membuat sulit usahanya, pelanggan yang sepi menjadi faktor paling menyedihkan.

Warung yang terletak di dalam gang sempit membuat usaha Mbah Yam jarang diketahui banyak orang. Beralamatkan Jl. Tambak Bayan III menjadikan warung yang terkenal dengan harga murah ini mayoritas pelanggannya adalah mahasiswa. Efek pandemi Covid-19 sempat memaksa Mbah Yam membuka warungnya dengan pilihan lauk yang apa adanya.

Dulu pas sepi banget sempat bikin lauk dengan bahan seadanya di dapur yang saya masak, terus buka juga cuma setengah hari, setelah jam makan siang sudah tutup, Ujar Mbah Yam.

Bermodalkan etalase kaca berukuran 1 x 1 meter, kini Mbah Yam sudah mulai merasa bangkit dan ramai kembali warungnya. Dengan senyum ramahnya ia mengaku jika beberapa bulan terakhir hampir selalu kehabisan stok makanan karena pelanggan yang ramai lagi.

Ketiga sosok pelaku usaha warung makan itu hanya segelintir dari puluhan usaha kuliner yang hampir gulung tikar karena hantaman pandemi. Meskipun pandemi belum benar-benar selesai, akan tetapi perlahan usaha mereka sudah menemui titik baliknya setidaknya jauh lebih baik dibanding puncak pandemi.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

saya adalah anak pertama dari dua bersaudara serta anak laki-laki satu satunya dalam keluarga. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

CLOSE