[CERPEN] Memetik Kecewa dalam Penantian

Aku juga sedang mengejar mimpi besarku agar aku tak menyesal pernah memutuskan menjadi pihak yang mengakhiri.

Aku masih saja setia menghitung hari yang ku lalui tanpa mencoba mendekati zona berbahayaku. Ya, zona berbahaya karena ketika aku berada di radius beberapa meter darinya seringkali tingkah ajaibku timbul ke permukaan. Percayalah bagiku itu sangat memalukan untuk dipertontonkan.

Advertisement

Teman-temanku yang menobatkan dirinya sebagai seorang netizen santuy sudah seringkali memberiku nasihat, bahkan dalam bentuk bullyan. Entahlah, di antara banyaknya kalimat baik itu bijak atau sok bijak sekalipun hanya satu yang dapat ku cerna dan terima. Sibuk.

Aku mulai dikenal di kalangan teman-teman angkatanku sebagai Mahasiswa Kura-Kura (Kuliah-rapat). Sebelumnya aku memang tidak masuk dalam golongan Mahasiswa Kupu-Kupu (Kuliah-pulang). Biasa saja, aku hanya mengikuti dua UKM di kampus.

So, kesibukan aku untuk ukuran seorang mahasiswa masih dianggap wajar. Bagaimana kabarnya semester ini? Kacau. Aku harap tubuhku mempunyai imun berlebih. Semoga.

Advertisement

Aku tidak pernah terbiasa dengan semester ganjil karena ia meninggalkan kenangan buruk yang tidak mungkin terhapus dalam memoriku. Dan lagi, aku terlalu malas melihat wajah pongah para senior dihadapan para Mahasiswa Baru. Ada tradisi di kampus yang membutuhkan regulasi baru nan tegas tetapi sayangnya bukan itu yang menjadi akar masalahku saat ini. Teorinya, manusia adalah makhluk sosial maka dari itu ia tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari manusia lainnya.

Tapi mengapa saat aku hanya sekadar melihatnya duduk diam sibuk dengan dunianya, aku merasa tidak lagi membutuhkan hal lain? Sungguh bucin sekali. Ah..jatuh cinta ternyata seperti ini rasanya. Tunggu dulu! Apa ini benar-benar cinta?

Advertisement

Aku benar-benar merasa tidak nyaman dengan perasaan aneh ini. Mengangguku. Bagaimana mungkin hanya karena melihat seseorang jantungmu dapat bertalu-talu sedemikian gilanya? Senyum tipisnya mampu membuatmu tersenyum tidak jelas sepanjang hari sampai terbawa mimpi dalam tidurmu. Lagi, suaranya dengan mudahnya menjadi melodi favoritmu. Melihatnya walau sekilas dapat mengangkat bebanmu, menghilangkan gundahmu, dan memberimu semangat kembali. Apalagi yang belum ku sebutkan?

Dari kejauhan aku melihat Putri berjalan tergesa-gesa menenteng tas laptopnya menghampiriku yang duduk manis di sofa depan ruang dosen, tempat bertapaku selama beberapa hari ini karena Dosen Pembimbing Akademik aku yang tiba-tiba menjadi makhluk halus.  Tidak dicari sering berpapasan di koridor fakultas sekalinya dibutuhkan menghilang. Terkadang dosen juga menjelma menjadi tukang PHP.

“Sabar..sabar..Ingat sarjana, Ra.” Batinku.

Aku terkekeh geli ketika Putri telah menghempaskan tubuhnya duduk persis di sebelah kananku. Ia mengusap keringat di wajahnya dengan penampilan tak lagi serapi tadi pagi dikelas. Aku mengernyitkan dahi menatap Putri heran, kesal tapi kasihan.

“Dari mana aja sih? Bau matahari banget!” Ucapku menutup hidung memberikan sedikit jarak antara aku dan Putri.

“Beneran?” Tanyanya sambil mengendus tubuhnya sendiri, “Upss..Sorry!” Ucapnya meminta maaf kembali menyenderkan tubuhnya pada kepala sofa.

“Kamu tahu nggak?” Setelah asyik dengan dunia masing-masing Putri memecah keheningan yang ku jawab dengan singkat, padat dan jelas.

“Nggak tahu.” Jawabku sukses membuat Putri mendelik kesal padaku.

“Kamu kok jawabnya gitu? Sedih aku.” Kata Putri mendramatisir keadaan, “Tapi ini beneran penting. Seriusan deh!” Lanjut Putri berusaha meyakinkan aku.

Aku memalingkan wajahku menatap pintu keluar kosong. Aku sudah tahu apa yang akan disampaikan oleh sahabat karibku itu. Aku hanya belum siap mendengar namanya lagi. Aku sudah melangkah cukup jauh. Setahun enam bulan lima belas hari.

“Sstt..Dion tahun ini mencalonkan diri sebagai Presiden BEM fakultas. Keren nggak tuh?”

Kalimat Putri berhasil mengacaukan sistem kerja otakku. Telingaku berdenging dan jantungku dengan tidak tahu malunya kembali berdetak kencang seolah mengenali dan menangkap sesuatu yang akrab ku tulis dalam bait puisiku selama ini.

“Udah tahu.” Ujarku malas.

“Wih! Katanya udah move on tapi masih tahu semua berita terbaru tentang dia. Gercep lagi.” Komentar Putri menyentil egoku.

“Tidak sulit mendapatkan informasi tentang dia, Put. Mau hindarin juga pasti cepat atau lambat tahu juga gosipnya. Bukan cuma internet aja yang membantu proses penyebaran informasi. Mulut nyinyir netizen juga bisa menjadi salah satu alat perlengkapannya. Kamu ingatkan? Sekarang beberapa negara di dunia itu sudah punya nuklir agar ditakuti dan disegani oleh negara lain. Nah! Pertanyaannya sekarang adalah apa yang dimiliki Indonesia?”  Tanyaku retoris.

“Utang?” Jawab Putri dengan wajah ngeri.

“Salah.”

“Mobil esemka?”

“Salah.”

“Bodohlah! Aku malas mikir.” Ucap Putri menyerah.

“Indonesia punya netizen. Bayangin aja karya mereka melalui jemari lincahnya bisa melukai seseorang sangat dalam walau tak berdarah. Wajah mulus dikatain perawatan mahal, muka plastik. Jerawatan malah dibilang nggak rajin cuci muka. Diam di rumah katanya pemalas, sekalinya sering keluar rumah dikatain suka keluyuran nggak jelas. Belum lagi..”

Stop! Gini nih kalau keseringan sok sibuk nggak ada waktu buat diri sendiri. Sekali-kali refreshing dong!” Seru Putri memutar kedua bola matanya jengah tepat dihadapanku.

“Pulang yuk, Put. Atau kita main ke Time Zone dulu. Temenin.” Putusku setelah mendengar ucapan Putri. Dia ada benarnya juga. Mungkin saja dengan sedikit bermain sebentar hingga lelah berhasil membantuku tertidur tanpa mengkhayalkan bagaimana hari yang dia lewati tanpaku.

“Kuy! Aku temenin. Kurang baik apalagi coba sahabat kamu ini.” Ujarnya merangkul pundakku.

Sebelum keluar dari ruang tunggu dosen seseorang yang paling tidak ingin aku jumpai tertangkap mataku. Lucu yah, terkadang semakin kita menghindari pertemuan dengan seseorang takdir justru sangat senang mempermainkan dengan mempertemukan kita dengan orang tersebut. Sialan.

“Hai!” Sapanya tersenyum cerah. Senyuman itu seperti racun yang mematikan.

“Hai!” Balas Putri setelah selesai dengan keterkejutannya menyelamatkan aku yang tiba-tiba membisu.

“Udah mau pulang yah?” Tanyanya kepada kami yang kompak menganggukkan kepala menjawab pertanyaan si dia yang malas aku sebut namanya.

“Kalian berdua tahu nggak gue tahun ini mencalonkan diri sebagai presbem? Jangan lupa pas pemilihan nanti pilih gue yah! Dukungan kalian sangat berarti buat gue. Kalaupun nggak mau pilih gue, datang aja. Gunakan hak pilih kalian. Okay?” Ucapnya mengacungkan jempolnya dengan senyum merekah mampu membuatku menahan nafas selama beberapa detik.

Salah! Semenjak kedatangannya aku memang sudah menahan nafasku sendiri. Aku tidak tahu jika hal sekecil ini masih mengangguku. Sama sekali tidak membuatku nyaman.



“Iya-iya cerewet.” Jawab Putri menarik tanganku meninggalkan seseorang yang membuat keringat dingin keluar dari tubuhku.

Tetapi lagi-lagi sepertinya dia tahu ketika aku mulai menarik diri darinya. Dia selalu menemukan cara baru bagaimana membuatku menunggu dalam ketidakpastian. Menunggu datangnya takdir menjawab resahku.

“Fara!” Tegurnya cukup keras, “Aku menaruh harapan lebih dengan kamu.”

Savage.

Aku sama sekali tidak berani memutar tubuhku. Aku ingin menertawakan nasibku sendiri. Semudah itu? Seriously? Gila.

“Gue dipihak lo kok.” Ujarku kali ini balas menarik lengan Putri keras terkesan menyeret. Aku mau segera menjauh darinya. 



“Ra, kamu baik-baik ajakan?”Tanya Putri khawatir setelah kami sudah jauh meninggalkan tempat tadi.

Aku menggelengkan kepalaku, menunduk lesuh mencari tempat duduk terdekat menyembunyikan kakiku yang gemetaran. Ku rasakan Putri mengusap punggungku pelan memberi kekuatan. Di antara teman-temanku memang ku akui Putri mengetahui banyak hal tentang hubunganku dengan Dion. Putri tahu apa saja yang sudah aku lakukan demi lepas dari cengkraman mimpiku. Putri pula yang menjadi salah satu saksi perjanjian bodoh antara aku dan Dion.

“Menunggu kesuksesan masing-masing untuk sebuah hubungan. Perasaan urusan belakangan. Cinta adalah suatu unsur sensitif bagi aku dan Dion karena itu dapat menghambat kami mewujudkan mimpi-mimpi kami. Jadilah aku dan Dion yang sekarang. Sepakat mengesampingkan perasaan masing-masing. Menunggu masa depan menghampiri lalu menyapa. Tiada yang tahu akhir semua ini.”

Sebab semua orang menunggu tapi tidak semua orang senang menunggu. Kita semua menunggu, setidaknya sama-sama menunggu kematian. Menunggu tidak hanya tentang siapa yang paling sabar tetapi siapa yang paling egois. Egois untuk mempertahankan atau egois untuk meninggalkan. Sekali lagi, tidak semua orang senang menunggu.

Aku memilih meninggalkan. Aku juga sedang mengejar mimpi besarku agar aku tak menyesal pernah memutuskan menjadi pihak yang mengakhiri. Mari menunggu masa depan. Perkara siapa yang akan menang biarlah menjadi tugas waktu. Kali ini aku memetik kecewa sendiri karena telah bodoh menunggu dalam kesalahpahaman.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Trying my best?

CLOSE