Mengorbankan Mimpiku Demi Siap Menghadapi Realita Kehidupan

Memilih jalur aman

Pernahkah saat masih kecil kalian menginginkan sebuah profesi atau pekerjaan yang memang sangat kalian impi-impikan? Menjadi dokter gigi yang ramah, news anchor yang elegan, musisi yang disukai banyak orang, atau masih banyak pekerjaan atau kegiatan lainnya. Semua hal tersebut adalah hal yang sangat maklum dan saya yakin kita semua pernah mengalami fase tersebut, termasuk diri saya.

Advertisement

Yang saya rasakan, seiring berjalannya waktu, semakin dewasa diri, semakin realistis juga pemikiran kita terhadap sesuatu, termasuk masa depan. Itulah mengapa setiap kali saya naik kelas, pasti cita-cita atau impian saya selalu berubah-ubah. Menurut saya, hal ini juga disebabkan karena masa-masa sekolah adalah fase dimana kita mencari passion dan jati diri kita.

Semakin dewasa, saya juga makin menyadari bahwa profesi atau pekerjaan itu sangat beragam, tidak hanya dokter, astronot, dan lainnya seperti yang hanya kita bayangkan saat masih kecil, karena kita telah sampai pada era disruptif dimana yang ditekankan adalah kolaborasi sehingga, lapangan pekerjaan pun semakin luas di berbagai ranah, contohnya seperti di ranah media, bisnis, desain produk, website desain, dll.

Saya memiliki ketertarikan yang cukup besar dalam bidang seni, terutama musik dan tari. Ketertarikan saya terhadap seni, sudah nampak pada saat saya berada di sekolah dasar. Walaupun jika ditanya apakah cita-cita saya ketika kelak dewasa nanti? Saya selalu menjawab jawaban seperti anak kecil lain pada umumnya “dokter”, “astronot”, dll. tentunya profesi-profesi tersebut adalah profesi yang sangat bagus. Namun sangatlah klise jika ditanyakan pada anak yang belum tentu dirinya tahu dan benar-benar ingin menjadi apa yang telah ia sebutkan.

Advertisement

Sejak kelas satu hingga kelas enam, saya tidak pernah absen untuk selalu ikut ekstrakulikuler tari tradisional. Tidak hanya itu, saya sangat suka berpartisipasi dalam acara-acara pentas seni di sekolah, salah satunya adalah pentas seni ajang pertunjukan bakat yang selalu diadakan setiap bulannya. Dalam acara tersebut, saya biasanya ikut serta menunjukan bakat menyanyi saya, namun sayangnya pada saat itu saya belum mempunyai rasa percaya diri sehingga saya belum dapat menunjukan bakat saya dengan maksimal.

Saat menginjak di sekolah menengah pertama, kepercayaan diri saya mulai muncul. Saya mengikuti klub band yang aktif dipanggil untuk tampil di acara-acara kecil dan tak jarang juga acara besar dari sekolah. Pada waktu itu pula setiap bulannya, di sekolah diadakan assembly, dimana murid-murid dari tiap kelasnya harus menampilkan suatu persembahan dalam bentuk apapun, dengan tema tertentu. Kelas saya menampilkan drama “Si Pitung” dan kebetulan saya mendapat kesempatan untuk memainkan peran Lala, seorang perempuan asal Belanda, yang mana adalah pemeran utama wanita. Lala menjadi first role saya dalam ber-akting. Dari pengalaman tersebut jugalah, saya mulai tertarik dengan dunia akting.

Advertisement

Pada masa-masa di sekolah menengah atas, saya mulai menyadari bahwa saya memiliki ketertarikan dan passion dalam dunia performing arts. Saya menyukai bagaimana seni musik, tari, dan peran disatukan menjadi satu dan disajikan dengan cantik diatas panggung. Saat itu, saya memiliki rencana bahwa saya akan masuk ke kampus yang memiliki jurusan tersebut.

Pada saat saya memberi tahu orangtua saya jika saya ingin melanjutkan sekolah saya dengan mengambil jurusan performing arts saat kuliah nanti, mereka pun mendukung keputusan saya, namun ayah saya bertanya satu pertanyaan yang menurut saya cukup membuat jantung saya berdegup sekali namun kencang sampai membuat saya terdiam, “kalau sudah lulus mau jadi apa?”.

Memang ada jawabannya, namun pertanyaan itu membuat saya berpikir jauh. Saya berpikir mengenai seni teater atau pada dasarnya seni itu sendiri yang masih banyak belum bisa diapresiasi dengan sepantasnya di negara kita ini. Saya berpikir tentang kedua orangtua saya yang sudah pensiun dari pekerjaannya dan masih harus menanggung kebutuhan pendidikan saya nantinya.

Saya sangat ingin untuk keluar dari zona nyaman dan tetap mengambil resiko untuk berkuliah jurusan performing arts pada saat itu. Namun, rasanya seperti realita menampar saya di pipi dan mengatakan kepada diri saya agar memperhatikannya dan tidak berpikir terlalu naif.

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk memilih jalur yang aman dengan memilih jurusan lain. Walaupun saya tahu, jalur aman ini tidak sepenuhnya “aman”. Di usia saya yang pada waktu itu hanya 16 tahun, ada momen dimana saya menghela nafas panjang dan mengatakan “this is real life”.

Terkadang memang kita harus mengorbankan mimpi kita demi realita. Namun, saya tidak sepenuhnya menyerah dan berpikir bahwa ini semua adalah akhir dari mimpi saya. Saya selalu mencari cara lain untuk menyalurkan passion dan bakat saya sebagai hobi.

Selain itu, saya menemukan bahwa di jurusan saya sekarang, saya dapat bertemu dengan teman-teman saya yang mempunyai hobi dan kesenangan yang sama sehingga seringkali kami bertukar pikiran mengenai hal seputar tersebut dan justru malah semakin termotivasi untuk terus berkarya dan menyalurkan bakat yang saya punya.

Satu pemikiran yang masih saya tanamkan hingga sekarang, “reality does slaps sometimes, but it doesn’t make you to stop doing what you love as long as you mean it”.

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

CLOSE