#RemajaBicaraKespro-Bukannya Tak Mau Buka Suara, Namun Menjadi Korban Pelecehan Seksual Tidaklah Semudah itu Nyatanya

Kepada siapa ku bisa dapatkan pelukan dukungan?

Di hari itu seseorang telah terperangkap di suatu ruangan gelap yang disebut stigma masyarakat. Tubuhnya meringkuh di sudut sana dengan sesak di dada dan luka di fisiknya. Ia menahan pilu atas keadaan yang membuatnya bertanya-tanya, apa yang telah ia perbuat hingga membuatnya berada di penjara kelam dengan rasa sakit yang seakan tak ada ujungnya.

Advertisement

Potongan memori akan kejadian kemarin terlalu nyata sehingga membuat kepalanya berdenyut, menimbulkan rasa sakit yang sudah ada kian menjalari seluruh tubuhnya. Di ingatannya masih terasa segar betul bagaimana semua ini berawal. Sebuah peristiwa yang membuatnya kini harus menanggung pedih di balik kata tabu yang dilemparkan oleh orang-orang di sekitar untuknya.

Seingatnya, ia hanya mampu terdiam. Suatu respon reflek yang umumnya dirasakan manusia saat ia bertemu dengan suatu keadaan yang membuatnya kaget dengan kepala kosong, dimana ia tak mengerti apa yang sedang terjadi sehingga ia pun juga tak tahu apa yang mesti dilakukan. Tiba-tiba ada orang yang tidak ia harapkan datang dan melakukan hal itu kepadanya. Dan begitulah apa adanya, semuanya terjadi begitu saja.

Hatinya seakan teriris saat sebuah pertanyaan terlontar sebagai tanggapan dari peristiwa yang telah dialaminya itu. 

Advertisement


“Mengapa kamu diam saja? Ataukah kamu juga menikmatinya?”


Sungguh tanggapan ironi yang harus diterima korban dari sebuah tindak asusila. Bagaimana bisa ia memikirkan upaya membebaskan diri dari pelaku saat dirinya sendiri hanya mampu membeku di tempat. Bagaimana bisa kata menikmati dituduhkan sementara yang ia rasakan hanyalah kesakitan. Bukan pelukan yang ia dapatkan, justru tanggapan-tanggapan memojokkan seakan ia juga turut bersalah dalam hal ini.

Advertisement


“Kamu sih, pakai baju kurang tertutup.”

“Kamu sih, kenapa sendirian di tempat begitu.”

“Kenapa nggak teriak minta tolong, nggak lari.”


Dan pertanyaan beruntun lainnya yang membuat rasa sakitnya semakin menganga karena ucapan dari mereka-mereka. Hingga membuatnya kini ragu akan diri sendiri. Menyalahkan diri atas kejadian yang dialami, mengapa ia malah begini, mengapa ia malah begitu, harusnya ia begini, harusnya ia begitu.

Terlempar jauh dirinya terjebak dalam rasa rendah diri. Sampailah ia kemudian berada di satu titik, semua ini salahnya. Hanya salahnya dan ia penyebabnya. Ia benci atas tubuhnya dan hidupnya.

Lebih mengerikan lagi, di saat ia ingin berdiri demi mengais secuil keadilan, namun hanya jalan buntu yang ia temukan. Kuasa dari si pelaku membuatnya terjebak diam tak mampu berbuat apa-apa. Ancaman yang lebih mengerikan hingga pembalikan fakta atas kejadian membuatnya bungkam sendirian.

Naasnya pula, ia hidup dan menjadi rakyat dari suatu negara yang kondisi keadilan hukumnya ibarat tajam ke atas tumpul ke bawah. Mengharuskannya mau tidak mau kian lebih berhati-hati dalam membuka jendela keadilan agar ia tak terjegal oleh praktik hukum yang ada. Jika begini, kemana lagi ia dapat menggantungkan nasib pilunya jika negara saja tak berpihak atas beban yang diderita rakyatnya?

Belum lagi stigma sosial yang membuatnya benar-benar merasakan apa itu penjara tak kasat mata. Tatapan jijik, cemohan kasar, dan segala perlakuan menyakitkan lainnya yang membuat beban lukanya kian berlipat-lipat. Lingkungan sekitar yang seharusnya memberikan pelukan kehangatan dan meyakinkan dirinya untuk mampu bertahan melewati luka yang ia rasakan, malah berbondong-bondong melemparkan berbagai tanggapan menyakitkan.

Seakan setelah ia mengalami kejadian mengerikan itu, seluruh hidupnya akan berubah. Belum lagi jika ia seorang perempuan yang seakan hidupnya sudah berakhir sejak setelah kejadian itu dialaminya. Masa depannya dipertaruhkan, hancur lebur seakan ia tak miliki kesempatan untuk hidup baik-baik saja seperti sedia kala.  

Kini di tengah keputusasaannya ia bertanya-tanya, adakah celah untukku mampu kembali hidup bahagia?


Dunia menyepelekan luka batin dan raganya. Bahkan, ia dan kisah kelamnya itu dianggap tabu untuk diangkat di permukaan.

Mana pelukan hangat dengan bisikan kalimat 'semuanya akan baik-baik saja' yang seharusnya ia terima?


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Abadi meski berlalu.

CLOSE