Menjadi Orang Yang Tidak Memaksakan Keadaan

Ekonomi keluarga kami pas-pasan. Ayah bekerja sebagai guru SD, sementara Ibu sebagai ibu rumah tangga. Agar dapur tetap mengepul, Ayah dan Ibu turut mengurus ladang warisan keluarga. Buah dari jerih payah  itu dapat membantu ekonomi keluarga, persediaan santapan di atas meja dapat ditanggulangi.

Advertisement

Kami lima bersaudara. Tiga  laki-laki, duanya perempuan. Meski lahir dengan keterbatasan ekonomi, orang tua kami sadar, pendidikan  itu kunci kesuksesan. Makanya mereka  mengutus kami untuk meraih cita-cita sesuai harapan yang tumbuh dalam diri, tetapi tetap disesuaikan dengan ekonomi keluarga.

Dengan kondisi ekonomi pas-pasan, bagi keluarga kami, tak mudah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Acap kali  kala duduk di jenjang pendidikan menengah, saya kewalahan melawan keinginan yang kerap tidak terpenuhi. Rasanya cukup risih dan sedih, saat melihat teman-teman yang lain memegang es krim di  tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang kue donat. Sementara saya hanya duduk di pojokan sembari meneteskan air liur. Seketika saya mengutuk kemiskinan. Ia telah mencuri kebahagian dalam diri ini. Masa remaja sebagian direnggutnya.  

Pendidikan menengah termasuk fase terberat. Saat itu, dua kakak saya sedang mengenyam pendidikan, satunya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, satunya pendidikan menengah atas. Gaji Ayah yang pas-pasan dikelola Ibu dengan sebaik-baiknya. Ibu amat hebat agar kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan dua-duanya terpenuhi. Entah bagaimana metode yang Ibu pakai. Sekarang saya kadang bingung kalau mengingat masa-masa itu.

Advertisement

Dulu, di belasan tahun lalu, kala masih SMP dan SMA, saya mengenyam pendidikan di ibukota kabupaten. Jarak dari tempat tinggal kami cukup jauh. Saya tinggal di asrama. Biaya hidup sehari-hari ditanggung Ayah dan Ibu.

Saban bulan saya membutuhkan uang bulanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama tinggal di asrama. Uang bulanan pemberian Ibu amatlah pas-pasan.  Saya kerap mencap Ibu sebagai manusia kikir di atas muka bumi. Pemicunya gara-gara uang bulanan yang tak masuk akal.

Advertisement

Akhir bulan, saya pulang ke rumah. Tujuannya untuk mengambil jatah beras selama satu bulan sekaligus meminta uang bulanan. Seingat saya, masa-masa itu, setiap saya pulang dari rumah, lembar duapuluh ribuan menjadi bekal selama satu bulan. Kadang saya merengek agar ditambahkan uang bulanan. Trik itu gagal, Ibu tidak peduli.

Kalau sudah begitu, saya angkat kaki menuju tepi jalan, menumpang angkutan umum untuk kembali ke kota. Di dalam angkutan umum, kemiskinan kembali dikutuk. Ia mengagalkan keinginan yang ada dalam diri. Keterlaluan memang.  

Selesai pendidikan menengah atas, saya kembali ke kampung. Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan sementara waktu. Setahun saya di kampung membantu Ayah dan Ibu. Kadang saya menjadi buruh, kondektur dan tukang ojek. Pekerjaan itu saya lakukan untuk meringankan beban keluarga. Apalagi saat itu salah satu kakak saya sedang berkuliah di Kota Pancasila, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Selama di kampung saya begitu terenyuh melihat pengorbanan Ibu. Ia kerap bekerja di sawah seorang diri saat Ayah sedang mengajar di sekolah. Begitu melihat pengorbanannya, saya merasa malu karena telah meminta lebih pada Ibu. Ternyata tidaklah mudah mendapatkan sesuap nasi. Semenjak itu saya memilih untuk menerima setiap pemberian dari orangtua.

Setelah setahun hidup di kampung, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Bertujuan menjadi Guru SD, sama seperti pekerjaan Ayah. Empat tahun menuntun ilmu di bagian  barat Pulau Flores, niatnya menuntaskan kuliah dalam waktu yang tepat.

Masa-masa kuliah saya habiskan waktu dengan pelbagai urusan kampus. Terkadang Ayah dan Ibu mengunjungi tempat saya. Mereka datang untuk mengecek perkembangan selama proses perkuliahan. Dukungan dari mereka secara tidak langsung melenggangkan langkah kaki saya selama mengenyam pendidikan. Berita baiknya, saya lulus tepat waktu, Ayah dan Ibu turut hadir saat saya diwisudakan.

Sekarang sudah tiga sarjana lahir dari keluarga kami. Tiga-tiganya sarjana pendidikan. Foto-foto saat kami diwisudakan tertempel di dinding ruang tamu. Si sulung menjadi PNS. Ia Guru SD. Sementara anak yang kedua menjadi karyawan swasta di Pulau Dewata, sedangkan saya menjadi Guru SD. Bonusnya, saya lulus PNS di tahun 2020 kemarin. Duanya lagi sedang mengenyam pendidikan, satunya di pendidikan menengah atas, satunya di perguruan tinggi.

Melihat pencapaian di titik ini, saya sadar, hidup  tak akan baik saat mengikuti keinginan, cukup menyesuaikan dengan kebutuhan. Terima kasih seribu, Ayah dan Ibu. Sehat-sehatlah kalian.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta Kopi Colol dan Sopi Kobok. Tinggal di Manggarai Timur, Flores. Amat mencintai tenunan Mama-mama di Bumi Flobamora.

CLOSE