Susahnya Menjadi Perempuan Zaman Sekarang. Dikit-dikit Sering Dapat Komentar Orang

Susahnya jadi perempuan

Sering saya dengar bahwa menjadi perempuan itu cukup berat. Tidak pernah ditujukan langsung kepada saya, namun ketika mendengar seseorang atau perempuan berbicara ke perempuan lain rasanya ada sesuatu yang berontak dalam diri saya.

Advertisement

Saat dibilang “Karena perempuan, disegerakan saja. Jangan lama-lama”. Tidak sama persis tapi diisyaratkan agar tidak ketuaan. Iya, ini tentang desakan menikah. Stigma tentang perempuan menikah pada usia "tidak lagi muda" dan kepemilikan anak.

Rasanya, kok berat sekali menjadi perempuan. Serba salah, serba terbatasi.

Benar adanya bahwa kita tidak boleh mematutkan diri pada omongan orang. Tapi saya kira kita harus saling mengedukasi. Kita sesama perempuan harus saling memberi dukungan dan sebagai sesama manusia harus saling mengasihi. Lisan mudah dikatakan karenanya daripada mencipta dosa mending berlomba bagaimana menjadikannya suatu pahala.

Advertisement

Bagaimana jika kita membayangkan berbagai skenario di kepala kita.

Perempuan yang tak kunjung menikah itu ternyata definisi bahagia masa kininya adalah saat bertemu banyak orang dan mengisi banyak ruang.

Advertisement

Perempuan yang tak kunjung menikah itu ternyata sedang memenuhi diri dengan banyak ilmu dan persiapan mental agar kelak menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab saat berkeluarga.

Perempuan yang tak kunjung menikah itu ternyata masih ingin mendedikasikan dirinya penuh pada keluarga dan negara.

Perempuan yang tak kunjung menikah itu ternyata masih dalam pencarian jati dirinya agar kelak lebih damai dan siap saat bersama dengan satu keluarga lainnya.

Perempuan yang tak kunjung menikah itu rupanya diizinkan lebih banyak oleh Tuhan pergi ke sana-sini memberi bantuan kemanusiaan bagi saudara di belahan bumi lain.

Jadi, daripada memburu, lebih baik bertanya dulu. “Apakah ini bahagiamu sekarang? Aku mendukungmu. Semoga diberkahi Tuhan. Bila saatnya tiba, saya yakin kamu bertemu dengan orang yang luhur sebagaimana kamu. Tuhan menyayangimu.”

Coba bandingkan. Rasanya lebih meneduhkan bukan?

Bagi saya, bukannya melihat pernikahan terlalu rumit atau menakutkan. Tapi, rasanya untuk menjalankan peran dengan baik, ada banyak tanggung jawab di sana. Maka, penting bagi kita untuk selesai dengan diri sendiri. Agar tidak terlalu menyakiti banyak hati.

Sederhananya, misal masa main-mainmu ternyata masih berasa kurang lantas setiap hari mengeluh saat harus mengurus anak, rumah lantas melalaikan. Bukankah artinya ketidaksiapan itu memakan korban?

Bukan hanya kesiapan materi, namun terutama mental.

Lalu, tentang buah hati. Memang benar perempuan ada “batas biologis”. Namun itu bukanlah batasan mutlak. Karena turunnya rezeki sebagian dari ikhtiar dan sebagian besarnya lagi dari kehendak Tuhan. Kenapa harus meragukan Pencipta kita sendiri?

Terkadang manusia lupa dan seolah menjadi Tuhan. “Disegerakan saja, nanti keburu tua tidak bisa punya anak”. Saya tidak paham, konsep nasib dan takdir menjadi hilang. Apa lupa kalau hidup sudah ada yang mengatur?

Coba diganti dengan “Semoga diberikan yang terbaik. Rejeki tidak kemana, apa yang terjadi pasti memiliki alasan dibaliknya. Saya bantu doa ya”.

Dulu ditanyai menikah. Sudah menikah ditanyai anak. Yang dikejar pasti perempuannya. Jika tidak kunjung tiba lantas yang dipandang sebelah mata perempuan Apakah tanggung jawab sepenuhnya di perempuan saja? Bagi saya ini adalah ketidakadilan. Manusia mana yang bisa mewujudkan sesuatu tanpa izin dari Tuhannya?

Saya pun juga masih belajar. Cara pandang saya tidak sepenuhnya tepat bila dilihat dari sudut yang lain. Tapi pesan utamanya adalah bahwa sebaiknya kita merangkul dan mendukung saudara kita dalam kebaikan. Agar lebih banyak terucap syukur daripada kufur.

Sekali lagi, kita tidak pernah tahu bukan seberapa maknanya perkataan kita kepada orang lain? Well, I believe in the power of words.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE