[CERPEN] Menunggu Mati di Oymyakon

Mungkin saja neraka tak terbuat dari api yang panas, melainkan dari dingin yang mencekam.

Yang tak bisa dihindari dan dilindungi adalah kematian. Menunggu kedatangan kematian ada hukum wajib. Bukannya sudah jelas manusia hidup menunggu mati. Itu pikiran dari benak seorang pria yang baru saja kehilangan istrinya. Namanya George, ayah dari lima bersaudara. Dia tinggal di Oymyakon, kota yang berada di atas permukaan laut kutub utara. 

Advertisement

Kau tahu bukan? Oymyakon–Siberia. Suhu rata-rata di bulan januari dibawah 50 derajat celcius. Kota nyaris putih. Salju dan es menutupi permukaan apapun. Tanah, jalanan, tiang listrik, pucuk pohon, rumah-rumah hingga wajah dan janggut lebat penduduknya. George selalu berkata pada anak-anaknya bahwa selama ini orang mengira hanya api satu-satunya yang dapat membakar. Kenyataannya rasa dingin yang menusuk kulit hingga ke tulang-tulang lebih menakutkan dari rasa sakit di dunia. 

Mungkin saja neraka tak terbuat dari api yang panas, melainkan dari dingin yang mencekam. Beku, mengeras lalu hancur berkeping-keping. Mereka hanya tinggal menunggu kapan tubuhnya hancur akibat hiportemia.

***

Advertisement

Kebanyankan rumah di Oymyakon masih saja mengandalkan batubara dan juga kayu yang dibakar untuk menghangatkan tubuh. Oymyakon mengalami musim dingin yang ekstrim.

Sebuah ruang tempat George dan anak-anaknya berada di terangi oleh api di tungku. Mereka mendengarkan George sambil menatap lida api yang merah. Mereka mendengar dengan seksama kenapa kota mereka begitu dingin. Pada mulanya kota hanya berhubungan dengan hal-hal yang tampak asing saja. Menurut banyak sumber yang mereka ketahui, Oymyakon menjadi tempat terdingin dibelahan bumi. Agak ironis bukan sebutan kota mereka.

Advertisement

***

Kabut masih mengembang di Pegunungan. Melayang menuruni bukit-bukit. George bersama anak-anaknya berjalan di tengah salju.

“Bahkan setan pun tak bakal mau hidup di tempat sedingin ini,” Penipple menggerutu, anak pertama George yang suka memgeluh. Mereka bersisian di lereng bukit. Saat George sedang memikul salmon beku sementara Penipple memekik kedinginan meski telah memakai baju tebal. Dingin yang tak biasa menghantam kota. Engsel-engsel jendela rumah penduduk tak dapat dibuka. Butiran demi butiran salju terlihat berjatuhan di atas pucuk cemara juga sudah memutih.

George tersenyum kepada Penipple. Dia berkata,”Kau sudah berjuang, anakku. Kau akan baik-baik saja.”

Penipple kesal mendengar ucapan George, lalu dia berjalan lebih cepat darinya.

Di gubuk yang tak seberapa bagus itu, maka hanya kesibukan yang mampu menghibur George. Di dalam tumpukan kayu. Tempat satu-satunya dimana dia bisa bicara sendiri, menghangatkan tubuh sambil mengenang Istrinya. George tak menangis ketika istrinya jatuh sakit dan meninggal. Pada waktu penguburan, dia mendekap kelima anak-anaknya sambil berkata, “Ayah baru saja bertemu Ibu kalian dalam sosok malaikat. Dia memberitahu, bahwa ibu kalian baik-baik saja.

Maka kitapun demikian.” Itulah cara George untuk menenangkan anak-anaknya agar tak cepat menangisi yang telah tiada. Penipple menatap wajah ayahnya. Meski ibunya telah tiada, George selalu tenang. Dia menggerutu dalam hati. Mengapa, ayah selalu tenang dan terus berkata baik-baik saja sementara mereka tahu betul kalau ini hanya perkara waktu menunggu kematian dari perlawanan hiportemia.

George tengah menyiapkan makan malamnya. Kelima anak-anaknya berebutan menghangatkan tubuh sambil membaca buku yang mereka dapatkan dari para pendaki yang datang. Seperti biasa, Penipple selalu saja mengeluh ini dan itu pada George.

“Ayah, apa tak sebaiknya kita keluar dari kota? Kau tahu, kota ini tempat orang-orang menunggu kematian yang ironis. Beku lalu hancur berkeping-keping. Aku tak ingin mati dengan cara itu.”

George seperti biasa selalu tersenyum pada anaknya, “Penniple, sayang, hidup kita akan selalu tenang dan menggairahkan ketika kita ikhlas menjalani.”

Penipple sudah lelah melihat ketenangan tersirat di wajah George. “Tak usah lah, membahas perkara ikhlas. Kau hanya seorang ayah yang tak ingin terlihat lemah di hadapan kami bukan? aku ingin mendatangi kota terang agar aku tak mati beku seperti ibu.”

Sontak anak-anak George yang lainnya turut mengangguk mengiyakan ucapan Penipple.

Lagi-lagi George hanya bersikap tenang. Seolah-olah semua tampak akan baik-baik saja. Anak-anak George lainnya saling melempar pertanyaan mengenai, dimana kota terang itu. Sebab dingin menjadi hal yang merusak kebahagiaan kota. George hanya mendengar keluhan-keluhan anak-anaknya dan pada akhirnya George hanya bisa berkata, “Mari makan, anak-anak.” Kelima anaknya duduk lebih dekat ke tungku. Dimulai dengan George membagikan semangkok sop dan daging kelinci hasil buruannya.

Meski hidangan yang tersaji merupakan hidangan yang biasa mereka makan–semangkuk sop bening, sesungguhnya setiap kali George melihatnya, dia sedih, sebab hidangan buatannya tak seenak buatan istrinya. Namun dia merasa sedikit lebih lega, ketika melihat anak-anaknya selalu berebutan saat menyantapnya. Da lalu meraih mangkuknya.

Pipi dan hidung mereka tampak memerah, dan menghabiskan makanan itu dengan lahap. Tak terbayangkan oleh mereka bahwa yang mereka santap itu adalah makanan orang miskin. Bagi keluarga George, tak ada yang lebih mewah daripada makakan ini. George sendiri tersenyum gembira, meski kematian istrinya baru pekan lalu tapi dia seolah terlihat baik-baik saja meski kenyataan mereka hanya makan untuk menunggu mati.

***

“Masih ada daging rusa yang kita dapat dari berburu, dan masih ada sayur-mayur di gudang, jadi kita bisa makan banyak.” ujar George untuk meyakinkan dirinya mengenai keadaan keluarganya saat ini. Tak ada daging istimewa di Oymyakon, selain daging rusa dan kelinci.

Begitu hari menjadi gelap, suara langkah-langkah kaki terdengar mngendap-endap dan bayangan hitam muncul. Halu, Anak bungsu George terbangun. Sudah menjadi kebiasaan Halu terbangun di tengah malam. Dia bermimpi buruk. Apakah karena dia mendengar suara pendaki yang akan menyelamatkan kehidupannya dari kedinginan di tengah malam buta, ataukah suara orang yang kelaparan di tengah malam? 

Malam itu, George memeluk anak bungsunya yang berbaring di sebelahnya. Tampaknya George sedikit takut kalau kematian semakin dekat oada mereka. Malam ini kota lebih dingin  dari biasanya, suhu mencapai -71,5 derajat celcius. Apa yang kau bayangkan? Ternyata antartika sebegitu kejam.

“Ayah! Ayah! Ayah!” Halu merengek mendekat kepada George. Tangan Halu penuh dengan gigitan nyamuk.

“Rupanya, malam ini banyak nyamuk, anakku.” George berdiri dan mulai membakar bubuk moxa di tengkuk. Dia kembali menidurkan Halu dengan tenang. “Semua akan baik-baik saja, anakku.” katanya. “Tidurlah…”

George merasa baik-baik saja ketika mengucapkan kalimat itu pada semua anak-anaknya dengan begitu dia seolah mendapat kekuatan untuk menjaga kelima anak-anaknya dari situasi mencekam ini. Hanya satu yang selalu ditunggu olehnya, kapan kematian itu datang sehingga dingin tak lagi mengganggu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Writer Ig : @crsudiyono Email : riska.erixchon@gmail.com

CLOSE