[CERPEN] Menunggu Pesan Singkat

Aku tidak berharap banyak tentang kehadirannya

Seperti biasa cahaya matahari siang itu begitu menyengat. Aku duduk di kursi belajar di dalam kamar tidurku. Jendela kamar siang itu aku buka lebar-lebar. Sengaja agar angin masuk meskipun udara sangat panas. Barangkali hari ini adalah hari spesial. Barangkali juga akan ada seseorang yang datang. Namun suasana masih sama saja seperti hari-hari sebelumnya.

Advertisement

Aku tidak berharap banyak tentang kehadirannya. Aku juga tidak heran dia bukan menjadi orang yang pertama kali mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Sebab semuanya sudah berbeda, tidak seperti setahun yang lalu. Dia sudah pergi. Meninggalkan setumpuk kenangan dan ketidakpastian. Ucapan tulusnya menjadi hal yang mustahil saat ini. Tetapi tetap saja, aku menunggunya. Aku menunggu ucapan darinya.

Tak peduli berapa lama, selagi waktu belum menunjukkan pukul 00.01 yang berarti telah berganti hari. Ku buka catatan kejadian di ponselku. Tertanggal  April setahun yang lalu. Ucapan darinya yang panjang lebar. Pesan ucapannya pukul 00.47 setahun yang lalu. Memoriku berputar pada kejadian itu.

Minggu malam, setahun yang lalu.

Advertisement

Kejutan tak terduga. Malam yang indah dengan gugusan bintangnya. Meskipun angin malam begitu dingin, justru hal ini membawa kesejukan tersendiri untukku. Dia datang, mengulurkan tangan dan tersenyum manis. Ku tatap matanya yang teduh. Kulihat ketulusan di sana. Ketulusan yang entah mengandung makna apa. Ku balas senyum itu.

“Hai, selamat ulang tahun ya!” ucapnya.

Advertisement

“Iya. Terima kasih ya,”

Aku tak bisa berkata banyak. Di depannya membuat lidahku kelu seolah tak ada kata-kata untuk dikeluarkan. Aku memandang mata teduhnya. Mata ini yang sudah ku rindukan karena sudah lama aku tidak melihat batang hidungnya. Hanya berkomunikasi lewat pesan singkat, itu pun jarang. Senyumnya selalu membuatku terus memikirkannya. Konyol bukan? Hatiku jadi tak menentu setelah menatapnya.

Aku ingat kembali, sebelumnya dia sudah mengirim ucapan lewat sebuah pesan jejaring sosial pukul satu dini hari. Dan malam ini, dia ada di sini. Orang ini ada di sampingku. Lalu kenapa dia rela membuka akun jejaring sosialnya tengah malam untuk memberi sebuah ucapan itu? Dan kenapa dia rela memberi kejutan ini kalau tidak ada sebuah makna yang tersembunyi? Maka sejak itu aku menaruh harapan padanya. Sejak itu aku menunggunya. Aku menyukainya.

Sudah hampir satu tahun sejak dia hadir kembali dalam hidupku. Sering berkomunikasi dan akhirnya dekat kembali. Ah tidak, aku tidak ingin menyimpulkan sendiri kalau kami dekat kembali. Aku dengannya hanya menjaga komunikasi sebagai seorang teman. Iya barangkali seperti itu. Aku tidak ingin menyimpulkan terlalu jauh.

Awalnya aku sudah bersikap dingin agar perasaanku tidak lagi tumbuh, tetapi ternyata semuanya gagal. Aku kalah oleh perasaan. Dia menebasku dengan segala perhatian dan akhirnya aku dibuat luluh olehnya. Aku menunggunya. Aku menunggunya mengatakan kalimat yang sudah lama aku rindukan. Aku menunggu kepastian darinya yang entah sampai kapan.

Satu tahun itu pula yang berlalu dengan cepat. Satu tahun yang begitu dekat antara aku dengannya. Tetapi satu tahun juga terasa lama untuk menunggunya. Orang itu datang dan pergi. Aku lelah. Ingin sekali berhenti, tetapi hati meminta untuk kembali—kembali menunggunya. Maka setelah semuanya terasa begitu melelahkan, aku berhenti berharap. Dia pun berhenti memberikan kabar, menghilang begitu saja tanpa jejak. Maka hari ini pula, aku tidak heran jika ucapannya tidak datang. 

Ku tatap layar ponselku sekali lagi. Apa yang sesungguhnya aku lakukan? Itu berarti aku sedang menunggu pesannya bukan? Aku menghela napas. Ku lempar ponsel itu ke atas tempat tidur. Aku mondar-mandir kebingungan. Tidak tahu harus mencari kesibukan apa. Di dalam kamar terasa membosankan. Ku ambil kembali ponsel itu. Ku lihat jam yang tertulis di sana yang menunjukkan pukul dua siang. Aku mendekat ke jendela. Hari sudah mulai sore.

Kutatap langit biru yang menawan itu. Terik matahari begitu menyengat. Hari yang cerah, hari yang indah, hari kelahiranku. Usia yang sudah genap tujuh belas tahun. Usia yang menurut sebagian besar orang sudah dewasa. Iya, aku sudah besar. Seharusnya aku tahu mana yang seharusnya aku lakukan dan tidak perlu kulakukan. Aku tidak perlu terus-menerus menunggunya. Tetapi tetap saja terasa berbeda. Usia tujuh belas tahun yang katanya manis, tidak semanis yang ku kira. 

Beberapa menit kemudian ponselku tiba-tiba bergetar. Seperti ada sebuah magnet yang menguras habis seluruh tenagaku. Aku lemas. Pesan dari orang yang ku tunggu. Ku pandang langit biru itu sekali lagi. Ku pejamkan mataku. Aku tersenyum. Ku buka mata dan ku lihat ponselku. Tidak salah, namanya terpampang jelas di sana. Ya Tuhan, orang yang ku tunggu datang. Sudah lama sekali kabarnya tak pernah ada.

Seperti daun layu yang kembali segar karena disiram oleh sang pemiliknya, tetapi kemudian kembali kering karena ditinggal dan tak terurus. Senyumku seketika pudar. Sudah lama aku menunggu, tetapi ucapannya sesingkat itu. Berbeda, sungguh beda. Dia berubah, seharusnya aku sadar. Harapan itu terkubur, lenyap seperti daun kering itu. Tetapi dia sudah menyempatkan waktu untuk menulis ucapan itu. Bukankah masih ada sedikit kepedulian? Dia masih ingat. Senyumku kembali mengembang.

“Selamat ulang tahun ya. Semoga panjang umur dan bahagia,”

Kubalas pesan itu. Diam. Satu menit, dua menit, tiga menit dan seterusnya tak ada balasan. Ponselku tak bergetar. Dia menghilang lagi. Aku menunggu balasannya. Sekadar kata iya pun tak masalah. Meskipun aku menyadari mungkin pesanku tak membutuhkan balasan. Tetapi aku ingin berkomunikasi dengannya. Aku bosan. Ya Tuhan, aku rindu satu tahun yang lalu. Aku rindu segala yang berhubungan tentangnya. Dia masih di sini Tuhan, selalu di hati.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pekalongan, 1997.

CLOSE