Nasib Jadi Mahasiswa, Harus Sabar Menerima Nyinyiran: Sudah Dewasa Tapi Kok Belum Kerja

Nasib menjadi mahasiswa pantauan tetangga


Rumput tetangga lebih hijau


Advertisement

Tentu kita tak asing lagi dengan kata-kata itu. Kata yang mengungkapkan tentang segala sesuatu milik orang lain itu jauh lebih baik, lebih sempurna dan lebih indah dari yang kita punya. Padahal, tak ada sesuatu dilebihkan, karena Tuhan selalu adil membagikan nikmat-Nya. mungkin seseorang yang terlihat lebih segalanya dari kita, beban dan tanggung jawabnya juga lebih besar.

Ingat, Tuhan itu adil yang membagikan rezeki itu sesuai dengan takaran wadahnya. Jadi, jangan pernah membandingkan keadaan kita dengan orang lain, karena tentulah tidak akan sama. Lebih baik, bandingkanlah diri kita yang dulu dengan yang sekarang. Apakah menjadi seseorang yang lebih baik, atau sebaliknya?

Yah, sedikit pembuka mengenai pandangan bahwa rumput tetangga jauh lebih hijau yang sering dipahami bahwa segala milik orang lain jauh lebih indah. Seperti halnya yang saya rasakan, terkadang melihat orang lain yang sudah bangkit dari keterpurukan juga sering terselip rasa iri. Kenapa saya begini-begini saja dan tak ada perubahan yang signifikan?

Advertisement

Ya, semua itu membuat hati dan pikiran selalu berdebat. Tentang apa yang telah saya pilih dahulu, memanglah pilihan yang tepat ataukah bukan. Yakni, tentang pilihan jalan hidup, antara kerja atau kuliah. Saya takut memilih lanjut ke perguruan tinggi adalah jalan yang salah. Karena setelah melihat kawan sebaya saya yang memutuskan untuk kerja, mereka sudah mampu membahagiakan orangtua. Sedangkan saya masih saja membebani orangtua, karena saya masih proses studi (kuliah).

Namun, saya mencoba mengambil sisi positif dari itu semua. Saya berpikir bahwa tidak ada jalan yang salah selama kita tahu tujuan yang hendak dicapai. Menjadi seorang mahasiswa bukanlah hal yang salah, harusnya saya bersyukur karena masih banyak orang-orang yang ingin kuliah namun terhambat oleh biaya. Dengan menjajaki dunia perkuliahan ini juga, saya bisa lebih siap untuk menjadi tenaga profesional di kemudian hari. Dan tentunya persiapan bekal ilmu untuk anak-anak saya kelak.

Advertisement

Namun, beralih dari kekacauan internal saya yang sudah pulih, ternyata muncul toxic eksternal yang datang dari lingkungan saya. Terutama gosipan dari para tetangga, yang selalu membandingkan saya dengan anak-anaknya yang sudah sukses. Selalu saja ada nyinyiran yang mengatakan,


Wis gedhi tapi isih nyadong karo wong tuo. Kerjane sekolah terus, ngetokke ragat. Kae lho si A wis kerja, bisa tuku mobil.


Yang artinya:


Sudah besar tapi masih minta uang ke orangtua. Kerjaannya sekolah terus, mengeluarkan banyak biaya. Itu lho si A sudah kerja, bisa beli mobil.


Bla bla bla bla sampai saya muak mendengar semua itu. Ya begitulah nasib menjadi mahasiswa di desa saya. Terlebih, tidak banyak anak-anak di desa saya yang melanjutkan kuliah, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari. Tentu omongan-omongan tetangga tadi menjadi beban mental bagi diri saya. Apalagi di masa pandemi ini, kuliah daring menjadikan saya lebih sering mendengar gosipan tetangga, bahkan tiap hari.

Seolah, di setiap yang saya lakukan itu selalu menjadi topik pembicaraan. Tidak bisa ikut membantu masak-masak dirumah tetangga juga menjadi bahan omongan. Tapi ya bagaimana memang keadaan saya sedang kuliah online. Sangat tidak mungkin jika saya mempermainkan dosen saya dengan menyambi-nyambi kuliahnya, tentu saya harus fokus.

Yang saya heran, padahal saya juga tidak meminta orang lain untuk membiayai kuliah dan memenuhi kebutuhan saya. Lalu, mengapa mereka mempermasalahkan keadaan saya yang kurang mampu dan memilih untuk kuliah? Apakah salah? Padahal saya juga mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Saya memperoleh kesempatan besar untuk mengenyam bangku kuliah dengan gratis, bahkan mendapat uang saku juga setiap semesternya.

Tentu hal ini sangatlah membantu bagi saya dan juga bagi orangtua saya. Ya walaupun saya juga harus mencari uang saku tambahan sebagai biaya akomodasi semisal harus ke luar kota untuk mengurus organisasi. Maka dari itu, saya melakukan kerja sambilan yaitu dengan ikut bisnis online sebagai marketer suatu produk. Itulah, beberapa hal yang mungkin tak diketahui oleh orang-orang di lingkunganku. Karena mereka hanya melihat dari yang terlihat saja.

Meskipun begitu, saya juga sadar bahwa pilihan untuk kuliah ataupun tidak itu bukanlah sebagai penentu kesuksesan. Banyak lulusan sarjana yang justru menjadi pengangguran, pun sebaliknya yang lulusan SMA yang bisa menjadi pengusaha. Tapi itu semua kembali lagi pada mindset kita. Jika kita yakin memantapkan untuk terus berproses, percayalah bahwa tidak akan ada hasil yang menghianati usaha.


Dirimu adalah yang kamu yakini. Saat kamu percaya bahwa kamu pasti bisa, maka seraya malaikat akan mengaminkanya dan membuatnya menjadi nyata.


Perihal omongan tetangga, saya anggap itu semua sebagai penghias hari-hari saya. Sebagai salah satu ujian dari sekian banyak kenikmatan yang Tuhan berikan pada saya. Dan juga, sebagai sarana untuk meningkatan kesabaran dalam hati.

Jika kamu juga merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan, kamu tidak perlu membenci. Kamu tidak perlu mendendam. Tetaplah berbuat baik pada mereka, karena mereka berkata hanya sesuai apa yang mereka lihat dari luar. Jadi wajarlah jika mereka tidak tahu fakta-fakta yang sebenarnya.

Tak usah terlalu pedulikan omongan yang menyakitkan, lebih baik fokus pada dirimu sendiri. Karena banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikir. Cukup buktikan dalam diam, dan jadikan dirimu menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Hanya seorang Hamba yang selalu ingin menebarkan manfaat.

CLOSE