[CERPEN] Pejuang Penantian di Kota Mati

Tiba-tiba cahaya putih keluar dari tubuhmu. Kini kau seperti kunang-kunang.

Asa sedang duduk di tepi jendela salah satu bangunan kosong sambil menekuk lutut. Ia memilih menatap ke bawah, ke jalanan yang sepi tapi terang. Lampu-lampu jalanan di bawah memberikan sedikit cahaya ke arahnya.

Advertisement

“Dana, apa kamu kira tempat itu adalah rumah? Apa pantas menyebut pulang ketika kita kembali?”

“Itu rumah sih. Rumahku Dokter Dianti, tapi rumahmu aku tidak tahu.” Ada suara seorang anak laki-laki menyahut dari dalam bangunan, itu adalah kau. Sosokmu belum tampak, kau bersembunyi di dalam kegelapan bangunan. Entah takut cahaya lampu jalan atau suka kegelapan.

“Bagaimana rasanya menjadi bebas, sepertimu?”

Advertisement

“Memang aku bebas?”

“Iya, kamu tidak sakit lagi.”

Advertisement

“Aneh, tapi lama-lama terbiasa. Tahu tidak rasanya menunggu, tapi tidak tahu sampai kapan?”

“Tidak.”

“Aku merasa terikat dengan penantian, jadi tidak benar-benar bebas.”

“Tapi apa kamu senang jadi dirimu yang sekarang?”

“Kalau senang sama dengan tenang maka tidak.”

“Jelas itu tidak sama, Dana.” Asa mengalihkan pandangannya dari jalanan ke bagian dalam bangunan. Dia mencoba menatap wajahmu yang tenggelam dalam kegelapan. “Bagaimana jika kamu tiba-tiba lenyap?”

“Aku tidak tahu. Kurasa memang itu yang aku tunggu, tujuanku. Nah, kita pulang saja gimana? Biar kalau lenyap aku bisa melihat rumah untuk terakhir kalinya.”

Asa mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan dan lengket, karena berhari-hari tidak keramas, menjadikannya semakin kusut.

“Maksudku kalau mati, jangan mati di jalanan. Mati saja di dalam kamar sambil membaca komik kepahlawanan.”

Asa tertawa. “Bijak sekali, berapa usiamu sekarang? Delapan belas tahun?”

“Empat belas, kan usiaku sudah berhenti ditambah.”

“Maaf, aku lupa.”

Hening, begitu lama. Lalu hujan turun dengan deras, menciptakan suara berisik sekaligus hawa dingin. Asa masih duduk di tepi jendela, menikmati sedikit air hujan yang memercik ke arahnya.

“Aku ingat dulu kalau hujan begini, kamu takut dengan suara petir. Tapi tidak ada yang tahu kenapa. Kenapa Dana?”

“Dulu aku tidur di luar, tepatnya di balkon. Mereka tidak memberikan ruang sendiri untukku. Di luar suara petir terdengar lebih menakutkan, juga kilatan-kilatannya.”

“Apa sekarang kamu masih takut?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Mana aku tahu, mungkin karena sakitku hilang, maka takutku juga.”

Asa memikirkan perkataanmu, lalu tiba-tiba saja berkata, “Bagaimana kalau aku lompat dari sini?”

“Jangan!” Kau keluar dari kegelapan. Wajahmu yang tirus kini tampak cukup jelas. Kau memiliki wajah rupawan dan teduh. Rambutmu tipis nyaris botak. Kulitmu pucat pasi.

“Tidak tidak, aku hanya bercanda, tapi penasaran bagaimana rasanya menjadi seperti kamu, bagaimana menjadi tidak takut dan sakit.”

“Jangan coba-coba! Nanti kamu menyesal.”

“Seperti Mia?”

Kau mengangguk.

Asa diam, entah apa lagi yang ia pikirkan. Kau tahu ia selalu banyak pikiran, sehingga penampilannya seperti orang penyakitan. Penampilan itu seolah memberikan kebenaran bagi orang-orang tentang Asa.

Tiba-tiba kau takut kalau Asa tidak takut merasa bersalah andai ia bertindak seperti Mia. Kemudian kau terus membujuk Asa agar pulang, meskipun kau tahu Asa tidak pernah mengganggap tempat itu rumahnya. Kau juga tidak tahu mana yang Asa anggap rumah. Kalau kau bisa berada di mana saja, karena satu-satunya yang kau lakukan sekarang adalah menanti dan menanti. Namun, Asa tidak, ia memerlukan tempat berteduh yang layak dan orang-orang untuk menolongnya. Ia tidak bisa sendirian menanti apa pun yang ia tunggu datang dalam hidupnya.

Asa tidak mau mendengarkanmu, bukan karena ia lebih tua dua belas tahun, ia hanya keras kepala. Ia berbalik menatapmu.

“Maaf, Dana. Aku tidak pernah mendoakanmu selama ini,” kata Asa tanpa arah yang jelas.

“Tidak apa-apa. Kak Asa menjadi teman mengobrolku saja aku sudah senang.”

“Tapi itu tidak membantumu. Harusnya dari dulu aku banyak-banyak mendoakanmu, seperti Dokter Dianti dan Pak Iwan. Mulai sekarang aku akan mendoakanmu.”

“Terima kasih.”

Asa masih terjaga seperti malam-malam sebelumnya. Ia akan tidur menjelang dini hari. Bukan karena ingin menemanimu sepanjang malam, tapi ia memang sulit memejamkan mata. Kau sendiri senantiasa terjaga sejak empat tahun lalu. Kau sudah lupa bagaimana rasanya tidur.

***

Kau duduk di atas puing-puing bangunan, baru saja mengingat-ingat kenanganmu bersama Asa, teman mengobrolmu. Lalu kau menatap ke puing-puing lainnya di sebelah kirimu. Di sana teman mengobrolmu yang baru sedang menangis, meratapi apa pun yang terjadi dalam hidupnya. Namanya Mia, kau kenal dengannya saat Asa mampir di bilik seorang peramal.

Mia sudah menangis seharian penuh sampai tidak menghiraukanmu.Sebenarnya kau juga sedih, tapi tidak menangis, karena dulu kau sudah sering menangis saat tinggal bersama orang tua angkatmu.

Sejak beberapa hari lalu kau mencari-cari Asa, Dokter Dianti, dan Pak Iwan⎯yang suka membelikanmu komik kepahlawanan, tapi mereka tidak ada di mana-mana. Mia juga mencari-cari ibunya dan menemukan ketiadaan.

Kota ini sudah ditinggalkan begitu pula kau dan Mia. Kalian berdua pejuang penantian akan tinggal di kota mati ini untuk waktu yang tidak kalian ketahui. Namun Mia selalu mengatakan kalau semestinya waktu penantianmu tidak lama lagi. Kalau ia sudah mutlak lama, bisa seribu tahun atau lebih.

Akhirnya Mia berhenti menangis. “Dana…”

“Iya?”

“Setelah ini apa?”

“Menanti seperti yang sering kulakukan.”

Mia memandangi wajahmu untuk beberapa saat. Lalu ia menghela napas, padahal sudah tidak memiliki napas. “Maaf ya, aku kan yang lebih tua di sini, tapi aku bersikap kekanak-kanakan. Kamu selalu bersikap tenang dan bijak.”

“Tidak apa-apa. Sebenarnya aku juga sedih dan tidak tahu mau melakukan apa kecuali menunggu.”

“Asa mendoakanmu, kan? Juga Dokter Dianti dan Pak Iwan.”

“Iya, Kak Asa baru-baru ini. Ibumu mendoakanmu?”

“Iya, kalau ingat. Dia kan sibuk sekali.”

“Kak Ringga?”

“Untuk dirinya saja dia tidak berdoa, apalagi mendoakan orang lain. Tapi aku dengar sekali dia berdoa di malam sebelum kehancuran.”

“Doa apa?”

“Pengampunan.”

Kau dan Mia sama-sama mendongak, menatap langit yang kelabu penuh partikel-partikel debu dan mungkin senyawa lainnya. Gara-gara partikel itu matahari enggan menembus ke kota yang kalian pijak. Hari-hari terasa seperti mendung, tapi tidak hujan. Hawa panas terasa di mana-mana, tapi kalian tidak berkeringat. Kota sunyi dan di sepanjang jalan hanya ada puing-puing. 

Ketika malam tiba kegelapan total lah yang tampak. Tidak ada lagi lampu-lampu jalanan yang menyala. Kau dan Asa tidak masalah dengan kegelapan, kalian hanya tidak suka menjadi terlalu sunyi tanpa orang-orang bernapas.

Menjelang malam begini juga kau dan Mia tetap duduk di atas puing-puing. Kalian tidak mencari tempat lain yang lebih layak, karena tempat layak tidak ada di kamus kalian.

Mia membuka tutup tangannya seperti mau menangkap udara. “Aku merasa kamu juga akan pergi.”

“Kok bisa? Aku saja belum memiliki firasat.”

“Kamu anak baik dan terlalu banyak hidup susah, sudah cukup. Apa menurutmu Dia akan membiarkanmu menunggu terlalu lama melayang-layang di atmosfer?”

“Mungkin tidak.”

“Iya kan, tapi kenapa ya kamu masih di sini juga? Berapa tahun?”

“Sekitar empat tahun.”

Mia berhenti memainkan tangannya. Ia menoleh ke arahmu, matanya melebar. “Apa ada yang mengganjal? Apa memang empat tahun lalu belum waktumu?”

Kau mengedik. “Aku cuma berpikir memang belum waktuku saja. Mungkin harusnya aku mati di usia 30 atau 50 tahun.”

“Tapi aku rasa tidak. Harusnya kamu beristirahat dengan tenang, tidak di sini bersamaku. Kenapa kita tidak cari tahu? Setidaknya kita memiliki tujuan jangka pendek.”

Kau termangu, karena Mia yang tadi menangis seharian tiba-tiba menjadi semangat dan ingat untuk memiliki tujuan. Dulu tampaknya kau pernah mendengar entah dari Asa atau Ringga, bahwa Mia suka membuat kekacauan, labil, tapi juga cerdas. Sekarang kau tahu Mia orang seperti apa.

Kemudian kau dan Mia beranjak dari puing-puing bangunan. Kalian melayang-layang melewati puing lainnya, jalanan yang retak, gedung perkantoran yang roboh, kompleks rumah Ringga yang ambruk seperti domino. Saat kalian melewati rumah Ringga, kalian melihat tetangga Ringga yang suka membicarakannya. Tetangga Ringga hanya mondar-mandir di halaman rumahnya. Mia bilang kepadamu kalau ia tidak menyukai wanita itu. Lidah wanita itu seperti silet.

Kemudian kau dan Mia sampai di stasiun yang berhenti beroperasi. Kalian menyusuri rel untuk sampai ke kota selanjutnya. Di sepanjang perjalanan kalian bertemu dengan kakek tua yang matanya merah, laki-laki yang kepalanya berdarah, dan wanita hamil. Kalian bergerak dengan cepat, tidak menghiraukan mereka.

Dalam waktu singkat kau dan Mia sampai. Kota ini juga mengalami kerusakan, tapi tidak separah kota yang kalian diami. Masih ada geliat kehidupan di kota ini.

Kau mengajak Mia pergi ke rumah susunmu yang dulu. Kau ingin tahu apakah orang tua angkatmu masih di sana. Ketika sampai di depan rumah susun yang kau lihat adalah tumpukan bangunan. Kau sudah tahu sejak lama kalau rumah susun tidak selalu dibangun dengan kokoh. Di rumahmu dulu banyak retakan yang dibiarkan menganga.

Mia mengusap kedua pundakmu. Ia tidak berusaha memberikan kalimat penguat, karena itu bukan spesialisnya.

Kau menatap lama pada ruang-ruang gelap yang tercipta di bawah tumpukan bangunan. Ada hawa aneh dari bawah sana, tapi kau tidak tahu apa itu. Kemudian pertanyaanmu terjawab saat sulur-sulur berwarna hitam keluar dari sana. Sulur-sulur itu berarak, lalu berhenti di depanmu dan Mia.

Sosok orang tua angkatmu muncul. Wajah mereka mengerikan, lebih mengerikan daripada yang dulu. Gerak tangan dan kaki mereka dibatasi oleh rantai-rantai besar yang melingkar. Mia mendekapmu erat, karena ia pikir mereka akan menyakitimu. Ia mengajakmu pergi, tapi kau menolak.

Orang tua angkatmu membuka mulut mereka, asap tipis berwarna putih keluar dari sana. Asap itu mendekat ke arahmu. Kau tidak gentar, tapi Mia sangat ketakutan. Ia menarikmu.

Asap putih itu tetap mengikuti hingga akhirnya berhenti di atas kepalamu. Dalam sekejap ingatan-ingatan yang bukan milikmu membanjiri kepalamu.

Kau melihat orang tua angkatmu menerima bayi dari seorang perempuan muda, mungkin seusia Mia. Sementara perempuan itu menerima amplop coklat. Ia memeriksa isi amplop. Ada sejumlah uang, kau tidak tahu berapa tepatnya. Kemudian kau mendengar perempuan itu menyebut nama lengkapmu, Dana Aldera. Nama itu adalah pesannya untuk orang tua angkatmu. Orang tua angkatmu mengangguk. Mereka juga sempat berjanji akan menjagamu, tapi kau tahu itu dusta.

Perempuan itu mengecup dahimu. Matanya berkaca-kaca, lalu air mata meluncur di pipinya. Ia tidak rela, tapi tega demi alasan apa pun yang belum kau ketahui.

Asap putih di atas kepalamu berangsur hilang. Namun, ingatan yang bukan milikmu sekarang sudah menjadi milikmu.

Kau menangis sejadi-jadinya setelah bertahun-tahun tidak menangis. Mia mendekapmu sambil mengelus-elus punggungmu. Tiba-tiba cahaya putih keluar dari tubuhmu. Kini kau seperti kunang-kunang. Mia mundur selangkah. Cahaya semakin terang membuat Mia menyipitkan matanya. Cahaya itu melahapmu dan kau hilang salam sekejap.

“Dana! Dana!” Mia berputar-putar di sekitar lokasi tersebut. “Dana!”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Suka menulis fiksi sejak SMP, mulai serius saat kuliah. Bagian dari Gramedia Writing Project batch 3. Tulisan-tulisan fiksi saya bisa dibaca di gwp.id, storial.co, dan sweek.com dengan username WenniPratiwi. Juga menulis di blog pribadi melaluiruang.blogspot.com.

CLOSE