Pro dan Kontra Artificial Intelligence sebagai Subtitutor Hakim

Perkembangan teknologi yang ditandai dengan keberadaan society 5.0 atau era revolusi industri 5.0 terus mendorong pengembangan dan pemanfaatan artificial intelligence pada berbagai sektor termasuk sektor hukum di Indonesia. Menurut Haag dan Keen (1996), artificial intelligence adalah bidang studi yang berhubungan dengan penangkapan, pemodelan, dan penyimpanan kecerdasan manusia dalam sebuah sistem teknologi informasi sehingga sistem tersebut dapat memfasilitasi proses pengambilan keputusan yang biasanya dilakukan oleh manusia.

Advertisement

Algoritma yang digunakan pada artificial intelligence dapat diterapkan pada berbagai bidang pekerjaan. Profesi hukum merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki algoritma tersebut karena pekerjaan pada bidang profesi ini bersifat rutin dan mengulang. Pengaplikasian teknologi dalam hal ini, sangat membantu dan mempermudah pekerjaan hakim untuk memutuskan sebuah perkara. Salah satu solusi yang saat ini banyak dikembangkan adalah dengan menggunakan teknologi artificial intelligence.

Lalu, bagaimanakah jika kedepannya artificial intelligence yang telah dilatih untuk memberikan putusan hukum berbasis dari seluruh kasus yang pernah terjadi selama ini  dijadikan sebagai hakim utama dalam suatu persidangan ?

Kehadiran artificial intelligence bisa jadi akan mengatasi tuntutan prosedural dari negara hukum. Di satu sisi, artificial intelligence dapat menghasilkan sebuah putusan yang sepenuhnya independen dan hampir mustahil dibajak melalui tindakan curang atau pemaksaan kekuasaan. Sederhananya, artificial intelligence sejatinya tidak berkepentingan untuk membuat putusan yang menguntungkan dirinya sendiri. Dengan demikian, aspek independensi sebuah lembaga peradilan dapat terwujud.

Advertisement

Namun, tuntutan lain yang perlu dipenuhi sebuah lembaga peradilan adalah menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Sampai sejauh ini, kecakapan artificial intelligence  dalam membuat putusan moral yang sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat masih diragukan. Padahal, penilaian atas rasa keadilan merupakan suatu tindakan yang sangat subjektif. Diperlukan kebijaksanaan dan wawasan yang luas mengenai hukum tidak tertulis untuk menghasilkan putusan yang benar-benar memuaskan para pencari keadilan.

Di masa depan, undang-undang harus memberikan batasan mengenai sampai sejauh mana artificial intelligence dapat digunakan di dalam persidangan. Saat ini, kemungkinan penggantian hakim dengan artificial intelligence  memang masih tampak jauh. Di bawah pemerintahan undang-undang kekuasaan kehakiman, hakim tentu dijabat oleh manusia. Seorang hakim harus memenuhi sejumlah kriteria yang ditetapkan undang-undang. Kedepannya, hal yang perlu dikembangkan adalah bagaimana teknologi dapat selaras dengan kecakapan seorang hakim. Dalam kondisi ini, undang-undang tidak perlu sepenuhnya bersikap protektif terhadap teknologi.

Advertisement

Artificial intelligence dapat digunakan untuk mengasistensi hakim dalam melakukan due diligence, memeriksa alat bukti, dan menganalisis peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, argumen saya mengenai artificial intelligence yang dijadikan sebagai hakim utama dalam suatu persidangan adalah hal yang masih sangat sulit untuk direalisasikan, karena diluar aspek dari independensi dan juga anti intervensinya, artificial intelligence masih belum dapat memenuhi aspek norma dan hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat, mungkin kedepannya setelah dilakukan riset lebih lanjut tentang memanusiakan artificial intelligence dan membuat artificial intelligence dapat memahami norma dan hukum tidak tertulis yang ada di masyarakat, penerapan artificial intelligence sebagai hakim utama di peradilan dapat direalisasikan.

Dengan demikian, penggunaan artificial intelligence di dalam lembaga peradilan perlu ditempatkan di dalam proporsi yang tepat. Penggunaannya ditujukan untuk menunjang kecakapan hakim dan memudahkannya dalam membuat putusan yang adil. Pembatasan ini juga perlu diberlakukan di dalam profesi kepengacaraan, dengan membatasi peran artificial intelligence dalam proses analisis perkara. Negara sendiri perlu mengantisipasi kemungkinan pengurangan kebutuhan tenaga kerja di bidang jasa hukum akibat efisiensi yang ditawarkan artificial intelligence.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

CLOSE