Rentan Alami Quarter Life Crisis, Milenial Dituntut Rasional Hadapi Realita

Lelah dengan kehidupan, kepala terasa penat dan membuat semua yang dilakukan terasa berat.

Lelah dengan kehidupan, kepala terasa penat dan membuat semua yang dilakukan terasa berat. Lejar menerka-nerka masa depan, atau mempertanyakan mengapa hinggap pada kondisi demikian. Dunia beserta isinya, terasa tak lebih dari jeruji yang menjadi penjara bagi jiwa dan raga. Resultan dari semua himpitan itu membuat tertekan sedemikian hingga. Perasaan-perasaan semacam itu sudah seperti daftar wajib yang dicentang dalam problem kehidupan milenial sekarang. Berpikir rasional dan menyesuaikan ekspektasi mungkin menjadi salah satu cara yang dapat dipraktekkan untuk mengendurkan depresi serta tuntutan kehidupan.

Advertisement

Krisis seperempat abad atau yang populer dikenal dengan Quarter Life Crisis (QLC) adalah suatu kondisi krisis diri yang dialami oleh seseorang ketika menginjak rentang usia 20-30 tahun. Kecemasan muncul terkait pekerjaan, kondisi keuangan, keluarga, hubungan asmara dan permasalahan hidup lainnya. Individu yang mengalami QLC biasanya berada pada kondisi depresi, frustasi, atau bahkan merasa terjebak dalam suatu kondisi kecemasan yang rumit, terjepit dan tertekan.

Kondisi ini umumnya timbul akibat adanya paradoks ingin memuaskan dan memenuhi keinginan hidup namun apa yang dialami dan dilakukan secara nyata terasa tidak pada jalur menuju ke arah tujuan atau belum mencapai target yang diidamkan. Liza Marielly Djaprie, psikolog klinis, menjelaskan QLC dapat disebabkan oleh faktor internal yang disebabkan oleh situasi di dalam diri yang belum menemukan jati diri sesungguhnya dan faktor eksternal berupa atmosfer yang semakin kompetitif dari rekan sebaya serta tuntutan lingkungan era modern yang juga semakin kompleks.

Dilansir dari Mindbodygreen.com, sebanyak 6 dari 10 milenial dilaporkan mengalami QLC. The Guardian juga menyatakan dalam risetnya bahwa 86 persen milenial mengalami QLC yang membuatnya merasa insecure, kecewa, kesepian sampai depresi. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya seperti Generasi X dan Baby Boomers.

Advertisement

Menurut survei dari LinkedIn, pengalaman krisis ini lebih banyak dialami oleh perempuan, yakni sebesar 61%. Ada berbagai faktor pemicu QLC. Sebanyak 57% merasa kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion, 57% mengalami tekanan lantaran belum memiliki rumah, dan 46% mengaku tertekan akibat belum memiliki pasangan. Tuntutan ini semakin lengkap dengan hadirnya sebutan ‘Sandwich Generation’ untuk generasi milenial yang memiliki beban finansial dalam mengurus orang tua atau anggota keluarga lain sekaligus mengurus kebutuhan finansial diri dan keluarga sendiri. Kondisi-kondisi ini juga diduga menjadi penyebab mengapa milenial sulit memiliki rumah, cepat berpindah kerja dan bertindak tanpa berpikir matang ketimbang generasi sebelumnya.

Cari uang dirasa sebagai hal yang jamak, lapangan kerja bermacam-macam tersedia, tetapi mendapat pekerjaan sesuai idamanlah yang patut diperjuangkan menurut para generasi milenial.  Pergeseran ekspektasi ini memberi sumbangsih pada ketidakpuasan milenial dalam dunia karier, kekecewaan, kecemasan dan berakhir pada QLC.

Advertisement

Aneka pilihan yang tersaji juga diikuti tanggung jawab yang harus diemban. Tidak semua orang sanggup menerima hal tersebut, apalagi bila belum benar-benar matang secara mental, tetapi segi usia sudah dituntut masyarakat untuk bertanggung jawab dalam hal pekerjaan dan relasi. Kesenjangan antara kesiapan diri dan ekspektasi sosial inilah yang mengakibatkan QLC.

QLC berkisar pada masalah identitas seseorang, seperti apa nilai-nilai yang dipercaya, dengan apa mengafiliasikan diri, hal apa saja yang prinsipil di kehidupan. Bagaimana membentuk diri dan kemudian menunjukkan identitasnya itu tidak lepas dari teknologi yang semakin pesat pekembangannya saat ini. Karenanya, hal ini menjadi faktor yang juga potensial memicu QLC.

Di tengah kejengahan menghadapi realita, layaknya mencari oase yang semurni-murninya. Kerinduan menjalani hidup senyaman genangan air di danau yang tenang, diam dan tak beriak tentu hadir di angan-angan. Di titik ini, berfokus dalam memegang teguh prinsip bahwa kunci dari kehidupan yang bahagia sentosa adalah dengan berpikir rasional dan pragmatis menghadapi realita.

Perlu dipahami bahwa ada beberapa hal yang berada dalam kendali kita, sementara beberapa yang lain tidak. Sebagian besar ketidakbahagiaan itu disebabkan oleh pikiran bahwa kita dapat mengendalikan hal-hal yang, sedangkan pada kenyataannya, kita tidak bisa.

Namun, tidak semua yang terjadi pada diri ini dapat dikendalikan termasuk mengendalikan apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain. Bahkan, kita juga tidak bisa sepenuhnya mengendalikan tubuh sendiri yang mungkin saja tiba-tiba sakit atau maut yang mendadak menghampiri tanpa peduli. Satu-satunya hal yang benar-benar bisa hadir dalam genggaman untuk dikendalikan adalah bagaimana mengelola persepsi diri tentang semua hal yang terjadi.

Penting rasanya untuk mengingatkan tentang posisi relativitas diri ini dalam sebuah kehidupan. Kesadaran bahwa dunia tidak selalu berputar di sekiling kita saja. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika mengharapkan semesta selalu sesuai dengan kehendak kita.

Jika selalu berharap alam semesta memberikan apa pun yang diinginkan, maka jangan bersedih jika selalu mendapat kekecewaan. Namun jika mampu mendekap apapun yang diberikan alam semesta, menerima dan mensyukurinya maka hidup tentu akan lebih mudah dan bahagia.         

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswi jurusan Public Relations di London School of Public Relations. Mantan pelayanan publik. Saat ini sedang mengembangkan bisnis Wedding Store di @mochalovestory. Lebih bahagia dikenal sebagai penulis dan creative thinker.

CLOSE