Repotnya Menjaga Kewarasan di Jakarta

Susah juga menjaga diri, di dunia segaul ini.

Tadi sore temen aku menelpon. Dia bertanya aku sedang di mana. Waktu aku jawab aku sedang di kost, dia mengajak aku buat nonton film. Aku mikir keras karena dia ngajaknya nanggung, sore hari menuju isya dengan keadaan keuangan aku yang sedang tidak fine.

Dia merayu aku untuk mau nonton film sambil bilang, “Ayuk, kamu kan nggak pernah main.”

Buatku, kalimat dia ini agak sedikit ambigu.

Pertama, dia ini memiliki nawaitu nonton yang belum jelas.

 

Dalam teleponnya, dia mengajak aku, mendadak, tapi masih belum yakin mau nonton apa. Dan ini adalah masalah. Dia kan gak tau kalau orang yang diajak ini sibuk apa enggak, lagi kaya atau fakir, sehat atau masuk angin, nah, hal-hal ini nih yang seharusnya dipertimbangkan. Aku juga belum tahu definisi dari ‘main’ nya dia ini seperti apa.

Apakah setelah nonton film kita akan duduk manja, ngopi di lantai 3 mall tengah kota sambal melihat view malam kota Jakarta, atau berakhir di club ajib-ajib dengan gue yang harus memapah dia pulang ke rumah karena dia mabuk?

Di Jakarta, aku punya jenis-jenis teman yang berjiwa sosial tinggi. Ada temanku yang mau ikut acara anak yatim sampai Jakarta Utara terlepas dari kegiatan kerja Senin-Jumatnya di Jakarta Selatan. Ada juga temanku yang rajin puasa Senin-Kamis atau kadang shalat Tahajud di tiga per empat malam. Pernah suatu ketika, ada senior yang gak percaya kalau temanku ini sedang berpuasa lantas menghakimi dia dengan kalimat semacam “Alah, paling bentar lagi juga mabuk.”

Aku sih cuma ketawa. Aku sama sekali tidak meragukan keteguhan hati temanku ini. Sejak berbagi kamar kost dan mendengar berbagai pola pikirnya, aku secara complete percaya bahwa temanku ini adalah jenis manusia yang sudah ketemu prinsip.

Aku dari kampung, dari daerah yang kalau ada orang mabuk langsung dicap ‘orang nggak baik’, atau kalau ada wanita yang merokok langsung dikasih label ‘cewek nakal’. Lebih mudah enggak bikin dosa di kampung, karena hampir semua masyarakatnya memiliki pandangan, prinsip, budaya atau agama yang mayoritas sama.

Lain halnya di kota besar macam Jogja atau Jakarta. Kota besar tentu sarat dengan manusia dengan beragam pola pikir dan SARA. Di lingkungan seperti ini harus bijak memahami setiap perbedaan yang ada, karena kalau terlalu kenceng mengartikan SARA hingga menjadi manusia bersumbu pendek, maka apa-apa bisa jadi dosa, apa-apa bisa dianggap menghina agama, apa-apa bisa demo.

Di kota besar ini, hal yang berdosa (untuk agama yang melarangnya), ambil contoh, mabuk, bisa disalurkan dengan cara yang halus dan biasa aja. Seperti saat kita menghadiri nikahan lalu ada Wine dan Smirnoff, dan temen kita dengan elegan menawarkan frasa bantuan semacam “Elu mau yang mana, sekalian gue ambilin.”

Atau saat lagi nongkrong di café depan kantor dan teman satu divisi bilang Ng-beer yuk. Aku lagi menang arisan, aku traktir deh!”. Nah, tawaran ini terdengar sangat halus pun mereka tidak salah. Mereka kan nggak tahu latar belakangmu. Mereka cuma bersikap baik tanpa harus intro “Agama kamu apa? Bisa minum vodka?”

Maka untuk menghadapi lingkungan seperti ini, butuh yang namanya memahami. Kita gak bisa langsung menghindar dan meng-kotak-kotak-kan teman dengan tuduhan ‘dia bukan teman yang baik’ hanya karena dia suka clubbing atau tattoo di lengan kanan. Kita nggak bisa tetiba bikin petisi alay dan menuntut perusahaan melarang perusahaannya rapat dengan menu makan siang daging babi hanya karena agama kita memutus babi haram. Kita nggak bisa melakukan cara ekstrim seperti itu karena pada dasarnya, kita ini makhluk sosial, kita butuh bersosial.

Kalau dilihat dari KBBI, kata ‘sosial’ bermakna segala sesuatu yang bekenaan dengan masyarakat; dan memperhatikan kepentingan umum. Dari sini kita tahu bahwa kita adalah pihak yang selalu bersinggungan dengan kepentingan umum. Itulah mengapa kita nggak bisa hidup sendiri.

Kita harus bersosialisasi dengan orang lain. Hal itu juga yang membuat ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ di taruh di ayat kedua, tepat setelah ayat pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Karena untuk bisa membangun negara yang enggak gampang ribut, dibutuhkan manusia yang bisa beradab memperlakukan orang seagama, atau selow bercengkerama dengan rekan sosial berlainan SARA.

Di negara kesatuan yang riskan baper ini, aku suka mengingat firman Gusti yang meminta manusia untuk tidak hanya sibuk ber-hablum minallah, namun juga hablum minannas.  Hablum minallah adalah hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan hablum minannas adalah Tuhan yang meminta kita untuk berhubungan baik dengan manusia. Tak peduli dia pergi ke kelenteng atau pura, memohon di Istiqlal atau Katedral.

Jadi pada hakikatnya, kita sebagai manusia ini nggak cukup sekedar shalat, rajin ikut misa, rajin puasa, namun jahat sama orang. Ngakunya orang beriman tapi suka ngebom manusia lain dengan alasan perintah Tuhan.

Kalau punya waktu luang, coba dilogika: Kalau Tuhan mau, Dia bisa saja mencipta dunia dengan satu agama yang sama, dengan keadaan yang baik-baik saja. Namun faktanya kan tidak begitu saudara-saudara! Kita hidup di dunia yang penuh dengan beda. Kita disuruh untuk ‘berhubungan’ dengan manusia lain.

Kita nggak bisa mengunci diri dirumah dan sibuk berdzikir disaat rumah tetangga kita kebakaran. Kita gak bisa egois mengatakan orang lain tidak baik lantas menjauh dengan alasan ‘melindungi kesucian diri’. Pun kalau teman kita ini baik, dan kita tidak salah memilih pergaulan, aku yakin mereka akan menghargai setiap batasan yang kita pasang, setiap perintah yang kita amalkan.

Yakin deh, menutup diri hanya karena orang lain berbeda adalah hal yang menggelikan.

Lantas, apa yang harus dilakukan di kehidupan se-gaul ini?

Bagiku, yang harus dilakukan persis sama dengan yang dilakukan teman aku tadi: setia pada prinsip dan belajar. Kita harus memahami apa yang esensi. Kita harus melihat lebih dalam dan sadar diri. Kita harus kembali bertanya, “Agama aku melarangnya, kenapa?” lalu kita bisa meriset alasan dibalik setiap perintah Tuhan sehingga kita lebih paham hingga nanti, kita lebih memiliki kekuatan untuk menolak dengan santun saat ada yang ngajak nyimeng, atau mereka yang datang membawa Cointreau sambil bilang “Yuk, lemesin dulu?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Manusia | Wife-nya Min Yoongi ! | Sok Sibuk | Pengagum berat Uzumaki Naruto | Oke banget buat coffee and tea | Pengen punya kucing tapi masih plan | Follaaaw gue disini saja ya gaisss: jungkirbalikhidupgue.wordpress.com | Yolo banget. Lets get it, bruh !