Pentingnya Belajar Menerima Diri Sendiri Tanpa Tapi. Kalau Bukan Kita, Lantas Siapa Lagi?

Menerima diri sendiri

Saya menyadari bahwa diri saya dan kamu itu berbeda. Ya… berbeda dalam berbagai hal, namun bukan berarti tidak ada kemiripan. Terkadang saya merasa bahwa diri ini harus mengikuti apa yang seharusnya dilihat orang lain. Semisal, bentuk tubuh agar terlihat cantik maka harus kurus dan putih. Contoh lain, agar terlihat sukses, maka harus bekerja di perusahaan ternama, walaupun tidak sesuai dengan yang diinginkan. Semua dilakukan agar terlihat sesuai dengan pandangan lingkungan. Namun, apakah sesuai dengan diri sendiri? Bisa jadi sama sekali tidak begitu.

Advertisement

Perkataan orang menjadi salah satu ultimatum yang perlu dilakukan agar kita terlihat “baik” dan “sesuai” dengan yang seharusnya. Nah, apa yang dimaksud dengan “Seharusnya?”

Seharusnya melakukan untuk terlihat seperti “apa kata orang lain” atau sesuai dengan “apa kata hati diri sendiri”. Umumnya kita terlalu sibuk untuk menjadi seperti “apa kata orang lain”, sehingga melupakan “apa kata hati diri sendiri.” Hal ini membuat kita menjadi selalu memikirikan sesuatu yang sekiranya sesuai dengan “apa kata orang lain.” Padahal itu belum tentu terjadi dan bisa saja malah tidak terjadi.

Namun, kita terlampau menyibukkan diri dengan semua pikiran-pikiran serta bayangan untuk bisa melakukan dan menjadi sesuai dengan “apa kata orang lain.” Agar merasa aman dalam menjalani hidup dan tidak berbeda dengan yang lainnya. Apakah itu baik untuk diri? Bisa iya dan tidak. Tergantung sudut pandang kita dalam memaknainya.

Advertisement

Cukup disayangkan jika kita menghabiskan waktu untuk memikirkan dan melakukan “apa kata orang lain” yang belum tentu membuat nyaman dan tepat untuk diri sendiri. Beragam pikiran juga dibangun, agar seolah-olah diri ini siap untuk melakukan sesuai dengan yang ditentukan. Bukan sesuai dengan kemampuan dan keinginan diri sendiri.

Hingga akhirnya meyadari bahwa sepertinya belum bisa mencintai diri sendiri. Padahal penting untuk kita bisa mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Jika terus berlanjut, maka sampai kapan itu akan usai? Kapan akan kita bongkar tembok diri dan menunjukkan siapakah kita sebenarnya?

Advertisement

Media memang memegang perananan untuk membuat diri ini seolah-olah harus “sesuai dengan katanya”. Akhirnya melupakan siapakah diri ini sesungguhnya. Sampai kapan kita akan menggunakan topeng tersebut? Mulai bermunculan organisasi maupun komunitas yang menyuarakan dan mendukung kesehatan mental. Sadarkah kita bahwa apa yang telah dilakukan bisa memperburuk mental diri sendiri? Sudahkan kita berhenti dan mulai menggapai mereka-mereka yang membantu dalam menemukan diri kita sendiri?

Saya masih belajar dan berusaha untuk bisa keluar dari “apa kata orang lain”. Cukup didengarkan saja mereka, tanpa harus selalu melakukan “apa katanya.” Karena yang dikatakan belum tentu sesuai dengan yang seharusnya untuk kita.  Jadi, berusahalah untuk menggapai diri sendiri. Jika dirasa membutuhkan bantuan, berhenti untuk gengsi. Carilah bantuan yang memang profesional, sehingga mampu membantu dengan optimal. Mencoba mengurangi pikiran-pikiran agar terlihat sesuai dengan orang lain. Bangunlah pikiran untuk bisa membuat diri ini nyaman dan terus bersyukur atas setiap perubahan yang ada.

Mari kita dukung untuk membuat sehat diri sendiri dan menerima diri sendiri. Jika bukan kita, maka siapa lagi?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Psychology. Management. Yellow. Novel.

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE