Masa pandemi covid-19 mengakibatkan perubahan besar bagi kehidupan seluruh manusia di dunia. Tuntutan untuk menjaga kesehatan dan membatasi aktivitas menjadikan pergerakan setiap orang terbatas. Sehingga setiap orang mau tidak mau harus menerima dampak dari pandemi ini. Walaupun tidak semua orang menjalankan protokol yang dianjurkan pemerintah, namun bisa kita yakini bersama bahwa wabah ini memang berdampak pada setiap orang. Ekonomi yang tidak stabil, kegiatan belajar mengajar di sektor pendidikan yang dibatasi dan interaksi sosial antar manusia yang terbatas adalah sedikit contoh dampak yang kita hadapi hampir setahun ini. Dampak yang membuat perubahan kebiasaan itu tentunya mempengaruhi kesehatan kita baik fisik maupun mental. Anjuran untuk menjaga kesehatan secara fisik dapat kita temukan di setiap hal yang kita akses, namun tidak demikian dengan anjuran dan tips menjaga kesehatan mental yang masih tabu dibicarakan oleh masyarakat.
Kesehatan mental erat kaitannya dengan emosi, bagaimana orang mengelola emosi mereka akan mempengaruhi keadaan mental mereka. Dapat dikatakan bahwa kecerdasan dalam mengelola emosi mempengaruhi kesehatan mental, seperti yang dikatakan Fernandez-Berrocal dalam Zeidner, Matthews, Bradford (2009. H 217). Dalam ilmu psikologi ada banyak sekali teori tentang pengelolaan emosi untuk mewujudkan kesehatan mental yang baik, namun bahasan kali ini akan difokuskan pada pengelolaan emosi berdasarkan teori selektivitas sosioemosional oleh Laura Carstensen. Teori ini menyebutkan bahwa tahun – tahun terakhir kita (tahun emas) mungkin dapat berharga jika kita fokus mengurangi emosi negatif, melibatkan lebih dalam konten emosional sehari – hari dan menikmati hal – hal baik dalam hidup misalnya membangun dan meningkatkan hubungan. Singkatnya, seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan sehari – hari dengan mengurangi emosi negatif, lebih fokus pada hal – hal kecil yang positif dan menikmati setiap moment positif yang sederhana.
Mungkin terdengar asing dan terlalu berlebihan ketika kita menggunakan suatu teori untuk memecahkan permasalahan sehari – hari. Masyarakat tentu lebih suka dengan solusi yang pasti, konkret dan relevan. Solusi yang dimaksud tidak lain adalah solusi yang dapat meningkatkan kebahagiaan secara materi, seperti yang sudah sering dibahas dimanapun tentang cara menjaga kestabilan ekonomi dan kesehatan di masa pandemi ini. Hal inilah yang perlu dikoreksi dan ditanamkan kepada masyarakat luas, bahwa kestabilan ekonomi dan kesehatan fisik yang ingin diraih bisa diwujudkan dengan perasaan bahagia. Perasaan bahagia itulah salah satu contoh sederhana dari emosi positif.
Menurut penelitian yang melibatkan orang lanjut usia dan anak muda, disimpulkan bahwa lansia lebih memprioritaskan emosi positif. Hal ini ditunjukkan dengan hasil observasi bahwa lansia tidak terlalu memusingkan hal – hal kecil yang negatif tetapi lebih menikmati hal kecil yang sifatnya positif dan sederhana. Singkatnya, orang yang lebih tua memfokuskan pikiran pada tujuan saat itu juga, karena mereka menganggap waktu sangat berharga di akhir usia. Sedangkan, anak muda dan usia dewasa awal lebih fokus pada memperoleh informasi yang memperluas cakrawala serta pada hal – hal kecil, baik yang dapat menganggu aktivitas maupun yang tidak disukai, seperti yang disebutkan dalam Lopez,dkk 2015 (Kennedy, Fung, Carstensen 2001 ; Reed & Carstensen 2012). Seringkali sifat ini menjadi kebiasaan dengan alasan bahwa tujuan akan didapat jika kita menghindari setiap gangguan yang ada. Tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa hal itu menjadi salah satu faktor penyebab stress. Namun, jika tanpa memusatkan pikiran pada hal yang menganggu tetap dapat mewujudkan tujuan yang diinginkan, bukankah akan lebih mudah untuk dijalani?
Pernyataan tersebut bukan anjuran untuk menghiraukan suatu permasalahan yang dapat menganggu tujuan. Waspada dan hati – hati tetap penting dilakukan dalam memilih suatu keputusan. Namun ini tentang bagaimana kita memandang permasalahan yang datang dengan positif. Hal itu pastinya dilakukan dengan penuh pertimbangan, sebagai contoh ketika kita menghadapi masalah hendaknya tidak gegabah dalam mengambil keputusan karena pengambila keputusan dengan emosi negatif hanya akan menambah besar permasalahan itu. Anggap suatu masalah adalah tantangan, yang membawa kita kepada kesuksesan yang lebih besar. Emosi positif tidaklah berarti tanpa ada aksi yang nyata, namun emosi positif adalah awal emas keberhasilan akan sesuatu. Jika pembiasaan emosi positif seperti selalu bersyukur, percaya diri, fokus pada potensi dan lain sebagainya dapat dilakukan dengan maksimal, kegagalan yang datang pun akan diterima dengan lapang dada. Berbeda dengan ambisi yang hanya didasari dengan ego dan nafsu,  mau tidak mau kita harus mengucapkan selamat datang pada kekecewaan mendalam yang tentunya dapat merusak kesehatan mental kita.
Saat datang suatu masalah, segera menjauh dari emosi negatif seperti cemas, suudzon, gengsi bahkan sombong. Terima masalah dengan lapang dan segeralah mencari potensi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan itu. Mungkin pandemi ini membatasi pergerakan aktivitas kita, namun sama sekali tidak akan membatasi ide bagi orang yang mau berusaha dan tidak hanya diam apalagi bergantung pada orang lain. Ada banyak sekali alternatif untuk keluar dari permasalahan, mengambil waktu sendiri untuk introspeksi diri adalah langkah yang paling mudah. Setelah itu, mengeluarkan keluh kesah lewat tulisan terbukti dapat membuat kita lebih baik, seperti yang disebutkan dalam Lopez,dkk 2015 (Niederhoffer & Pennebaker, 2002, hlm.581). Bisa juga dengan memperbanyak diskusi bersama orang terdekat, kita tidak pernah tahu bahwa mungkin sousi dari permasalahan kita ada pada ide seseorang, namun ini juga tentang bagaimana kita menyeleksi saran dari orang lain karena hanya diri sendiri yang tau dan berhak memutuskan jalan keluar dari suatu permasalahan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”