Self-Injury, Pelarian Emosi Sementari Pada Remaja

Yang namanya manusia pasti akan selalu melewati masa pekembangan kan dalam hidupnya? Masa perkembangan itu ada banyak tahapnya, ada tahap anak-anak, remaja, sampai tahap dewasa. Tapi, masa yang ini bisa dibilang masa yang paling diingat nih karena terkenal dengan drama percintaan monyetnya. Yaps benar, masa remaja. Masa remaja adalah dimana seseorang mengalami masa transisi dari anak anak menuju tahap dewasa. Biasanya nih di masa ini sering kali kita para remaja akan menjadi lebih mudah marah, gampang tersinggung, dan sensitif tanpa adanya alasan yang jelas. Ini bisa terjadi karena perkembangan hormon yang menyebabkan emosi remaja seperti kita jadi tidak stabil atau moodswing. Menurut Hurlock (1980), masa remaja adalah periode Strom and Stress (badai atau tekanan) periode dimana remaja mengalami peningkatan ketegangan emosi akibat adanya perubahan fisik dan kelenjar. Dan dari ketegangan emosi tersebut, menyebabkan remaja tidak mampu mengendalikan emosi yang mereka rasakan. Sehingga, memunculkan perilaku – perilaku negatif demi memuaskan rasa batin serta emosi mereka nih. Salah satunya yaitu dengan menyakiti diri sendiri atau dalam kamus psikologi disebut dengan istilah self injury.

Advertisement

Menurut Hartanto (2010), self injury adalah tindakan melukai diri sendiri yang dilakukan secara sengaja, tapi tidak ada niatan mengakhiri hidup. Self injury adalah bentuk perilaku yang dilakukan individu untuk mengatasi rasa sakit secara emosional. Perilaku tersebut dilakukan individu sebagai cara unruk melampiaskan emosi negatif yang mereka rasakan, yang dimana emosi tersebut sulit untuk diungkapkan menggunakan kata – kata. Self injury juga bisa terjadi karena ingin melupakan pengalaman traumatis di masa lalunya yang penuh dengan kekerasan yang pernah terjadi di dalam kehidupannya. Dengan menyakiti diri sendiri, individu merasa bahwa rasa sakit fisik itu dapat menggantikan rasa sakit yang sedang dialaminya. Ada 4 alasan utama nih kenapa seseorang atau remaja seperti kita melakukan self injury 1) ingin merasakan sesuatu termasuk rasa sakit 2) meredakan ketegangan dan menghentikan perasaan buruk 3) untuk membuat orang lain berhenti mengganggu mereka 4) berkomunikasi dengan orang lain dan menunjukkan bahwa mereka menderita (Nock, 2008). Self injury ini biasanya dilakukan dengan cara menyayat bagian kulit tubuh menggunakan pisau atau silet, membakar bagian tubuh tertentu, memukul diri sendiri, menarik rambut dengan keras, memukul tembok, hingga memotong (cutting) bagian tubuh tertentu.

Walsh (2006) mengemukakan faktor yang melatarbelakangi perilaku self injury. Pertama faktor lingkungan, yang meliputi rasa frustasi, adanya tekanan, kehilangan hubungan, konflik interpersonal,isolasi sosial dan peristiwa-peristiwa yang dapat menjadi pemicu trauma. Kedua ada faktor biologis, yaitu seseorang yang melukai dirinya memiliki kelainan pada otaknya, sehingga ia cenderung mencari kepuasan dengan melukai dirinya. Biasanya kelainannya terjadi pada sistem limbic yang mengatur regulasi afektif yang menyebabkan individu sering mengalami ketidakmampuan emosi atau terlepasnya hormon opioid. Jadi, setelah melukai diri ia kehilangan sensitivitas pada rasa sakit. Ketiga, faktor kognitif yaitu pemikiran yang secara tidak langsung menjadi pemicu perilaku untuk melukai dirinya. Keempat ada faktor perilaku, yaitu perilaku yang membuat seseorang malu dan layak mendapat hukuman dengan melukai diri sendiri. Kelima faktor afektif, yaitu meliputi rasa kecemasan, tertekan, kemarahan, depresi, malu, rasa bersalah, dan kebencian.

Tindakan self injury sering terjadi di kalangan remaja yang berusia sekitar 15-19 tahun. Berdasarkan studi Radham & Hawton (dalam Whitlock, 2009: 2), ditemukan bahwa sekitar 13% sampai 25% dari remaja dan dewasa muda yang disurvei merupakan pelaku dari self injury. Remaja yang melakukan self injury, biasanya sangat menikmati kondisi tersebut. Sehingga tindakan ini dilakukan secara berulang kali, karena mereka sudah merasa kecanduan. Biasanya nih self injury ini dilakukan remaja secara diam – diam dan cenderung dirahasiakan. Mereka tidak mau orang lain mengetahuinya, sebab takut jika dirinya akan dinilai bodoh dan orang – orang disekitarnya akan pergi menjauhi.

Advertisement

Jadi,bagaimana ya kira-kira cara pencegahan self injury ini? Yuk simak bersama!

Salah satu cara mencegah self injury adalah dengan terapi writing ekpresif, yaitu suatu terapi yang menggunakan metode aktivitas menulis mengenai pikiran dan perasaan mendalam terhadap pengalaman emosional yang bersifat traumatik. Menurut Gorelick (dalam Malchiodi, 2007), terapi writing ekpresif bertujuan untuk meningkatkan pemahaman bagi diri sendiri maupun orang lain, meningkatkan kreatifitas, ekspresi diri dan harga diri, memperkuat kemampuan berkomunikasi dan interpersonal, mengekspresikan emosi yang berlebihan, menurunkan ketegangan, serta meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi masalah. Terapi writing ekspresif dianggap dapat meminimalisir perilaku self injury pada remaja, sebab dengan menulis remaja secara bebas dapat bercerita serta mengungkapkan perasaan atau emosinya yang selama ini telah terpendam. Pelepasan emosi yang terjadi saat menulis ekspresif, punya pengaruh yang baik bagi kondisi fisik. Terapi writing ekpresif juga dapat membantu remaja untuk lebih mengenal dan juga memahami diri sendiri.

Advertisement

Nah dari penjelasan diatas nih,dapat kita tarik kesimpulan bahwa self injury ini sangatlah berdampak negatif terhadap fisik maupun psikis terutama untuk remaja yang labil seperti kita. Maka dari itu, jika punya masalah ada baiknya bercerita pada orang terdekat ya agar merasa lebih lega dan hati pun tenang.

Referensi:

Faried, L., Noviekayati, I., & Saragih, S. (2018). EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSPRESIF WRITING THERAPY TERHADAP KECENDERUNGAN SELF INJURY DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN INTROVERT.

Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Wisnuwardhana Malang. 22(2), 118-131. https://doi.org/10.37303/psikovidya.v22i2.108

Afrianti, R. (2020). Intensi Melukai Diri Remaja Ditinjau Berdasarkan Pola Komunikasi Orang Tua. Jurnal Mediapsi. 6 (1). 37-47. http://dx.doi.org/10.21776/ub.mps.2020.006.01.5

Maidah, D. (2013). SELF IN

JURY PADA MAHASISWA (STUDI KASUS PADA MAHASISWA PELAKU SELF INJURY). Developmental and Clinical Psychology. 2 (1).

https://ejournal.poltekkes-denpasar.ac.id/index.php/JGK/article/view/828/267

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya

CLOSE