Sengkarut Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja: Sudut Pandang Sosiologi

Pengesahan Omnibus Law dari Sudut Pandang Sosiologi

Saat ini Indonesia tidak hanya membahas mengenai COVID-19, namun membahas mengenai pengesahan UU Omnibus Law. Saat ini, Omnibus Law sedang ramai dibahas dimana-mana. Namun sebelum berlanjut kepembahasan, Apa Omnibus Law itu? Mungkin masih banyak masyarakat yang tidak tahu apa itu Omnibus Law, untuk itu sebelum berlanjut saya ingin menjelaskan apa itu Omnibus Law. Presiden Joko Widodo menyampaikan konsep Omnibus Law saat dilantik sebagai presiden RI 2019-2024.


Omnibus Law merupakan undang-undang yang menyatukan sejumlah aturan menjadi satu aturan atau isu besar dijadikan satu undang-undang, misalnya RUU Cipta Kerja.


UU Omnibus Law juga disebut UU Sapujagat karena menyapu semua UU dan dibuat satu UU saja. Isu-isu Omnibus Law di antaranya adalah RUU Cipta Kerja dan RUU Perpajakan. Kenapasih Omnibus Law ini dibuat? Omnibus Law dibuat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, karena dari sisi pengusaha banyak sekali yang merasa bahwa UU Ketenagakerjaan yang ada membebani perusahaan. Omnibus Law tidak hanya ada di Indonesia, namun sudah banyak negara-negara lain yang sudah menerapkan sistem ini seperti salah satunya Amerika.

Bagaimana proses pengesahan UU Omnibus Law? Diikuti dari Reportase Tirto.Id, panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja berlangsung maraton sejak pukul 10.20 pagi hingga malam, Omnibus Law akhirnya resmi disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 walaupun mendapat penolakan dari berbagai elemen. Dan tanpa naskah final, tetap disahkan DPR bahkan dari Fraksi PKS mengatakan pengesahan UU Cipta Kerja sangat tak lazim dikarenakan salinan draf RUU cipta kerja tidak dibagikan kepada anggota.

Pembahasan mengenai Omnibus Law ini masuk kedalam paradigma Fakta Sosial. Fakta sosial merupakan sesuatu yang nyata yang terlepas dari induvidu dimana terdapat sesuatu di luar diri kita yang mampu memaksa diri kita untuk melakukan sesuatu agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang ada di luar diri kita. Dimana karakteristik fakta sosial adalah eksternal dari individu, memiliki kemampuan memaksa, bersifat umum, kolektif dan dimilkiki bersama. Fakta sosial bisa berbentuk material dan immaterial. Untuk itu, penulis akan menganalisis topik ini menggunakan Teori Struktural Fungsional dari Robert. K. Merton. Dimana Merton Memperkenalkan konsep fungsi nyata (Manifes) dan fungsi tersembunyi (laten). Dalam istilah-istilah yang sederhana, fungsi-fungsi nyata adalah yang disengaja, sementara fungsi-fungsi laten tidak disengaja (Ritzer, 2012).

Dalam topik yang dibahas, terdapat pro kontra yang terjadi akibat pengesahan UU Omnibus Law ini. Pertama, Fungsi manifes atau sering dikenal dengan fungsi nyata atau fungsi yang diharapkan. Jika dilihat terkait dengan topik yang diangkat penulis terdapat fungsi manifes dari pengesahan UU Omnibus Law, bahwa undang-undang ini dibuat untuk kemaslahatan bersama, mendukung pemberdayaan program UMKM karena jenis usaha yang rendah resiko tidak perlu izin, hanya mendaftar, meningkatkan daya saing, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kesejahteraan karyawan, menekan masalah dan hambatan industri, bahkan tujuan UU Cipta Kerja adalah melakukan perbaikan ekosistem investasi serta kemudahan dan pemberdayaan.

Bahkan dikutip dari instagram dari @hotmanparisofficial, Hotman Paris baru-baru ini mengungkap isi dari draf UU Cipta Kerja. Menurutnya terdapat pasal yang sangat menguntungkan para buruh dan pekerja, UU Cipta Kerja memiliki dampak positif bagi kaum pekerja dan buruh. Karena terdapat sanksi tak membayar pesangon kini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana dan dapat dipenjara maksimal 4 tahun. Dalam videonya, Hotman Paris mengatakan bahwa UU ini dapat menolong para buruh untuk mendapatkan hak pesangon.

Kedua, fungsi selanjutnya ialah  fungsi latensi (fungsi tersembunyi) merupakan fungsi yang tidak diharapkan. Dari kasus tersebut, fungsi latensi dari pengesahan UU Omnibus Law ini dapat dilihat dari kubu karyawan. Dimana banyak hak-hak karyawan yang akan dicabut di antaranya hilangnya upah minumum karena pekerja akan dibayar perjam,  sehingga wajib kerja minimal 40 jam/minggu supaya dapat gaji minimum, peraturan mengenai pesangon dalam UU 13/2003 akan dihilangkan dan akan digantikan dengan istilah baru yakni tunjangan PHK hanya 6 bulan kali upah, padahal sebelumnya buruh berhak mendapat 38 bulan kali upah. Para buruh menolak fleksibilitas pasar kerja ditakutkan tidak akan memberikan kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap, karyawan takut jika nantinya Omnibus Law akan menghapus berbagai peraturan ketat bagi tenaga kerja asing, jaminan sosial yang ada berpotensi hilang karena sistem kerja yang fleksibel dan buruh menolak adanya wacana penghapusan sanksi bagi pengusaha yang tak pemberikan hak buruh. Selain itu, buruh menganggap UU Omnibus Law ini tidak berpihak kepada kaum marginal, karena dianggap mementingkan investor. 

Di setiap keputusan pasti akan menimbulkan dampak positif dan negatif bagi masyarakat sekitar. Saran dari penulis, sudah semestinya pemerintah memberikan ruang sebesar-besarnya untuk proses demokrasi, memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat atau aspirasinya, serta mendengarkan aspirasi tersebut untuk selanjutnya ditindaklanjuti. Tindakan ini untuk mencapai suatu tujuan yang memberikan manfaat bersama, mengingat bahwa pemerintah merupakan kumpulan orang yang dipilih dan bekerja untuk kepentingan rakyat.   

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Sosiologi Universitas Mataram