Seorang Petani Tulang Punggung Keluarga dan Pendidikan

Menjadi pilihan untuk tetap mengembangkan desa melalui pendidikan mengajaji dan menggarap sawah dari pemberian orang

Pembangunan di Indonesia sangat pesat pada 10 tahun terahir ini. Perkotaan dan pedesaan dari segi insfrastrukturpun mengalami kemajuan, walupun tidak sebagus di kota. Sudah sejak lama pula, orang desa banyak mengadu nasib ke kota – kota besar. Seperti Jakarta, Bandung, bahkan tak enggan untuk menjadi buruh sawit di Kalimantan ataupun di Sumatera dan meninggalkan desa untuk  dapat sekedar bertahan hidup dirinya dan keluarganya.

Advertisement

Desa ramai hanya ketika puasa Ramadhan tiba dan Idul Fitri datang. Selepas itu, desa menjadi sepi. Begitu juga keadaan sawah yang dapat kita lihat hanya orang-orang tua tanpa anak muda yang berkecimpung di dalamnya. Mereka kisaran umur 45 tahun ke atas usianya. Tidak ditemui usia muda yang berkecimpung di lumpur dan bau pematang sawah. Lebih memilih di luar desa pergi ke pulau sebelah untuk mengadu nasib, dengan alasan di desa menjadi petani atau berkebun tidak menjanjikan untuk masa depan.

Memberikan apresiasi setinggi tingginya bagi mereka yang tetap di desa dan hidup dengan sederhana ditambah bahwa sawah yang digarap hanyalah pemberian yang sewaktu waktu dapat diambil sang pemilik. Namun, itu juga yang bapak saya ambil, untuk menghidupi hidupi sura depan rumah, bapak tidak seperti saudara saudaranya yang lain. Pergi ke kota besar atau ikut menjadi buruh di pulau sebelah.

Beliau tiap hari menjadi imam dan sekaligus guru ngajaji, yang tidak mengharapkan bayaran. Karena, berjuang di duni pendidikan itu tidak bisa mengharapkan jagi, kecuali mereka yang mengkomersialisasikan.

Advertisement

Sebagai wujud tanggung jawab kepala keluarga, beliau menjadi petani. Ketika petang, selepas subuh beliau pergi kepematang sawah untuk sekedar mengairi atau mencabuti rumput yang bakal mengganggu tumbuh kembang padi.

Rasa menderu tentu datang pada putra pertamanya, ketika melihat orangtua yang sudah tidak muda lagi memikul hal yang berat dari rumah pergi ke swah. Dan ia tidak dapat membantunya setiap hari, karena harus di luar kota. Pergi berjauhan memang menjadi pilihan untuk semuanya dapat menjalani takdir dengan penuh rasa syukur.

Advertisement

Bapak memang luar biasa, dimana banyak yang tergiur untuk mengadu nasib di kota-kota besar dan mendapatkan jagi perbulan, bapak memilih untuk tetap menghidup-hidupi desa, dengan menjadi imam musola, guru ngaji/madrasah, dan tetap menjadi petani untu menghidupi kelurga.

Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan dan kesempatan agar dapat selalu mensyukuri nikmatNya pada keluraga ini dan masyarakat Indonesia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang hamba Allah yang fakir ilmu dan terus berjuang untuk mendapatkan kebermanfaatan hidup

CLOSE