Siapa Bilang Belajar Ke Luar Negeri Harus Dengan Beasiswa?

Oleh Nadira Natasya – Member AIESEC Indonesia

Vito merupakan mahasiswa tingkat awal di Iuniversitas Sriwijaya Palembang. Sejak duduk bangku perkuliahan, ada satu hal yang Vito ingin wujudkan yaitu bisa mendapatkan beasiwa ke luar negeri. Ada banyak program beasiswa ke luar negeri yang di buka oleh pemerintah Indonesia, akan tetapi kita harus mengikuti proses seleksi.Vito pernah mengikuti seleksi beasiswa namun gagal lolos seleksi tahap selanjutnya. Tapi Vito selalu ingat apa yang disampaikan oleh kakeknya, bahwasannya “Kalau kita tidak bisa mendapatkan peluang, maka Ciptakan Peluang !”.

Keinginan Vito untuk belajar di luar negeri dan bisa merasakan atmosfir kehidupan internasional sangatlah besar. Suatu hari, ia mengetahui sebuah program pertukaran pelajar ke luar negeri. Pertukaran pelajar tersebut dinaungi oleh AIESEC. Organisasi ini berfokus pada pengembangan kepemimpinan pemuda dan menjadi ambassador di luar negeri untuk menjalankan project social, tapi biayanya ditanggung oleh peserta itu sendiri. Seketika saya berpikir, bahwa program pertukaran pelajar tersebut tidak bagus karena itu sangat berbeda apa yang saya bayangkan.

”Jika Kita tidak mendapatkan, peluang maka Ciptakan Peluang” lagi-lagi perkataan itu menjadi motivasi bagi Vito. Ia sempat bingung harus mendapatkan biaya darimana untuk mengikuti program tersebut. Orang tuanya tidak menyetujui karena mindset bahwa beasiswa semua biayanya harus ditanggung.

Tujuan Vito adalah pergi dan belajar ke luar negeri tidak peduli itu beasiswa atau apapun. Singkat cerita akhirnya dia mendapatkan ide bagaimana cara mengikuti program tersebut melalui biaya sponsor. Pokoknya bisa atau tidak yang penting mencobanya dahulu.

Seperti kata pepatah, “kalau ada kemauan pasti ada jalan keluarnya.” Akhirnya Vito memberanikan diri untuk ikut mengikuti proses tahap seleksi dan lolos proses tahap akhir. Tito memilih projek edukasi yang bertema ‘Chance Giver’ di negara Vietnam.

Sekitar kurang lebih 2 bulan sebelum keberangkatan, Vito giat mencari sponsor yang bisa membiayai perjalanannya. Dipertengahan minggu ketiga ada satu pihak instansi yang menghubungi yaitu Pemerintah Kota Lubuklinggau. Mereka setuju untuk membiayai saya dan memberikan satu cinderamata kehormatan dari kota lubuklinggau serta baju adat sumatera selatan ’Songket’. Alhamdullilah, Allah swt mengabulkan apa yang saya inginkan dan juga terima kasih kepada instansi yangs men-sponsori kegiatan tersebut.

Vito terbang menuju Vietnam dan tinggal disana selama 6 minggu untuk menjadi relawan guru. Ia mempunyai banyak murid yang usianya berbeda-beda mulai dari anak, remaja, dewasa hingga lansia. Materi yang dia ajarkan adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta mengajari mereka tentang indonesia. Di Vietnam, Vito hidup di lingkungan Budha dan ini adalah pertama kalinya dia tinggal satu atap dengan orang budha.

Kehidupan di Vietnam sangat berbeda dengan kehidupan di indonesia, jika di indonesia mayoritas penganut agama islam sedangkan di Vietnam mayoritas penganut agama budha dan rata-rata ateism. Tentu perbedaan agama sangat berpengaruh dalam kegiatan aktivitas sehari-sehari seperti misalnya perbedaan di Indonesia makanan babi itu dilarang, kalau di Vietnam makan babi itu menjadi makanan favorit.

Ada pengalaman yang sangat menarik ketika Vito mengajar di pagoda. Ia memiliki murid yang usianya 40-58 tahun dengan semangat belajar yang tinggi. Vito memiliki mindset semua orang yang memasuki usia lansia hanya diam saja di rumah dan cukup untuk istirahat saja ternyata anggapan tersebut salah.

Vito bertanya kepada mereka, “Kenapa anda masih mau belajar?”.

Jawabannya cukup mengejutkan, “Karena aku ingin tinggal di Amerika, karena aku ingin bisa berbahasa inggris, karena aku ingin bekerja di luar negeri.”

Bukan itu saja,mereka semua juga sangat senang belajar bahasa indonesia serta ingin sekali mengetahui Indonesia lebih dari yang saya ajarkan. Selama di Vietnam, Vito tinggal di Pagoda dengan exchange participants dari berbagai negara, mereka tinggal dalam satu atap. Tinggal dengan orang yang berbeda suku, ras dan agama juga menjadi pengalaman yang beharga dan tentunya banyak perbedaan.

Vito menggunakan pancasila adalah ideologi yang fleksibel dan bisa digunakan sekalipun di lingkungan internasional. Vito juga memaparkan apa itu pancasila kepada murid dan teman-teman lainnya sebagai ideologi negara. Vito juga ceritakan tentang sejarah Republik Indonesia dimulai dari zaman kerajaan sampai zaman reformasi dan juga biografi Presiden Soekarno Hatta serta perjuangannya bersama teman-temanya untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan. Ternyata, mereka semua mengetahui sejarah tersebut.

Perasaan sangat bangga dirasakan Vito ketika mengetahui ternyata mereka tahu tentang asal usul Indonesia. Soekarno bukan hanya bapak bangsa Indonesia melainkan juga bapak bangsa dunia khususnya Asia –Afrika. Beliau sangat dikenal dunia sebagai sosok pahlawan yang berjuang untuk keadilan dan menghapuskan penjajahan.

Singkat cerita, perjalanan di Vietnam sungguh menyengkan mulai dari kisah persahabatan sampai lingkungan internasional.

“Perjalanan ini tentu sangat berharga bagi saya, karena disini saya belajar banyak mulai dari belajar bagaiamana menerapkan bahasa inggris sebagai bahasa sehari-hari, belajar mempunyai semangat belajar yang tinggi, belajar untuk kerja keras, belajar untuk berjuang dan tentunya belajar menerima perbedaan. Walaupun ini bukan beasiswa, tapi yang saya bangga bisa mendapatkan kesempatan ini” Ungkap Vito.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

AIESEC is a leadership development organization that located in 126 countries. In Indonesia, we are located in 24 cities.

4 Comments

  1. Grace Cia Kim berkata:

    Daftar yukkkk di F*a*n*s^B*e*t*t*i*n*G 🙂 :*
    Kesempatan dapat Uang … share ya 5.E.E.8.0.A.F.E. F4n5833771n9 ^_^