Sunk Cost Fallacy: Fenomena yang Kamu Alami Saat Terjebak dalam Keputusan Masa Lalu

Jebakan psikologis tentang suatu keputusan yang sudah terlanjur diambil

Mengambil keputusan adalah hal yang akrab dengan kehidupan. Coba ingat berapa kali dalam sehari kita dihadapkan pada pengambilan keputusan? Entah itu keputusan-keputusan besar jangka panjang menyangkut soal karir, pendidikan, finansial hingga memilih pasangan. Keputusan juga bisa hal  kecil, seperti hari ini mau makan apa, mengenakan outfit yang bagaimana, memakai sepatu warna apa, hang out di mana, dan banyak lagi. Terkadang, tanpa sadar butuh kita pikirkandan pertimbangkan. Pertimbangan ini tentu juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti lingkungan, ketajaman, logika untuk berpikir rasional, bahkan emosi yang kita rasakan saat itu juga ikut terlibat dalam penentuan keputusan. Logika dan emosi, 2 hal yang menjadi kompas dalam pengambilan keputusan. Tak lupa output dari pengambilan keputusan berupa manfaat dan resiko. Mana yang memberikan output berupa manfaat paling banyak dengan resiko terkecil itulah yang kita pilih.

Advertisement

Namun, keadaan terus berubah. Apa yang menurut kita saat itu baik belum tentu hari ini pun akan berlaku demikian. Harga barang dan jasa saja bisa mengalami inflasi, begitu juga dengan hal lain dalam kehidupan. Emosi dan logika yang kita gunakan dalam pengambilan keputusan pun bertumbuh seiring waktu. Kita sering melabeli diri sebagai makhluk rasional. Lebih banyak mengandalkan logika. Namun, sulit bagi kita untuk mengabaikan emosi saat proses pengambillan keputusan. Kenyataannya, kita selalu membuat keputusan yang tidak memiliki dasar dalam kenyataan. Emosi kita lebih banyak mengambil alih. Masalahnya, emosi bisa menjadi petunjuk yang buruk karena tidak dapat diukur secara akurat. Sulit diketahui bagaimana perasaan kita di masa depan dan seberapa penting perasaan itu.

Ada suatu fenomena menarik terkait proses pengambilan keputusan ini. Fenomena yang disebut dengan Sunk Cost Fallacy. Sunk Cost Fallacy merupakan sebuah jebakan psikologis di mana kita merasa terjebak dalam suatu keputusan yang sudah terlanjur kita ambil dan kita jalani, padahal kita tau bahwa keputusan itu sudah tidak relevan dan kurang memberi manfaat untuk saat ini. Hanya karena kita merasa sudah invest banyak waktu dan tenaga untuk menjalani  hal tersebut, kita pun enggan berbelok arah dan mencari jalan lain yang lebih baik.

Istilah Sunk Cost sering digunakan dalam akuntansi untuk merujuk pada biaya hangus atau biaya yang terjadi di masa lalu dan tidak dapat diubah sekarang maupun di masa mendatang. Dalam investasi misalnya, sering kali ditemukan beberapa orang yang tetap memilih setia pada suatu saham meskipun saham tersebut tren nya sedang turun. Beberapa orang tersebut memilih untuk tetap berinvestasi karena mereka sudah terlanjur banyak mengeluarkan uang dan merasa sayang untuk meninggalkan saham tersebut. Orang sering menyebutnya dengan kebucinan dalam investasi.

Advertisement

Dalam relationship pun kita sering jumpai fenomena Sunk Cost Fallacy, seseorang yang terjebak dalam toxic relationship dan enggan mengakhiri hubungannya karena merasa telah invest banyak waktu, tenaga, bahkan uang. Dalam dunia karir/pendidikan juga sering kita jumpai Sunk Cost Fallacy. Banyak orang yang tetap bertahan dengan bidang yang ditekuninya saat ini hanya karena merasa sayang sudah invest banyak waktu dan tenaga untuk mempelajari dan menekuni bidang tersebut padahal ia sudah tidak ada gairah lagi di bidang tersebut.

Alih-alih menggunakan waktu dan tenaga yang ada untuk mencoba keluar dari hubungan yang toxic atau mencoba mempelajari bidang baru yang  lebih passionate, ia malah terjebak pada keputusan masa lalu.

Advertisement

Mengapa hal itu bisa terjadi ?

Hal tersebut terjadi berkaitan dengan emosi yang kita miliki. Aturan ego. Perasaan tidak mau mengakui kesalahan. Perasaan ingin dianggap telah memilih keputusan yang tepat di masa lalu. Daripada mengakui kesalahan, kita berinvestasi lebih banyak dalam situasi yang gagal. Kita benci mengakui kegagalan. Kita lebih senang membodohi diri sendiri dengan percaya bahwa segala sesuatunya akan berbeda. Kita lebih memilih berfokus pada investasi masa lalu daripada nilai sekarang dan masa depan.

Apa yang mereka pikirkan? Dengan mempertahankan hubungan yang tidak bahagia ini, aku akan membuktikan bahwa selama ini keputusanku benar. Aku tidak membuang waktu dan tenaga ku dengan percuma. Mari kita menutupi kebenaran dan membuatnya terlihat baik untuk orang lain. Setidaknya egoku akan terobati.

Itulah sekiranya bisikan di hati orang yang terjebak dalam Sunk Cost Fallacy. Bertahan hanya untuk memenangkan ego. Masalah dengan pemikiran itu adalah kita membuang lebih banyak waktu dan sumber daya untuk mencoba memperbaiki kesalahan masa lalu.

Tetapi bukankah bagus jika kita bertahan dan konsisten dengan pilihan ?

David Eipstein dalam bukunya berjudul Range mengutip perkataan seorang ilmuwan komputer bernama Ibarra. Ia mengatakan, sapalah berbagai kemungkinan dari diri Anda. Alih-alih membuat rencana yang besar, temukan berbagai eksperimen kecil yang Anda lakukan dengan cepat. Uji dan Belajar, bukan Rencana dan Laksanakan.

Masih dalam buku yang sama, Paul Graham yang juga seorang ahli komputer juga mengatakan Alih-alih bekerja mundur dari suatu tujuan, bekerjalah maju dari suatu situasi yang menjanjikan.

Terakhir. Mengutip apa yang disampaikan Seth Godin, seorang penulis beberapa buku karier terpopuler di dunia yang juga salah satu tokoh yang menentang orang yang menyerah tidak pernah menang . Godin mengatakan bahwa para pemenang—-pada umumnya adalah orang-orang yang mencapai puncak di bidangnya—cepat dan sering menyerah ketika mereka mengenali bahwa rencana tersebut bukanlah kecocokan yang terbaik baginya dan tidak merasa buruk ketika melakukannya. Sebaliknya, kita gagal ketika bertahan pada tugas-tugas yang tidak berani kita hentikan. Tekun menghadapi kesulitan adalah suatu keunggulan kompetitif untuk bertahan pada suatu bidang. Namun, mengetahui kapan harus berhenti adalah sebuah keunggulan strategis. Jasdi, etiap orang sebelum mulai mengubah rencana harus mengetahui dengan baik apakah peralihan itu hanya disebabkan oleh kegagalan untuk bersiteguh atau melalui proses pengenalan yang cerdas tentang adanya kecocokan lain yang lebih baik.

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

I graduated from Setia Budi University majoring in Pharmacy. My researches about nanoformulation I interest with creating content, reading, and writing. The kind of books that I love is about self-improvement or romantic novel. You can follow my instagram account @ajeng.wnd, I reviewed book on it. I love writing articles. Some of my article posted by Hipwee. I usually write about lifestyle or other random things, as I wish. I'm talkative person but I'm an introvert. Previously, I had a part-time job at a pharmacy in Solo as a pharmacist assistant when I was in college. During this period, I have learned so much about the values of teamwork and commitment, how to win, how to work hard, how to concentrate and focus on goals, and how to balance my time and priorities. Additional experience in other fields such as an internship in a hospital and public health centers can increase my value to your company. I enjoy thinking, learning and working. I can bear work pressure. I have a huge passion for the development of the pharmaceutical world.

CLOSE