Surat Terbuka untuk Ayah, yang Telah Memberi Restu dan Mengantarkan Putri Kecilnya untuk Menikah

Semenjak menikah, peran seseorang bukan berubah, tetapi bertambah

Ketika ayah ingin melepas putrinya untuk dinikahkan dengan seorang pria, biasanya secara tidak langsung ayah yang akan menyeleksi dengan ketat pria tersebut. Ayah salah satu orang yang akan menjamin dan memastikan bahwa laki-laki yang dicintai putrinya dapat bertanggungjawab dan pantas menggantikan posisinya.

Advertisement

Rentetan acara menuju pernikahan mulai dilakukan. Prosesi adat sedang berjalan malam itu. Balutan kebaya warna merah muda dipadukan dengan bawahan jarik serta kerudung warna merah muda soft, dan makeup tipis hasil polesan tanteku membuat aku merasa memiliki penampilan yang berbeda dari biasanya. Kalau boleh jujur sebetulnya aku terbilang orang yang sangat sederhana dalam hal berpakaian maupun ber-makeup, sedangkan malam itu mukaku serasa mendapat sentuhan lain dari kuas-kuas makeup yang lembut itu.

Malam midodareni menjadi malam yang cukup berkesan. Aku tidak diperbolehkan untuk keluar kamar apalagi bertemu dengan calon pengantin laki-laki. Istilahnya pengantin wanitanya diumpetin dulu, supaya besoknya ketika akad nikah (katanya) pengantin laki-lakinya 'pangling' dengan pengantin wanitanya (ibaratnya dipingit lah yaa… ).

Setelah prosesi itu selesai, rasanya udah gak karuan. Udah tinggal berdoa, biar besok ketika akad nikah lancar dan sesuai yang diharapkan. Di sela-sela kecemasan yang mencoba dengan sekuat hati dan tenaga untuk dikontrol dengan doa, ayahku mengetuk pintu kamar dan memanggil namaku,

Advertisement

"Mbak udah tidur?", kujawab dengan sigap bahwa aku belum tidur.

Ayahku kemudian membuka pintu kamar dan berjalan masuk ke kamarku. Beliau duduk tepat di pinggir tempat tidurku. Seketika suasana di kamarku menjadi lebih serius, tiba-tiba aku merasa hening, hanya terdengar suara-suara chaos orang-orang di luar sana yang seperti menjauh entah hilang kemana (tapi aku merasanya demikian). Hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak. Ayahku membuka pembicaraan dengan kalimat begini:

Advertisement

"Besok kamu sudah menjadi istri orang," seketika getir.. Entah belum tau apa yang akan diucapkan di kalimat berikutnya, tapi rasanya langsung nyesss…. mata sudah mulai terpenuhi dengan air.

Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tidak menetes. Tujuannya biar terlihat kuat dan terkesan tidak cengeng. Ternyata tak mampu kubendung, air mata mulai menetes dan ujungnya justru mengalir deras, meskipun mulutku tersenyum, sambil berusaha terus fokus mendengarkan pesan ayahku. Aku lupa tepatnya ayah mengatakan kalimat seperti apa lengkapnya, kurang lebih yang kuingat kalimatnya begini

"Besok kamu sudah jadi istri orang, kepatuhanmu yang utama ke suamimu, dan bukan berarti kamu tidak patuh sama orangtua. Statusmu bukan lagi hanya sebagai anak tapi juga istri, yang artinya peranmu juga bertambah bukan berubah. Yang nurut ya mbak sama suamimu, tanggungjawab papa dan peran papa sebagai laki-laki satu-satunya yang paling kamu percaya selama ini sekarang mungkin akan digantikan dengan laki-laki lain, insyaAlloh papa ridho. Kalo dulu kamu apa-apa ke papa, mulai besok mungkin sudah nggak lagi ke papa. Jadi orang yang selalu sabar, hidup itu berjuang, kamu harus bisa menjadi penguat suami kamu"

Seketika kupeluk beliau dan kukatakan terima kasih.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Soon to be Adult Clinical Psychologist |email : auliyaulilirsyadiyah@gmail.com| IG: auliyaui| twitter: ulilauliya |Family | Relationship | Love | sharing | travelling | Beach | Nature

CLOSE