Ternyata Tuhan Masih Sayang Padaku

Saat itu aku masih kuliah semester enam, seperti kebanyakan orang-orang seusiaku aku juga senang sekali traveling. Kebetulan waktu itu aku berkesempatan menjamah tanah Jawa Timur untuk ke dua kalinya, saat itu aku akan mendaki gunung Semeru. Aku dan temanku merencakan pendakian ini cukup matang, mulai dari berburu tiket kereta api hingga pembuatan kaos pendakian, semua kami persiapkan dengan seksama. Hingga saat yang dinanti pun tiba, awalnya aku tidak mengenal teman-teman pendakian yang dibawa oleh temanku, aku hanya mengenal dia dan pacarnya. Namun setelah di kereta aku pun mulai membaur dengan mereka dan kami pun akrab satu sama lain.

Kami tiba di Malang keesokan harinya dan memulai pendakian sekitar pukul tiga sore, perjalanan di mulai dari Pos Ranu Pane dan semua berjalan lancar tidak ada suatu hambatan apapun. Namun ada yang berbeda, ada salah satu teman pendakianku yang sering kali menggodaku. Dia kerap kali bertingkah usil dan sesekali bertingkah konyol, namun aku tak terlalu menanggapinya.

Saat itu yang kupikirkan hanyalah mungkin dia sedang modus. Tapi semua berubah saat kami bersama-sama melewati puncak Mahameru, sepanjang perjalanan summit attack dia tak pernah sekalipun meninggalkan aku, dia selalu setia menunggu bahkan dia tidak segan menggadeng tanganku dan menuntunku saat aku mulai lemah dan seolah tidak sanggup lagi melangkah. Semua berubah, ada rasa simpatik dihatiku, aku tau dia adalah orang yang sangat bertanggung jawab terhadapku.

Selang beberapa hari setelah pendakian gunung Semeru, kami masih sering berkomunikasi. Bahkan komunikasi kami semakin intens, dan beberapa kali kami sering jalan. Singkat cerita mulai jatuh cinta satu sama lain. Namun meskipun kami sudah sangat dekat, dia tidak pernah berani mengutarakan perasaannya, hanya lewat sikap-sikap dan perhatian dia menunjukkan rasa sayang kepadaku. Tapi dia cukup berani memperkenalkan aku ke kehidupan paling pribadinya yaitu keluarga. Aku senang karena keluarganya sangat welcome dan ramah kepadaku. Tidak butuh waktu lama aku mulai akrab dengan keluarganya dan terbiasa berkunjung kesana.

Kami menjalani hubungan seperti pasangan lainnya, hanya saja bisa dibilang kami sangat adem ayem dan jarang sekali bertengkar. Sesekali kami saling marah dan cemburu, namun segera kami selesaikan dan semua kembali seperti semula. Dia mungkin hanya pria sederhana, tapi aku sangat bahagia bisa menjadi bagian dari hidupnya. Dia telah mengubah pandanganku terhadap cinta. Selain kuliah aku juga bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.

Bisa dibilang penghasilanku sudah lumayan dan mapan secara finansial, tapi aku rela menghabiskan waktuku bersama pria sederhana yang belum memiliki pekerjaan yang tetap. Jangankan untuk memanjakanku dan membelikanku ini itu, untuk sekedar jajan di kampus saja mungkin uangnya pas-pasan. Tapi aku tak pernah melihat itu, aku bahagia walau hanya makan di warung tenda pinggir jalan. Saat bersamanya semua terasa cukup, walau kami sedang susah. Dia benar-benar telah mengubah hidup dan pola berpikirku. Aku percaya suatu saat nanti dia akan menjadi orang yang hebat untukku, dan aku akan menemaninya dari dia yang bukan siapa-siapa.

Kami cukup serius dalam menjalani hubungan, kami berencana menikah tiga tahun ke depan, walaupun aku tidak tahu apa jadinya nanti. Tapi aku tetap menjalani semuanya dengan ikhlas sembari terus berharap mimpi duduk dipelaminan bersamanya segera menjadi nyata.

Hampir setahun kami bersama, namun keadaanya mulai berbeda. Semua mulai terasa semakin datar dan hambar, mungkin kami sedang dititik jenuh suatu hubungan. Kini hari-hari yang kujalani mulai terasa melelahkan, aku harus lebih banyak berperan agar rasa bosan ini segera memudar. Entah kenapa langkah ini mulai berat, aku seperti berjalan dengan satu kaki. Seolah hanya aku pihak yang ingin mempertahankan hubungan ini. Memasuki bulan ke sepuluh hubungan kami, aku benar-benar sudah muak dengan semua ini, semua usaha yang kulakukan hanyalah sebuah kesia-siaan belaka.

Aku mulai mengerti bahwa tak mudah melangkah dengan satu kaki. Aku sudah melakuan berbagai macam cara agar semua baik-baik saja seperti sedia kala, namun semua perjuanganku sia-sia. Dia seolah-olah memang mengingikan perpisahan diantara kami, tapi dia tidak pernah sekalipun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi diantara kami. Saat kata-kata cinta yang dulu begitu manis berubah menjadi sebuah kepasrahan itu berarti semua telah usai. Hati ini benar-benar hancur mengingat perjuangan untuk bisa sampai dititik ini, sudah banyak waktu yang terbuang, sudah banyak air mata yang berlinangan, sudah banyak pengorbanan yang dilakukan, haruskan aku menyerah sekarang?

Namun aku harus kuat, inilah kenyataan pahit yang harus aku terima. Bahwasanya sekalipun keluarga pasanganmu sudah menerimamu tak menjamin masa depan hubunganmu akan terus bersatu. Meski begitu hati ini selalu bertanya apa yang sebenarnya yang membuat dia berubah, aku sangat tidak mengerti.

Seiring berjalannya waktu, satu persatu pertanyaanku perlahan mulai terjawab. Ternyata ada orang lain yang dia harapkan. Aku sangat kesal dan benci dengan semua kebohongan-kebohongan dan penghianatan yang sudah ia lakukan. Tapi apa daya, kami sudah berpisah. Tiada guna memaki keadaan, toh tak akan mengubah apapun.

Kecewa dan marah hanya akan membuat luka ini semakin menganga. Aku harus bangkit, hidupku harus tetap kulanjutkan dan aku harus bahagia. Walau kenyataannya tak semudah yang ku bayangkan. Hari-hari yang ku lewati masih terasa berat, mungkin karena hati ini belum ikhlas. Sementara di sana dia sedang tertawa bahagia dan memadu kasih dengan wanita itu. Oh Tuhan kenapa ? Ini tidak adil. Sulit untukku, sulit Tuhan.

Di tengah keterpurukanku dalam merapikan kepingan-kepingan hati yang hancur, aku pun harus berjuang untuk menyelesaikan tugas akhirku sebagai seorang mahasiswa. Aku benar-benar kehilangaaan sosok penyemangatku. Untuk kesekian kalinya langkah ini semakin berat dan kiat berat. Namun aku harus membunuh perasaan ini, menghapus semua angan dan kenangan hingga tak tersisa sedikitpun.

Perlahan aku bangkit, ku jadikan rasa kecewa ini sebagai cambuk penyemangatku agar tugas akhir ini segera selesai. Hari demi hari berlalu, tanpa terasa luka yang dulu terasa sangat perih perlahan mulai mengering. Tak sebentar memang untuk mengembalikan semuanya seperti semula, butuh proses yang cukup panjang yang ku sebut dengan proses pendewasaan. Kisah pahit itu menjadikanku pribadi yang lebih baik setiap harinya, dan kini aku sadar mengapa Tuhan memisahkan aku dengannya, ternyata Tuhan cemburu melihatku lebih mencintainya dibandingkan dengan Dia.

Kini semua berubah aku tak perlu terburu-buru mencari penggantinya yang tidak menutup kemungkinan akan membuat kecewa untuk ke dua kalinya. Justeru aku sedang menikmati masa-masa di mana aku ingin memanja kepada-Nya, memasrahkan hati ini berlabuh ke dermaga pilihan-Nya. Dan ternyata jatuh cinta kepada pemilik semesta itu sangat indah. Aku tak perlu takut kecewa, karena aku tau Dia selalu memberiku lebih daripada apa yang ku harapkan.

Dia tak pernah meminta imbalan apapun kepadaku, Dia hanya menginginkaku untuk senantiasa dekat dengan-Nya dan memanjatkan doa-doa kepada-Nya. Seperti halnya mengayuh sepeda aku percaya bahwa doa-doa itu akan membawaku kepada tujuan yang nyata. Yang perlu aku lakukan hanyalah terus mengayuh sepeda itu, karena jika aku berhenti kemungkinan aku akan terjatuh.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

I'm the reflection of you, like a mirror.

12 Comments

  1. Lusiana Manalu berkata:

    sumpah….ini pengalaman aku banget mbak..ternyata tidak hanya aku yg mengalami nya,,mencoba bangkit dr ketepurukan itu sulit sekali

  2. Sama seperti ceritaku

  3. Ini cerita mirip sekali dengan kisahku. Bedanya kalo pertemuan mba dan dia di gunung, saya di laut. Hiks hiks

  4. N Ammalia berkata:

    Sama kayak aku kak yg bagian dalam kondisi sangat down harus berjuang melewati Tugas Akhir kuliah. Malah aku sudah berjalan 3 tahun dan itu kandas