Indonesia Masih Musim Pancaroba: Cedera Akhlak Generasi Muda

"Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama. Kita masih hidup di masa pancaroba. Tetaplah bersemangat elang rajawali!" –Ir. Soekarno, dalam pidato peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, tahun 1949

Advertisement

Indonesia adalah negara kaya dengan segala ragam budaya dan konflik yang ada. Tidak mudah untuk menyatu suarakan seluruh pulau yang ada menjadi Bhinneka Tunggal Ika. Masih segar dalam ingatan kita, pada 1 Juni, tujuh puluh tiga tahun yang lalu sebagai Hari Lahir Pancasila. Mereka, sosok-sosok yang begitu menginginkan bangsa yang berkarakter, berbudi luhur dan berlandasan, mengutarakan niat dan maksud dari pikiran-pikiran yang sangat luar biasa, yaitu Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia.

Begitu sakti Pancasila, hingga berpuluh-puluh ribu manusia tidak tahu terima kasih mencoba meruntuhkannya, mengganti dengan ideologi-ideologi yang lain, namun Pancasila tetap berdiri tegak. Tidak goyah. Hingga melahirkan Indonesia yang merdeka tidak hanya merdeka, namun juga siap lahiriyah dan batiniyah untuk menjadi tempat bernaung beratus juta rakyat, dengan segala macam suku, bahasa, agama dan budayanya.

Tapi, tidak ingat kah rakyatnya tentang para pendiri bangsa? Yang sekarang sedang menangis, meratapi nasib. Mengapa Indonesia yang telah mereka bangun dengan susah payah, mereka suburkan dengan tiap tetes keringat mereka, kini tidak dirawat dengan penuh cinta. Tidak ingat kah?

Advertisement

Mahatma Gandhi, seorang aktivis dan tokoh politik dari India, memaparkan seven deadly sins atau tujuh dosa mematikan dalam konteks kebernegaraan. Sebuah bangsa dianggap ada dalam ambang pintu kehancuran, apabila terdapat indikator tujuh dosa mematikan tersebut. Tujuh dosa mematikan ialah Kekayaan Tanpa Bekerja (Wealth Without Work), Kesenangan Tanpa Hati Nurani (Pleasure Without Conscience), Pengetahuan Tanpa Karakter (Knowledge Without Character), Bisnis Tanpa Moralitas (Business Without Morality), Ilmu Tanpa Kemanusiaan (Science Without Humanity), Agama Tanpa Pengorbanan (Religion Without Sacrifice), dan Politik Tanpa Prinsip (Politic Without Principle).

Pada artikel opini ini, akan disorot sebuah pernyataan yang akan menjadi alasan di balik dosa-dosa lainnya. Pengetahuan Tanpa Karakter (Knowledge Without Character). Sebagai pelajar, menjumpai hal-hal yang berkaitan erat dengan pernyataan tersebut merupakan suatu hal yang sering terjadi. Bagaimana tidak? Sebut saja Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Agama. Empat mata pelajaran yang penting dan bertujuan besar untuk membentuk karakter dan menancapkan integrasi nasional erat-erat dalam dada generasi muda Indonesia, dengan mudahnya disepelekan.

Advertisement

Padahal, Indonesia butuh suasana baru, Indonesia berhak maju. Lantas apa yang Indonesia butuhkan untuk maju? Jawabannya adalah karakter generasi muda Indonesia yang berbudaya dan berbudi luhur. Karena seperti yang kita ketahui, terbentuknya karakter berakhlak mulia sejak dini merupakan suatu pondasi yang penting bagi generasi muda untuk tumbuh dan berkembang membangun bangsa ke depannya nanti.

Pada tahun 2018 ini, mari buka mata, buka hati, buka pikiran. Apa kenyataannya? Apa yang kita saksikan dewasa ini merupakan cerminan dari bagaimana cara kerja manusia Indonesia era modern sendiri dalam menerapkan pemupukan jiwa nasionalis dan cinta tanah air generasi mudanya. Generasi muda sekarang lebih pusing memikirkan bagaimana caranya untuk memaksimalkan nilai Fisika, Matematika, Kimia, Biologi, dan mata pelajaran-mata pelajaran lain yang mereka anggap jauh lebih menentukan masa depannya dibandingkan empat mata pelajaran bertujuan besar untuk membangun karakter bangsa yang sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Bukan mutlak kesalahan anak. Orang tua juga punya andil yang besar.

Dalam banyak kasus, justru orang tua seakan memojokkan anaknya apabila mendapat nilai merah pada mata pelajaran eksakta yang dianggap dapat memengaruhi masa depannya. Sedangkan nilai rendah pada mata pelajaran pembangun karakter bangsa seakan tidak dihiraukannya lagi. Nilai rendah saja diacuhkan, jangankan nilai tinggi yang mungkin akan dianggap sebagai angin lalu. Mematikan karakter anak sebagai generasi muda sama dengan mematikan karakter bangsa itu sendiri. Sering sekali menjumpai orang tua yang tega memarahi anaknya di muka umum karena menganggap kesalahan yang dilakukan anaknya adalah suatu hal yang sangat merepotkan atau memalukan.

Padahal, setiap bentakan atau kata-kata kasar yang dilontarkan oleh orang tua kepada anaknya akan terekam di memori sang anak dan bisa mengganggu psikologinya hingga dewasa nanti. Kreativitas seakan bukan lagi suatu hal yang penting dan berharga. Pada suatu sumber, disebutkan bahwa orang yang pada saat dewasa tumbuh menjadi pribadi yang sulit sekali menaruh kepercayaan pada orang lain penyebabnya adalah sederhana. Bisa di masa kecilnya, seseorang pernah dengan jahil menarik botol minum yang sudah diberikan kepadanya. Inilah mengapa orang tua memegang peran sebagai orang penting dalam perkembangan generasi muda.

Di era modern serba digital sekarang ini, sangat mudah kita temui cyber bullying, tawuran, married by accident (kehamilan di luar nikah yang biasanya berujung aborsi) pada pelajar, sampai terburuknya adalah pembunuhan. Merebaknya tren bersosial media nampaknya tidak hanya terjadi di kalangan dewasa, namun tak terkecuali pada anak-anak di bawah usia. Dapat dipastikan, sebagian besar dari mereka tidak menggunakan akses internet dan sosial media pada tempatnya. Berbagai aplikasi yang menawarkan kegiatan dan tontonan yang lebih menggiurkan ketimbang harus membuka buku dan belajar.

Mengapa? Lagi-lagi orang tua memiliki peran vital untuk membimbing putra-putrinya dalam menggunakan teknologi yang ada. Dari karakter yang dipupuk sejak dini inilah, kita dapat melihat seperti apa wajah Indonesia di masa depan. Begitu pula, kondisi Indonesia pada saat ini adalah hasil dari pemupukan karakter generasi muda dua atau tiga puluh tahun yang lalu.

Korupsi merajalela, fitnah bertebaran di mana-mana, politik berantakan, saling terror dengan mengatas namakan jihad agama, eksploitasi tanpa moral, mabuk-mabukan. Bila kembali menarik seven deadly sins, coba sebutkan, dosa mana? Dosa mana yang belum pernah Indonesia perbuat?

Pemuda memiliki peranan penting bagi kemajuan pembangunan bangsanya dari segala aspek. Tidak akan ada Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang begitu suci apabila pemuda tidak memiliki semangat juang yang berkobar, semangat untuk mempersatukan Nusantara. Tidak akan ada Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 jika pemuda tidak mengambil tindakan yang berani. Indonesia 2018 akan tetap pada masa Orde Baru apabila bukan pemuda sebagai penggeraknya.

Entah mau sampai kapan kita terus menerus mencederai akhlak dan hati nurani diri sendiri? Mau sampai kapan kita membohongi pendiri-pendiri bangsa yang menaruh kepercayaan penuh pada kita generasi mudanya? Mau sampai kapan kita bersikap tak bertanggung jawab pada segala sumpah yang telah terucap untuk berbangsa yang satu? Mau sampai kapan kita diam dan terpaku? Mau sampai kapan jiwa-jiwa kita terbelenggu, terbutakan oleh rasa dengki dan dendam, tertutup matanya dari karakter bangsa sendiri?

Pancasila, menjadi saksi bisu atas lahirnya pemuda, lahirnya semangat juang, lahirnya landasan dan karakter bangsa tanpa dirinya sendiri tahu, untuk apa ia diciptakan apabila pada akhirnya ia harus berjuang seorang diri, ditemani tangis dan ratapan para pendirinya. Tanpa asa dan usaha dari generasi muda pada masa sekarang. Lantas apa yang harus kita, sebagai pemuda, lakukan sekarang? Berdoa, belajar, berusaha untuk menjadi manusia yang berkarakter, manusia yang mampu melepas Indonesia dari bayang-bayang pancaroba, menjadi orang tua yang baik untuk mendidik generasi penerus bangsa setelah kita, dan tetap teguh pada Pancasila.

Indonesia butuh pemuda yang berkarakter. Indonesia butuh pemuda yang berpengetahuan luas. Karena pengetahuan yang luas tanpa karakter akan menjadi sebab timbulnya dosa-dosa mematikan yang lainnya. "Tuhan tidak merubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya." –Ir. Soekarno.

Dengan semangat pemuda, merasuknya tekad pendiri bangsa terdahulu pada jiwa kita, akan senantiasa menjadi pengingat segala gerak-gerik dan tindak tanduk kita untuk berperilaku dan berakhlak mulia. Karena sumpah mereka untuk selalu bersatu adalah tanggung jawab kita. Sependapat atau tidak sependapat kau denganku, terserah. Tapi kuharap kau akan pilih yang pertama.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Brawijaya 2017. Pipinya gempal, suka bicara, bergaul, dan makan. Merasa dirinya tidak keren kalau kurang tidur.

CLOSE