Renungan di 110 Tahun Kebangkitan Nasional, Kita Tak Butuh Toleransi Tapi Butuh Solidaritas

Tak disangka sudah 110 tahun berlalu sejak didirikannya organisasi pemuda pertama yaitu Boedi Oetomo (baca: Budi Utomo). Sejarah yang saya pelajari selama ini mencatat bahwa organisasi Boedi Oetomo digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan didirikan oleh Dr. Soetomo bersama para mahasiswa STOVIA (Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji) pada 20 Mei 1908. Di sini saya tak akan mengulas bagaimana sejarah organisasi tersebut dibentuk dan pengaruhnya terhadap perjuangan rakyat Indonesia.

Advertisement

Tetapi, saya yang bukan siapa-siapa ini hanya ingin mengajak teman-teman (khususnya pelajar dan mahasiswa) untuk merenung. Sebuah renungan terhadap kondisi Indonesia saat ini. Belakangan publik dihebohkan dengan peristiwa terorisme di berbagai wilayah, mulai dari Depok, lalu beberapa kota di Jawa Timur, dan juga Riau. Ada yang melihat peristiwa ini sebagai konflik antar kepercayaan di Indonesia, ada pula yang berpandangan sebagai masalah kemanusiaan, atau lebih fokus pada moral panic yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut, dan lainnya. Sangat beragam.

Dari sekian banyak pandangan, saya lebih tertarik dengan pendapat seorang dosen di kampus. Beliau tak banyak menunjukkan reaksi bahwa terorisme adalah hasil dari paham radikal yang perlu dibasmi atau sebagainya, pembawaannya tenang dalam mendalami kasus tersebut. Mungkin karena setiap mahasiswa pun sudah tahu dan itu bukan isu baru di Indonesia. Lebih dari sekedar itu, beliau mencoba melihat dampak positif dari adanya terorisme salah satunya adalah sedikit menguatnya solidaritas di antara masyarakat Indonesia. "Menurut saya, Indonesia tidak butuh toleransi karena jika kita pahami lebih jauh, toleransi adalah bentuk menghargai tetapi sangat membatasi.

Batasan itu yang akhirnya membuat kita tidak siap menerima sisi buruk orang lain. Contoh, saya memiliki seorang teman gay, jika saya toleransi, saya bergaul dengannya hanya sekedarnya (sekedar menyapa atau mungkin diam) dan di belakangnya saya menghakimi perilakunya sebagai perilaku menyimpang." kata dosen saya di pertemuan perkuliahan. "Lalu apa yang kita butuhkan saat ini? Daripada istilah toleransi, saya lebih suka menggunakan solidaritas. Solidaritas didasarkan pada rasa kesamaan latar belakang, merasa saling membutuhkan, dan kesamaan untuk memperjuangkan sesuatu," tambahnya. Awalnya saya agak kesulitan memahami maksud beliau.

Advertisement

Apa bedanya toleransi dan solidaritas? Menurut saya, kedua istilah tersebut sama-sama memiliki makna yang baik. Namun setelah dipahami lebih jauh, saya merasa pendapatnya ada benarnya. Mengapa? Jika kita bicara mengenai toleransi di negara multikultural ini, sebutlah toleransi antar umat beragama, maka kita hanya sebatas menghargai satu sama lain namun tetap berdiri sendiri karena merasa berbeda. Pada akhirnya, kita yang beragama Islam akan terkejut ketika melihat non-muslim makan daging anjing atau daging babi di depan kita, lalu orang Nasrani akan terkejut ketika melihat ajaran Islam yang membolehkan seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri.

Secara tidak sadar, muncul pemikiran "eh itu kan kalau di agama kita nggak boleh ya" atau "wah ajaran kayak gitu yang salah". Contoh lain dari dosen saya yang cukup sederhana, toleransi ibarat kita tinggal dengan orang lain dalam apartemen yang dibatasi oleh dinding kamar masing-masing, jika bertemu kita tersenyum dan menyapa namun lebih dari itu kita tidak mengenal satu sama lain (kita tidak tahu bahwa di dalam kamar tetangga kita, mereka menyimpan sisi buruk yang belum tentu bisa kita terima jika melihatnya secara langsung).

Advertisement

Bedanya apa dengan solidaritas? Solidaritas tak memandang kamu berasal dari agama apa, kamu berasal dari suku apa, atau kamu keturunan siapa selama kita berlatar belakang sama memiliki perjuangan yang sama, maka kita pun akan bekerja sama. Peristiwa terorisme kemarin contohnya, saat korban-korban ledakan butuh darah, maka mereka yang terketuk hatinya akan menyumbangkan darah tanpa melihat asal-usul agama, suku/etnis, dan golongan. Bisa jadi hal ini dilatarbelakangi dengan persamaan perjuangan melawan terorisme di Tanah Air.

Lalu apa kaitannya dengan Hari Kebangkitan Nasional? Jika menilik sejarah, Boedi Oetomo didirikan oleh pemuda yang merasa perlu memperjuangkan kemerdekaan agar negara mereka terbebas dari penjajah. Ada perjuangan memperoleh sesuatu di dalamnya yaitu perjuangan mencapai kemerdekaan. Meskipun pada akhirnya kemerdekaan baru bisa diraih 37 tahun kemudian. Solidaritas yang saya pahami kemudian memiliki makna lebih mendalam dari sekedar toleransi.

Namun tantangannya saat ini adalah bisakah solidaritas ditumbuhkan pada cakupan yang luas seperti bangsa atau negara? Karena selama ini, solidaritas berhasil tumbuh pada ranah yang lebih sempit. Bisakah solidaritas tumbuh tanpa diawali oleh kasus berdarah seperti penjajahan (di masa lalu) atau terorisme (di masa sekarang)? Pada akhirnya saya hanya bisa berwacana tanpa memberikan langkah nyata. Namun, saat ini saya rasa hanya itu yang bisa saya lakukan. Semoga ada manfaat yang bisa diambil dari tulisan ini. Terima kasih.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Antropologi

CLOSE