Representasi Perempuan dalam Iklan

Bagaimana milenial mempertahankan emansipasi?

Sebagai salah seorang dari jutaan perempuan di Indonesia, saya tertarik untuk mengkaji sedikit mengenai perempuan dan representasinya dalam iklan. Seperti kita tahu, iklan merupakan salah satu cara yang sangat efektif dalam menarik perhatian konsumen. Dalam hal ini, pemeran iklan haruslah memiliki standar kualitas tersendiri untuk mencapai tujuan pengiklanan dari produk tersebut.

Advertisement

Hal tersebut secara tidak langsung menetapkan standar pula bagi para konsumen, bahwa artis iklan haruslah memiliki rupa yang ‘cantik’ secara general. Sedangkan ‘cantik’ adalah sesuatu yang relatif, bukan? Lantas, bagaimana iklan-iklan selama ini merepresentasikan perempuan dalam peran?

Advertisement
  1. Cantik ‘Ideal’

Iklan telah membentuk sebuah ideologi tentang makna atau image gaya hidup dan penampilan terutama tentang konsep kecantikan bagi perempuan. Hal ini memperjelas bahwa iklan yang disampaikan melalui media massa memiliki peran yang sangat besar dalam memproduksi dan mengkonstruksi arti gaya hidup. Seperti yang kita lihat dalam iklan-iklan di media televisi maupun media cetak, sebagian besar wanita yang cantik direpresentasikan dengan model wanita yang bertubuh langsing padat, berkulit putih mulus, berhidung mancung, tinggi, dan sebagainya.

Advertisement

Soal kulit putih, Deddy Mulyana mengatakan bahwa kulit putih dianggap berstatus lebih tinggi daripada kulit hitam, konon didambakan 87% wanita Indonesia menurut sebuah iklan kosmetik di TV swasta. Kecantikan selalu dikonstruksikan oleh masyarakatnya. Bagaimana perempuan menilai tubuhnya berkaitan dengan bagaimana lingkungan sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh perempuan.

Mitos kecantikan yang menghinggapi perempuan pada akhirnya memiliki kecenderungan berdasar fisik semata. Salah satu agen media massa yang telah merubah nilai-nilai sosial dan budaya adalah iklan. Melalui pengaruhnya, iklan mengkonstruksi bagaimana konsep kecantikan yang ideal itu. Hasilnya adalah bahwa makna kecantikan yang timbul sekarang adalah atribut-atribut yang berkaitan dengan kecantikan fisik semata.

Sebagai contoh, media secara langsung telah memberi label negatif pada perempuan hitam, pendek dan berambut keriting. Perempuan seperti itu "layak" disebut sebagai perempuan jelek. Perempuan cantik adalah perempuan berkulit putih, tinggi, langsing, berambut lurus. Demi mendapatkan label cantik, iklan menawarkan berbagai macam produk kecantikan agar kulitnya putih dan senantiasa langsing. Jika setelah melahirkan dan bertubuh gembrot, buru-burulah mengikuti terapi di rumah kecantikan agar tubuh yang melar kembali seperti semula. Atau, perempuan agar terlihat selalu rapi, harus menggunakan shampo dan konditioner, merawat rambut dengan masker rambut, toning dsb.

Kondisi seperti ini tentu saja membuat perempuan tidak rasional. Perempuan berkulit sawo matang (bahkan berwarna sangat gelap), berusaha mendapatkan citra perempuan cantik (baca: putih) dengan menggunakan berbagai produk pemutih. Mereka tak segan mengeluarkan uang ratusan hingga jutaan rupiah hanya demi mendapatkan label cantik. Bahkan mereka tak peduli dengan risiko yang bisa mereka terima jika menggunakan produk yang tidak diketahui komposisinya. Bahkan, mereka rela "berkulit belang", lebih terang di bagian wajah dan gelap di kulit tubuh.

Sebuah iklan shampo Sunsilk bahkan menggambarkan seorang perempuan yang rela "melalui jalan lebih sulit" dengan menghindari beberapa kipas angin berukuran jumbo hanya demi rambut lurusnya senantiasa rapi. Kata-kata, "Hanya perempuan yang bisa rapi" pun secara langsung telah melabelisir laki-laki bahwa mereka adalah orang yang tidak bisa rapi.

Sebagian besar model yang dipakai dalam mengiklankan produk kosmetik memiliki pola penampilan ‘cantik’ yang sama atau setipe seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

  1. Subordinasi Perempuan dalam Iklan

Domestikasi sendiri meskipun belum bisa dikatakan sebagai upaya marginalisasi kaum perempuan, telah dianggap sebagai bagian dari tuntutan untuk ‘merumahkan’ atau dengan kata lain berkutat dengan tanggung jawab kegiatan-kegiatan domestik. Sebagai contoh adalah fenomena iklan-iklan televisi untuk keperluan rumah tangga. Dalam iklan tersebut secara konotatif mencerminkan adanya pernyataan ideologis yang menyiratkan perempuan menjadi ukuran terhadap kualitas kenikmatan, kenyamanan, kesabaran, maupun kasih sayang, yang mungkin kurang bisa tergantikan oleh jenis kelamin lain.

Selain itu misalnya, iklan BCA yang menyebutkan, "Kendalikan Bisnis Anda dengan Tahapan Gold BCA" (dengan model seorang laki-laki, tentu). Berbeda dengan gambaran kartu Mandiri dari Bank Mandiri yang melukiskan perempuan sebagai ibu, manajer, teman, sahabat dan di bawahnya tertulis, "Tarik tunai, bayar tagihan, belanja, transfer uang". Kedua iklan itu telah melabelisir bahwa pebisnis hanyalah pekerjaan laki-laki, sedangkan tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga seperti belanja, dan lain sebagainya.

Contoh iklan lainnya adalah bumbu masak seperti Royco, Sasa, Masako, atau pembersih lantai dan sabun cuci yang menggambarkan hanya perempuanlah yang bertanggung jawab atas tugas domestik tersebut. Seperti kata Caren J. Deming dalam bukunya, "Television and the Women’s Culture", televisi bersifat mengecoh agar perempuan tetap tinggal di tempatnya, yaitu dapur, kamar tidur, atau mal. Iklan-iklan tersebut telah memaksa perempuan agar terus melakukan "tugasnya" tanpa melibatkan laki-laki.

Iklan MetLife, sebuah perusahaan asuransi menyebutkan, "Tak usah bingung dengan masa depannya. Kami ada untuk menanggungnya." Model yang digunakan adalah seorang ayah dan anak laki-lakinya. Hal ini menyiratkan, hanya laki-laki-lah sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Iklan-iklan tersebut secara tersirat memperlihatkan subordinasi perempuan, di mana perempuan hanya berkutat dalam pekerjaan rumah dan suamilah yang dapat berkarir dan menjadi sumber penghasilan.

Emansipasi wanita yang sudah ada sejak perjuangan Kartini sepertinya belum terimplementasi mulus dalam kenyataannya. Kita sebagai perempuan berhak untuk kembali menegakkan dan meneruskan perjuangan pendekar wanita Indonesia. Iklan merupakan salah satu media yang hampir setiap saat tervisualisasi oleh masyarakat. Maka dari itu, penting untuk memperbaiki visualisasi tersebut melalui representasi perempuan dalam iklan.

Selain itu, Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya, yang dalam hal ini, ras maupun rupa tiap daerah pasti memiliki cantiknya tersendiri. Berhenti memiliki anggapan bahwa perempuan cantik adalah perempuan-perempuan yang putih, tinggi, langsing, dan sebagainya. Cantik adalah ketika kita mampu percaya diri mengunggulkan apa yang menjadi kelebihan diri kita masing-masing.

Perjuangan wanita-wanita Indonesia sangatlah sulit dalam membangun emansipasi di Indonesia. Sebagai perempuan milenial, sudah sebaiknya kita menjaga dengan kelebihan jaman akan media yang semakin canggih.

Salam perempuan Indonesia!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE