Tentang Masa Depan yang Masih Disembunyikan Tuhan

Untuk Tuhanku yang saat ini sedang mengawasiku dari kejauhan.

Advertisement

Terimakasih untuk setiap nikmat sehat dan nikmat Iman yang saat ini tak pernah kurang engkau berikan, pada hambamu ini. Seribu bait puisi, beribu tangkai mawar bahkan mungkin berjuta kali sujud yang pernah kulakukan tak mampu menembus pertanyaan atas sebuah misteri paling menarik yang aku cari.

TAKDIR.

Enam huruf yang terangkai menjadi satu kata penuh makna ini pernah aku abaikan karena aku merasa mampu berdiri dengan usahaku sendiri. Masih terekam jelas dalam memori, kata ini pernah menjerumuskan aku pada masa dimana aku sangat angkuh dengan setiap keputusan yang kubuat. Enam huruf yang juga akhirnya membuatku tersadar ada jalan yang benar menuntun langkah kaki hambaMu yang kecil ini untuk kembali. Enam huruf yang membuatku juga berfikir, bisakah? Bisakah aku memutarbalikkan kembali apa yang telah hilang? Ataukah aku harus menghilang dari jalurMu agar kutemukan kembali bahagiaku yang pernah kucari?

Advertisement

Dan ketika pertanyaan itu muncul, sekali lagi Engkau menunjukkan jalan. Aku tersadar diatas setiap beban, permasalahan, dan tanggung jawab yang sedang kubawa, ada cahaya yang tidak boleh aku lupakan. Agamaku, Islam.

Karena sekuat apapun arus dunia yang mencoba menenggelamkanku, aku tak boleh berpaling kembali pada keburukan. Aku mungkin belum menutup setiap hal yang seharusnya tertutup, tapi aku sedang mencoba merayuMu lewat perubahan diri dan akhlak yang tak semua orang harus menilainya sahih sempurna.

Advertisement

Tapi, Tuhan, aku selalu percaya, Engkau Maha Melihat, Engkau Maha Pendengar atas doa bahkan yang lirih sekalipun. Meski seringkali aku berpikir sudah pantaskah aku meminta sederetan takdir-takdir terbaik, padahal aku masih hina, rendah, kotor, miskin bahkan kadang aku malas mengurusi urusan masa depanku. Bahkan saking malunya, aku mulai menjalin sebuah ikatan dengan lembaran-lembaran kertas yang berisi mimpi, harapan dan misiku. Ya, jika suatu hari mimpi-mimpi itu tidak pernah terwujud, setidaknya aku pernah menjalin persahabatan dengan emosi yang mampu aku tuangkan hanya dalam bentuk tulisan, bukan amarah karena ambisiku tidak terwujud.

Terimakasih Tuhan,

Untuk Selalu ada dan mendengarkanku, menemaniku lewat nafas yang Kau anugerahkan sejak subuh bangunku menjelang pagi, menenangkan kembali jiwaku yang seringkali memuncak kala matahari meninggi, dan memberiku peraduan terbaik yang semoga segera aku temukan setelah matahari terbenam

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE