Pernah nggak sih kalian mendengar istilah: inner child ibu yang terluka bisa membuat anak menderita secara emosional tanpa disadari?
Kalimat ini terdengar mengusik ya, namun semakin sering kita membuka ruang diskusi soal kesehatan mental dan luka antar generasi, rasanya semakin nyata.
Sebagai seorang anak, mungkin kamu pernah merasa dibandingkan, direndahkan, bahkan disabotase oleh ibu sendiri. Namun karena masyarakat membungkus peran ibu sebagai “selalu benar” dan “selalu tahu yang terbaik”, banyak dari kita justru mempertanyakan diri sendiri. Apakah aku memang salah? Apakah seorang anak tidak layak membela diri? Padahal, bisa jadi yang sedang kamu hadapi adalah efek dari luka batin ibu yang belum pernah benar-benar sembuh—dan kini mengalir tanpa sadar ke dalam pola pengasuhannya.
Fenomena ini disebut dengan inner child ibu yang terluka. Istilah “inner child” sendiri mengacu pada bagian diri yang menyimpan pengalaman masa kecil—baik yang menyenangkan maupun menyakitkan. Saat ibu dibesarkan tanpa cukup cinta, pengakuan, atau keamanan, dari pengasuhan sebelumnya, maka luka itu bisa terbawa hingga dewasa dan mencemari caranya mencintai anaknya sendiri.
Berikut ini adalah lima tanda bahwa kamu mungkin hidup dalam bayang-bayang luka inner child ibu yang terluka. Di bagian akhir, kita juga akan membahas solusi awal untuk mulai memulihkan diri. Jadi baca sampai tuntas ya!
ADVERTISEMENTS
5 Tanda Inner Child Ibu yang Terluka
ADVERTISEMENTS
1. Keberhasilan Anak Dipandang Sebagai Ancaman, Bukan Sebuah Kebanggaan
Inner Child Ibu yang terluka berbeda dengan ibu normal pada umumnya yang pasti bangga dengan keberhasilan anaknya. Ibu yang punya luka inner child akan merasa terancam saat anaknya mendapatkan hal-hal yang dulu ia impikan tapi tak pernah bisa diraih.
Kalimat familiar yang biasanya terucap adalah seperti ini:
“Zaman Mama dulu mana ada enaknya kayak gitu. Kamu tuh beruntung, tapi nggak tahu diri.”
Alih-alih mendapat pelukan dan ucapan kebanggaan, mungkin kamu justru merasa bersalah karena sukses yang diraih. Ini bukan karena ibumu jahat, melainkan karena keberhasilanmu membangkitkan rasa gagal yang belum tuntas dalam dirinya.
ADVERTISEMENTS
2. Impian dan Pilihanmu Selalu Dianggap Salah
Apapun keputusan yang kamu ambil—entah karier, pasangan, bahkan gaya hidup dimata Ibu dengan inner child yang terluka akan melakukan penolakan terus-menerus, bahkan untuk hal yang tidak menyakiti siapa pun.
Ini biasanya karena impianmu mengingatkannya pada sesuatu yang dulu ibu kamu inginkan tapi tak bisa miliki. Jadi, alih-alih mendukung, ia berusaha “melindungimu” dari hal yang ia kira menyakitkan. Sayangnya, itu justru membatasi potensi dirimu.
“Ngapain kuliah tinggi-tinggi? Nanti juga akhirnya di dapur.”
Kalimat seperti itu tidak hanya mengecilkan cita-citamu, tapi juga menunjukkan bahwa luka masa lalunya masih hidup—dan sedang berbicara melalui mulutnya.
ADVERTISEMENTS
3. Kamu Sering Dibandingkan, Bahkan dengan Dirinya Sendiri
Perbandingan bisa datang dari mana saja, tapi ketika datang dari ibu, rasanya lebih tajam. Ibu dengan inner child yang terluka sering membandingkan anaknya dengan diri sendiri saat muda.
“Mama dulu kerja dari umur 18 tahun. Kamu umur segini masih minta jajan!”
“Ibu dulu sekecil kamu sudah bisa urus rumah sendiri, kamu nyapu saja tidak bisa bersih.”
Kalimat ini secara tidak sadar menempatkan anak sebagai “versi gagal” dari harapan ibu sendiri. Padahal setiap generasi punya tantangan dan caranya masing-masing.
ADVERTISEMENTS
4. Perhatianmu Dianggap Kewajiban, Bukan Cinta
Ibu yang belum menyembuhkan luka batinnya sering merasa haus perhatian, tapi juga tidak tahu cara memintanya dengan sehat. Akibatnya, ia menciptakan drama, membuatmu merasa bersalah jika kamu tak hadir sesuai ekspektasinya.
Misalnya, kamu sedang sibuk dengan urusan pekerjaan atau pasangan. Lalu tiba-tiba ibu menelepon dan berkata,
“Kamu udah lupa sama orang yang ngelahirin kamu, ya?”
Padahal kamu tidak berniat melupakan. Namun ucapan itu menyimpan luka lama—ketakutan ditinggal dan tidak dicintai—yang belum pernah ia proses dengan tuntas.
ADVERTISEMENTS
5. Kamu Merasa Tak Pernah Cukup, Walau Sudah Berusaha Sebaik Mungkin.
Inilah tanda paling menyakitkan. Kamu belajar keras, bekerja tanpa lelah, menjaga sopan santun, tapi tetap merasa ada yang kurang. Ibu selalu berkata kamu tidak berbakti, tidak membanggakan
Hal ini bisa menimbulkan inner voice dalam dirimu yang berkata,
“Aku harus ngapain lagi sih biar ibu bangga?”
Padahal, inti masalahnya bukan ada pada kamu. Tapi pada luka batin yang belum pernah sembuh dalam diri ibumu.
Kenapa Ini Terjadi?
Berdasarkan studi “Maternal adverse childhood experiences and behavioral problems in preschool offspring”, pengalaman trauma masa kecil seorang ibu berdampak langsung pada pola pengasuhan—sering muncul dalam bentuk kontrol, penolakan, atau kurangnya kehadiaran emosional—yang kemudian memengaruhi kesejahteraan emosional anak.
Sayangnya, banyak generasi sebelumnya yang tidak mendapat ruang untuk menyembuhkan diri. Mereka hanya diajarkan untuk “kuat”, “ikhlas”, serta “bersyukur”, tanpa pernah tahu cara mengelolah trauma masa kecilnya.
Dan ketika menjadi orang tua, luka yang dulu dipendam itu muncul kembali—kali ini dalam bentuk kontrol, kemarahan, perbandingan, atau rasa tidak rela melepaskan.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Anak?
Menyadari bahwa kamu adalah korban dari rantai luka antar generasi bukanlah akhir dunia—justru bisa jadi awal dari proses pemulihan. Berikut beberapa langkah yang bisa kamu mulai:
1. Validasi Perasaanmu Sendiri
Kamu berhak merasa sakit. Kamu berhak mengakui bahwa apa yang kamu alami tidak sehat. Jangan meremehkan perasaan hanya karena itu datang dari ibu sendiri. Semua yang kamu rasakan adalah valid, dan sadari hal itu.
2. Bangun Batasan Sehat
Batasan bukan berarti durhaka. Ini adalah cara agar kamu tetap waras. Boleh kok bilang, “Aku butuh waktu sebelum ngobrol soal ini, Bu.” Dengan cara tenang tapi tegas.
3. Tidak Perlu Membalas dengan Luka yang Sama
Ingat ya, di antara Ibu dan anak, seorang Ibu selalu punya egonya sendiri. Kamu tidak perlu menyakiti balik. Tidak perlu juga selalu menjelaskan. Kadang, diam dan menjaga jarak justru lebih menyembuhkan daripada debat tanpa ujung.
4. Cari Dukungan dari Luar dan Sembuhkan Lukamu, Agar Berhenti Di Kamu
Ingat, kamu tidak sendiri, ada banyak di luar sana yang mengalami hal serupa. Cobalah untuk mencari support group atau komunitas online. Menyadari bahwa kamu punya warisan luka emosional lalu tergerak untuk sembuh dan memulihkan diri adalah langkah awal bahwa kamu sudah menghentikan intergenerasi trauma untuk generasi selanjutnya.

Anak Bukan Terapi bagi Luka Orang Tua
Kita tidak dilahirkan untuk menanggung beban emosional yang bukan milik kita. Kamu tidak bertugas menyembuhkan luka masa lalu orang tuamu. Tapi kamu bisa memilih untuk memutusnya.
Memutuskan memulihkan diri, membangun batas sehat, serta mencintai diri sendiri bukanlah bentuk perlawanan. Itu bentuk cinta yang lebih besar—cinta yang tidak menghancurkan siapa pun, tapi memulihkan banyak luka.
Jika tulisan ini menyentuhmu, jangan ragu ya untuk menyimpannya sebagai pengingat. Bagikan ke mereka yang juga sedang berjuang memulihkan diri dari luka pengasuhan.
Ini bukan tentang menyalahkan ibu—ini tentang menyembuhkan diri, agar luka yang dulu diwariskan, tak lagi kita kemas ulang untuk generasi selanjutnya.