Pemerintah menetapkan 10 destinasi Bali Baru untuk percepatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Salah satu destinasi Bali Baru adalah Gunung Bromo. Sebagai destinasi andalan, pemerintah semestinya memprioritaskan pembangunan di 10 destinasi tersebut. Namun, sarana transportasi di Probolinggo menuju Bromo tampaknya belum siap menyambut turis mancanegara.
Seorang turis Thailand menceritakan pengalaman buruknya saat akan mengunjungi Gunung Bromo. Ia mengeluhkan sistem transportasi yang merugikan dirinya saat berwisata di sana. Dia pun kapok datang ke Bromo gara-gara hal tersebut. Kisahnya pun viral di media sosial Facebook.
ADVERTISEMENTS
Turis bernama Jirote Wangcharoen mengeluhkan angkutan umum di Probolinggo yang melarangnya naik taksi online dan memaksanya sewa angkutan milik mereka
Pada awalnya, Jirote melakukan perjalanan bersama tiga orang temannya pada tanggal 17 Juni 2019 sekitar pukul 17.00-19.30 WIB. Sesampai di terminal Probolinggo, ia mencari taksi online untuk mengantarnya ke Cemoro Lawang, Bromo. Ia mendapat harga 300 ribu rupiah. Namun tidak satupun mobil yang datang sementara titik penjemputannya berada 4 km jauhnya dari terminal. Frustasi, Jirote pun bertanya kepada agen bus di terminal dan mendapatkan jawaban bahwa ada kendaraan menuju ke Bromo tapi harganya mahal.
ADVERTISEMENTS
Saat kebingungan itulah, ada pengemudi motor yang menawarkan bus ke Bromo. Meskipun bus itu tak kunjung datang
Jirote dan tiga rekannya kembali berjalan. Tak lama, ada pengendara motor yang menanyakan tujuannya. Pengendara motor yang mengaku sebagai sopir bus tersebut selanjutnya memberitahu Jirote bahwa ada bus ke Cemoro Lawang. Namun sejam kemudian pun bus nggak datang. Alasannya sih penumpangnya nggak penuh. Si pengendara motor menyarankan agar mereka menyewa angkutan umum atau bison tadi seharga 600 ribu. Sebuah harga yang mahal bagi mereka setelah membandingkan taksi online cuma 300 ribu rupiah.
Ketika mereka menolak dan berjalan kaki menuju lokasi penjemputan taksi online, turis Thailand ini masih saja dihadang oleh sekelompok orang. Mereka memaksa untuk naik angkutan umum itu. Demi keselamatan, mereka pun berbohong dengan berkata mau nginap di Probolinggo. Setelah berjalan agak jauh, mereka akhirnya mendapat angkutan menuju ke titik penjemputan taksi online. Mereka pun selamat sampai Bromo.
Cerita tak sampai di sini, saat pulang pun mereka pun kena apes lagi.
Saat akan kembali ke Probolinggo, turis Thailand ini ketemu lagi dengan oknum yang memalak mereka di terminal. Mereka pun naik angkutan itu dan harus bayar 40 ribu padahal normalnya 30 ribu. Mereka lalu dimintai 60 ribu per orang untuk diantar ke Surabaya. Mereka takut kalau tidak dibayar akan dipaksa lagi oleh mereka. Lalu mereka pun kabur lagi dan mendapat bus dengan harga 25 ribu rupiah ke Surabaya. Berdasarkan pengalaman buruk saat ke Bromo, mereka pun kapok datang ke Bromo lagi.
Hal seperti ini sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu. Pengalaman penulis pun hampir sama dengan turis Thailand tersebut saat mencari kendaraan di Terminal Probolinggo
Sepertinya buruknya pengelolaan transportasi umum di Probolinggo sudah berlangsung sejak lama. Pada tahun 2009 silam, penulis juga merasa ditipu oleh oknum supir bison (sejenis angkutan umum). Saat itu kami berempat ingin berlibur ke Bromo dengan budget murah. Sesampai di Terminal Bayu Angga, Probolinggo, kami pun mencari angkutan ke Cemoro Lawang. Ada supir bison yang menawarkan kepada kami untuk ikut mobilnya. Pada saat itu jam menunjukkan pukul 4 sore.
Tapi sejam berlalu, bison tersebut belum berangkat juga. Penumpang yang sudah masuk pun pada keluar lagi. Sepertinya mereka tau kalau si supir memang berniat jahat. Kami yang panik pun berulang kali menanyakan kapan bison tersebut berangkat. Supir cuma bilang kalau sudah penuh. Ya kapan penuhnya kalau penumpang sudah masuk menunggu lama tapi tidak jalan. Mereka pasti akan keluar dan mencari angkutan lain. Kalau nggak penuh, kami berempat harus sewa bison tersebut dengan harga 600 ribu. Persis dengan harga yang ditawarkan kepada turis Thailand di atas. Kami pun keberatan.
Pukul 05.30, sebentar lagi Maghrib. Tidak ada tanda-tanda bison akan berangkat. Supir pun tidak di dalam mobil. Firasat udah mulai nggak enak. Kami pun memutuskan turun dengan alasan mau salat. Ketika kami turun, di depan bison ada banyak sekali supir sedang jongkok seperti merencanakan sesuatu. Sebelum mereka nekat, kami segera kabur menuju ke terminal lagi. Supir memanggil namun kami langsung lari dari situ.
Strategi para ‘mafia’ transportasi umum di Probolinggo kurang lebih sama, alasan kendaraan belum penuh adalah kesempatan menunggu waktu agar segera beranjak malam. Saat malam tidak ada pilihan lain sehingga naik bison atau angkutan umum dengan harga 600 ribu rupiah.