Bagi kebanyakan orang, menikah merupakan satu momen besar dalam hidup, termasuk bagi saya. Awalnya hanya soal diri sendiri, sekarang harus berbagi peran dan ‘membelah diri.’ Salah kaprah pernikahan yang kerap ditemui adalah tentang pernikahan yang sering dikira merupakan sebuah solusi. Padahal, belum tentu dengan menikah semua masalah dapat teratasi. Ada pula yang percaya bahwa menikah memberikan rasa stabil, tetapi terkadang mungkin banyak yang lupa bahwa tetap ada risiko yang harus kita ambil.
Kenyataannya, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menikah, terlebih menikah di usia yang relatif muda. Komitmen dan tanggung jawab dari sebuah peran baru membuat seseorang terkadang harus memilih dan mengorbankan banyak hal di depan mata.
ADVERTISEMENTS
Yang perlu diketahui, menikah bukanlah akhir dari sebuah cerita. Akan tetapi, menjadi awal untuk babak hidup yang baru ke depannya
Ada peran-peran baru yang harus dijalani. Bukan lagi sekedar menjadi seorang anak, tetapi akan ada peran baru yaitu menjadi suami-istri maupun ayah-ibu. Tidak hanya terbatas pada hal itu, ketika bekerja pun, saya memiliki peran yang berbeda lagi. Tentunya tidak mudah untuk menghadapi ekspektasi orang-orang di saat umur masih relatif muda sehingga bagi saya tidak ada yang lebih penting selain menemukan alasan yang kuat untuk menikah.Â
Alasan yang kuat bisa menjadi fondasi dalam hidup rumah tangga yang kuat pula. Ketika kita memutuskan untuk menikah, justru alasan tersebut yang membantu kita untuk tetap mempertahankan pernikahan. Meskipun begitu, alasan yang kuat saja belum tentu cukup. Menemukan seseorang yang tepat dan satu visi dengan kita merupakan hal lain yang perlu digarisbawahi. Pada hakikatnya, menikah merupakan keputusan berdua dan harus dijalani berdua pula. Bahkan, lebih besar lagi, menikah itu menyatukan dua keluarga besar yang berbeda.
ADVERTISEMENTS
Saat saya menikah di usia 23 tahun, ada dilema besar antara mimpi dan berkeluarga
Memutuskan untuk menikah di usia 23 tahun merupakan salah satu keputusan terbesar yang pernah saya lakukan. Sebagai seseorang di usia tersebut, belum banyak hal yang bisa saya capai. Ada berbagai mimpi yang ingin saya raih mulai dari segi edukasi hingga karier.Â
Datang dari keluarga yang bukan memiliki latar belakang edukasi yang cukup tinggi membuat saya belajar bahwa pendidikan yang tinggi adalah salah satu sumber dari kemudahan hidup. Sejak dulu saya memiliki prinsip bahwa sebagai seorang wanita, saya harus dapat mencapai pendidikan setidaknya hingga jenjang doktor. Bahkan, saya sempat berencana untuk menikah di usia 27 atau 28 tahun setelah menyelesaikan seluruh pendidikan saya.Â
Akan tetapi, ternyata semua tidak semulus yang direncanakan. Dengan ijazah lulusan sarjana, saya mencoba peruntungan untuk bekerja. Tidak mudah memang, terlebih usia tersebut merupakan tahapan di mana seseorang sedang membangun karier dan kehidupan selanjutnya setelah menyelesaikan pendidikan primer. Di awal, jangankan bermimpi untuk menikah, memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai diri sendiri selama satu bulan ke depan saja masih menjadi satu problem yang membuat saya mau tidak mau harus kerja part time dan membuka butik kecil sebagai pemasukan lain untuk hidup saya.Â
Nikah atau mimpi?/ Illustration by Hipwee
Pada satu titik, pasangan saya malah mengajak saya untuk menikah. Dengan kondisi keuangan, baik saya dan pasangan, yang bisa dibilang masih masih belum stabil, saya ragu untuk mengiyakan ajakan tersebut. Saya berpikir bagaimana nantinya saya dapat melanjutkan karier atau pendidikan seperti yang saya impikan sebelumnya. Terlebih, saat itu saya masih memiliki pendirian bahwa saya akan menikah di akhir umur 20 tahun setelah berhasil menyelesaikan pendidikan yang selalu saya idam-idamkan. Â
Jika kata orang awal umur 20 tahun akan terjadi krisis hidup, maka saya pun juga mengalami hal yang sama. Saya mengalami dilema antara melanjutkan pendidikan dan berkarier lebih jauh, ditambah lagi saya dihadapkan dengan pilihan menikah tersebut. Setiap pilihan pasti memiliki konsekuensinya masing-masing. Ibaratnya, ada dua sisi mata uang yang berseberangan setiap memilih satu pilihan. Memikirkan pilihan tersebut dengan matang harus dilakukan untuk menghindari penyesalan di akhir nanti.Â
Di tengah berbagai pilihan hidup tersebut, saya kemudian diterima menjadi mahasiswa magister profesi dengan beasiswa. Sungguh, bersyukur sekali rasanya. Ada satu beban tersendiri yang rasanya terangkat setelah beberapa kali memikirkan apa yang seharusnya saya lakukan di usia 23 tahun ini. Tawaran pasangan saya untuk menikah pun saya tunda karena saya ingin berfokus terlebih dahulu dengan pendidikan saya. Saat itu saya yakin, ketika memang kami sama-sama berkomitmen, maka menunggu saya untuk lulus pun bukanlah suatu hal yang sulit. Saya percaya bahwa pasangan saya memiliki visi dan keyakinan yang sama dengan saya.Â
Hingga pasangan saya akhirnya mengutarakan bahwa ia tak selamanya dapat menunggu saya. Saya menyadari adanya perbedaan umur antara saya dan pasangan menjadi salah satu alasan utama mengapa pasangan saya ingin menikah segera. Usia kami terpaut 4 tahun, jika saya tetap memilih untuk menikah di akhir umur 20-an, maka belum tentu pasangan saya akan bersedia untuk menunggu.Â
Awalnya memang ada rasa ragu untuk memutuskan sesuatu. Saya memikirkan seberapa besar dampak dari keputusan yang diambil hari ini dalam 5 tahun, 10 tahun, atau bahkan seumur hidup saya. Ditambah lagi, bagaimana caranya saya dapat meyakinkan keluarga saya sendiri bahwa pilihan menikah ini adalah hal yang tepat dijalankan saat ini.Â
Saya sadar bahwa keputusan menikah ini bukan pilihan diri sendiri atau pasangan saya semata. Harus ada kesepakatan dari kami berdua di mana komitmen untuk menikah harus dijalani juga bersama pasangan. Pernikahan yang berat sebelah bukanlah suatu hal yang ideal dan saya pikir semua orang pun tidak ingin mengalaminya.Â
ADVERTISEMENTS
Salah satu faktor yang akhirnya membuat saya mantap adalah karena pasangan saya (Mas Aji), ibaratnya seperti menemukan jarum dalam jerami
Dalam mengambil keputusan untuk menikah, pasangan menjadi salah satu faktor utama mengapa saya bersedia menikah di usia yang relatif muda. Menemukan seseorang yang memahami kita baik luar dan dalam menjadi salah satu alasan utama mengapa saya memilih pasangan saya. Ibarat mencari jarum dalam jerami, tidak mudah memang menemukan pasangan yang membuat kita nyaman dan aman.Â
Jodoh di tumpukan jerami/ Illustration by Hipwee
Seperti pasangan yang lain, saya dan pasangan pernah melalui masa PDKT, pacaran, bertengkar, baikan, dan fase-fase lain dalam hubungan romantis. Pada fase-fase itu pula saya mulai mengenal lebih baik lagi seperti apa pasangan saya. Seperti apa sifatnya, bagaimana pola pikirnya, apa saja value hidupnya, hingga visi seperti apa yang ia bawa dalam hidupnya.Â
Tidak seperti kebanyakan bayangan orang-orang mengenai manisnya hubungan kami, ada juga fase dimana kami harus menghadapi perbedaan pendapat, termasuk mengenai alasan utama untuk menikah dan perbedaan pendapat tersebut ternyata tetap masih terjadi di saat kami sudah menikah.Â
Di saat seperti itu, menjaga komunikasi dengan pasangan menjadi kunci utama dalam kelancaran hubungan bagi kami berdua. Kami sama-sama membiasakan diri untuk tetap terbuka apapun masalah yang kami hadapi. Hal ini pun kami coba terapkan sejak sebelum menikah, apalagi ketika memutuskan menikah muda.
Contoh kecilnya, sebelum kami menikah, pasangan saya dengan jujur memberitahu bagaimana keadaan finansialnya. Ia tidak menutupi bagaimanapun keadaannya saat itu dan menurut saya hal itu adalah salah satu alasan yang kuat untuk saya akhirnya memutuskan untuk menikah dengannya. Tidak semua orang memiliki keberanian untuk terbuka dalam berkomunikasi, terlebih dengan pasangannya. Sehingga, keterbukaan pasangan saya mengenai keadaannya merupakan salah satu hal yang ingin saya apresiasi.
Beberapa kali saya temui entah kenalan, client, atau orang terdekat saya yang merasa bahwa bentuk komunikasi yang berbeda antara dirinya dan pasangan menjadi salah satu batu kerikil dalam membina hubungan romantis.Â
Tidak hanya perihal berkomunikasi, menjadi support system yang baik sebagai seorang pasangan juga menjadi alasan kuat saya tetap menggapai berbagai mimpi setelah menikah. Pada awalnya, saya cukup skeptis untuk tetap meneruskan mimpi saya yang tertunda. Setelah saya menikah, tahun berikutnya saya harus segera menyelesaikan studi magister profesi dibarengi dengan momen kehamilan pertama saya. Entah bagaimana, saat itu saya merasa bahwa menggapai cita-cita sebagai seorang istri saat itu tentu sulit.
Sebagai seorang individu, saya memiliki idealisme dan cita-cita yang ingin dituju. Namun, sering kali cita-cita dan realita belum bisa sejalan. Saat itu, saya tidak yakin bahwa saya dapat menyelesaikan studi tepat waktu dengan nilai cumlaude. Namun, pasangan saya tidak henti-hentinya memberikan support kepada saya. Support dari keluarga kecil saya tersebut menjadi salah satu motivasi saya untuk terus bertumbuh dan mencapai target-target yang telah saya rencanakan.Â
Support/ Illustration by Hipwee
Ternyata, pasangan yang suportif mungkin bisa dikatakan menjadi salah satu alasan untuk saya tetap terus menggapai cita-cita. Dukungan dari pasangan saya jadikan motivasi untuk terus memberikan yang terbaik agar mereka pun bangga ketika melihat saya. Ketika kedua anak saya lahir, justru hal tersebut menjadi pendorong yang kuat bagi saya untuk mencapai jauh lebih dari apa yang saya capai saat ini. Melihat kebahagiaan mereka dalam melihat saya mencapai berbagai prestasi merupakan suatu momen haru yang bagi saya tidak akan pernah tergantikan oleh hal lain. Jadi, menikah dan berkeluarga bukanlah suatu halangan untuk tetap terus berprestasi. Bagi saya, menikah dan berkeluarga justru menjadi salah satu pembakar semangat saya untuk terus melaju ke depan.Â
ADVERTISEMENTS
Jika kamu masih ragu-ragu untuk menikah di usia awal 20-an, mungkin ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
Pada akhirnya, memutuskan untuk berkomitmen dengan seseorang bisa menjadi salah satu batu loncatan terbesar dalam satu fase hidup. Keinginan untuk menikah terlebih pada usia muda merupakan hal yang normal terjadi. Banyak pasangan muda lain yang mendamba kehidupan pernikahan dan percintaan yang indah bak negeri dongeng. Namun, memang tidak semuanya dapat berakhir pada akhir yang sama. Setiap pasangan memiliki dinamikanya masing-masing dan itu adalah hal yang wajar terjadi.Â
Ketika saya memutuskan untuk menikah pun, perjalanannya tidak semulus seperti apa yang terlihat. Keluarga mungkin akan mempertanyakan alasan mengapa buru-buru menikah, padahal masih ada banyak waktu untuk menikah. Bahkan Papa saya sendiri sempat ragu dengan keputusan saya, terlebih ketika beliau mengenal seperti apa pendirian saya terhadap karier dan pendidikan. Tetapi, sudah menjadi tugas kita untuk dapat bertanggung jawab atas pilihan yang kita buat. Apapun yang terjadi, kita yang paling tahu konsekuensi dari pilihan kita. Memilih menikah memang berat, namun untuk tetap produktif dan berprestasi setelah menikah adalah tantangan lain yang belum tentu semua orang dapat melakukan hal serupa.Â
Pertimbangan nikah muda/ Illustration by Hipwee
Jika pada akhirnya kamu memilih untuk menikah di usia 20-an awal, cobalah renungkan beberapa hal ini.Â
Pertama, satukan visi dengan pasangan dan coba visualisasikan seperti apa hidup yang akan kalian jalani di kedepannya. Menyatukan visi membutuhkan usaha yang besar untuk dapat memaklumi satu sama lain dan menurunkan ego dari berbagai sisi. Selain itu, memvisualisasikan apa yang akan dijalani setelah menikah membantu kita untuk mengetahui rencana seperti apa yang perlu dibuat. Entah rencana membeli rumah, mengurus anak, atau hal lainnya, penting untuk dapat menyamakan persepsi agar minimal miskomunikasi.Â
Kedua, selalu komunikasikan hal apapun dengan pasangan. Pada akhirnya, kita akan hidup dengan pasangan kita seumur hidup. Mengusahakan untuk berkomunikasi dapat membantu dalam mengeratkan hubungan dan juga rasa percaya dengan pasangan. Rasa percaya yang tinggi dengan pasangan memberikan mereka rasa aman dan nyaman untuk saling ada satu sama lain.Â
Ketiga, saling kooperatif dan berbagi peran. Hal ini cukup krusial apalagi jika sudah memiliki anak nanti. Pada beberapa kesempatan, saya mendapat pekerjaan di luar kota. Di saat yang sama, dua anak saya yang masih balita dan umurnya hanya terpaut satu tahun, harus tetap ada yang menjaga. Akan sulit bagi saya untuk membagi waktu antara bekerja dan juga menjaga anak-anak sekaligus. Akhirnya, saya delegasikan peran ini kepada pasangan saya. Bisa jadi ketika saya keluar kota dan pasangan saya bisa bekerja dari rumah, maka ia akan membantu menjaga dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Berbeda lagi ketika pasangan saya yang sibuk, maka sebaik mungkin saya yang akan membantu mengurus anak-anak.
Keempat, selalu ekspresikan rasa sayang dan apresiasi terhadap berbagai hal. Tunjukkan bagaimana kamu menyayangi pasangan atau keluargamu dengan jelas. Mengekspresikan rasa sayang cukup berpengaruh dalam menunjukkan sebagaimana kita ataupun pasangan kita suportif terhadap satu sama lain. Jika perasaan sayang tidak ditunjukkan, bagaimana orang lain dapat menangkap perasaan sayang kita?
Yang terakhir, bangun quality time bersama. Pastikan baik kita dan pasangan memiliki waktu untuk dihabiskan bersama. Dengan adanya quality time, kita dapat mengeratkan bonding dengan pasangan atau anggota keluarga lain. Maka dari itu, sangat penting untuk dapat menyiapkan waktu sebaik mungkin untuk dapat berinteraksi dengan pasangan ataupun anggota keluarga.Â
Semua ini dapat dilakukan ketika pasangan sudah berkomitmen untuk menikah, maka harus dijalani berdua. Komitmen menjadi salah satu fondasi penting dalam pernikahan. Ibarat sebuah rumah, rumah yang baik dan kokoh adalah rumah dengan fondasi yang kuat. Entah nanti interior rumah seperti apa, fondasi tetap berperan penting dalam berdirinya rumah. Sama seperti pernikahan. Apapun yang terjadi, keluarga haruslah memiliki fondasi berupa komitmen dan visi yang kuat untuk tetap dapat mempertahankan pernikahannya. Entah nanti cobaannya apa, komitmen yang kuat dan visi yang sejalan menjadi blueprint akan seperti apa pernikahan seseorang nanti.Â