5 Hal Nggak Realistis tentang Hubungan. Walau Sering Kita Dengar, Belum Tentu Pasti Benar

ekspektasi hubungan

Apa yang membuat kita kecewa dan tidak bahagia? Jawabannya sering kali terkait dengan harapan kita. Atau lebih tepatnya, harapan yang terlalu tinggi, tidak berdasarkan realita. 

Coba ingat-ingat berbagai hubungan masa lalu yang berujung kegalauan. Sebagian mungkin terjadi karena kesalahanmu, sebagian terjadi karena kesalahan pasangan atau gebetanmu, sebagian lagi terjadi karena hal-hal yang di luar kendali. 

Tetapi, saya yakin semua kejadian itu terkait faktor harapan yang meleset alias tidak sesuai dengan apa yang disimpulkan di awal. Kadang harapan itu muncul dari cerita-cerita orang tua dan teman di sekeliling kita. Kadang juga dipengaruhi dari berbagai tontonan film. Kita jadi tidak bisa membedakan mana realita dan mana fantasi atau fiksi.

Dalam artikel ini, saya ingin berbagi lima buah ekspektasi yang paling sering saya temukan menjangkiti kita, tanpa disadari. Lima buah pemikiran yang kita sering telan mentah-mentah dan percayai begitu saja, sehingga membuat kita rentan akan begitu banyak kekecewaan di masa depan. 

Tujuan saya bukanlah untuk menjabarkan sejelas-jelasnya ataupun mengubah keyakinan kamu. Harapan saya hanyalah ingin memancing keberanian melihat pengalaman-pengalaman pribadi di masa lalu dan menganalisisnya dengan lebih kritis lewat lensa kacamata yang berbeda. 

Apa aja ekspektasi yang nggak realistis dalam hubungan ?| Illustration by Hipwee

TIDAK REALISTIS #1: PDKT adalah masa mengenal kepribadian dan mengecek kecocokan

Tidak terhitung ada berapa banyak orang lajang yang terpeleset pada ekspektasi ini. Dahulu saya pun pernah tanpa sadar melakukannya. Sampai sekarang, saya masih belum tahu siapa dan apa yang mempengaruhi saya untuk percaya bahwa PDKT adalah pengenalan dan pengujian. 

Padahal, realitanya, setiap kali berada di lingkungan baru, kita hampir otomatis memasang topeng perilaku yang sebaik-baiknya dan sepositif-positifnya. Hal itu seperti sudah jadi insting alamiah saja, khususnya jika kita sangat menginginkan sesuatu di lingkungan tersebut. 

Demikian juga pada saat berkenalan dengan seseorang yang kita suka. Hampir pasti kita akan menonjolkan sisi-sisi yang baik sekaligus menahan dan menutupi sisi-sisi yang kurang baik. Seringkali kita melakukan itu tidak dengan maksud mengelabuhi atau memanipulasi, tapi memang murni karena kita ingin menyenangkan hati orang yang kita suka. 

Misalnya, kita bisa jadi lebih semangat berolahraga apabila gebetan kita adalah seorang yang sangat aktif nge-gym dan peduli kesehatan, padahal sebenarnya sebelum bertemu dia kita paling malas untuk memaksakan diri berkeringat. Namun, kita yang sedang jatuh cinta jadi lebih termotivasi untuk jadi diri yang terbaik. Alhasil, si dia menangkap pesan bahwa kita sefrekuensi dengannya. 

Coba jujur, seberapa sering kamu bersikap jaga image dengan menonjolkan kelebihan (bahkan kadang menampilkan sesuatu yang tidak sesuai kebiasaan) saat bertemu seseorang yang disuka? Hampir selalu begitu, ‘kan? Itu terjadi bukan di kamu dan saya saja, tapi hampir di semua orang, lo. 

Itu sebabnya apabila kita langsung serius menguji dan menanggapi gebetan semasa PDKT, kita sendirilah yang akan tertipu dan kecewa. Bisa jadi dia tidak berniat menipu, dia hanya bersikap sewajarnya orang yang menginginkan sesuatu.

Sebenarnya itu tidak salah juga. Malah bisa dibilang sangat wajar karena PDKT memang persis seperti masa kampanye dan promosi. Sebagian orang promosi habis-habisan, sebagian promosi di bagian tertentu, sebagian lainnya hanya promosi seadanya saja. Akan tetapi, semuanya tetap promosi. Kalau kita membayangkan masa depan hubungan berdasarkan apa yang kita lihat dan dengar di masa PDKT saja, maka besar sekali kita akan merasa terkecoh. 

Untuk mengenal kepribadian dan menguji kecocokan, perlu masa pacaran yang cukup lama karena tidak mungkin seseorang mempertahankan topeng dan promosi terus-menerus. Angka yang biasanya saya rekomen setidaknya sekitar satu sampai dua tahun meskipun dalam waktu beberapa bulan pertama ada banyak hal yang sudah mulai bisa terungkap. 

TIDAK REALISTIS #2: Jatuh cinta pada pandangan atau pertemuan pertama

Kamu mungkin bisa mudah mengingat seperti apa adegan jatuh cinta pada pandangan atau pertemuan pertama berdasarkan ribuan film yang selama ini pernah ditonton. Mulai dari gerakan slow motion, close-up ekspresi wajah yang penuh pesona, sampai ke visualisasi cahaya terang benderang mengelilingi si dia. 

Pada adegan-adegan berikutnya, orang yang jatuh cinta seringkali digambarkan selalu senyam-senyum ceria sepanjang hari, terbayang-bayang si dia walau lagi sibuk berkegiatan, jadi salah tingkah dan ceroboh bila berinteraksi, lebih berani atau nekat melakukan hal-hal baru ataupun sulit, seketika hilang lelah saat bersama dia, bisa melakukan apa saja demi menyenangkan si dia, sangat pemaaf dan pengertian memahami kesalahan si dia, bahkan tidur pun terasa enggan karena dunia mimpi terasa kalah indahnya dibanding dunia nyata. 

Tidak ada yang salah dengan hal itu, tapi kita bisa terpeleset memilih orang yang salah jika berpikir perasaan-perasaan itu adalah kode-kode alam dan bukti jodoh. Jatuh cinta merupakan gairah dan ketertarikan pada bagian-bagian yang terlihat baik atau indah. Wajar dan alamiah kok kita menginginkan sesuatu yang tampak mempesona, tapi itu bukan cinta yang sebenarnya. Di bahasa Indonesia, ada istilah yang lebih tepat untuk itu yaitu “kasmaran”. 

Euforia itu sebegitu memabukkan. Kita jadi menipu diri sendiri dengan ekspektasi yang tidak masuk akal. Sering kali bukan sang gebetan yang berpromosi, melainkan kita sendiri yang menaruh impian yang berlebihan karena sedang dimabuk asmara. 

Sepanjang hanya PDKT dan tidak jadian, perasaan itu bisa bertahan cukup lama, bahkan bisa semakin menggelora kalau gebetan itu sulit didapatkan. Namun, uniknya bila kita jadian, perasaan itu akan berangsur menurun atau menghilang sama sekali setelah lewat sekian minggu atau bulan. Kita yang awalnya mudah tertawa dan bahagia terlepas dari apapun yang dilakukan pasangan, perlahan jadi tidak seriang dulu dan tidak semudah itu tertawa padahal dia sudah berusaha mati-matian. Perasaan kitalah yang berubah , tapi kita curiga dan menuduh pasangan yang lebih dulu berubah. 

Kalau kita berekspektasi mengalami perasaan dan pengalaman euforia jatuh cinta di sepanjang hubungan, kita akan dihujani perasaan kecewa berkali-kali. Bahkan, bisa saja kita tergoda selingkuh karena merasa tidak merasakan sensasi yang sama seperti awal hubungan dahulu. 

TIDAK REALISTIS #3: Cemburu adalah tanda cinta

Menurut saya, ini salah satu kekeliruan cara berpikir yang hampir selalu bisa ditemukan dalam hubungan-hubungan yang tidak sehat. Di Kelas Cinta, saya mendeskripsikan hubungan yang sehat akan membantu dan mendukung kedua individunya untuk bertumbuh semakin besar, semakin luas, semakin sukses, dsb. Apabila ada satu pihak yang mengontrol dan membatasi gerak pihak lain, kemungkinan hubungannya sudah mulai masuk ke zona tidak sehat. 

Nah, alasan yang paling sering dipakai untuk menjustifikasi sikap tidak sehat itu adalah perasaan cemburuan dan posesif. Kalimatnya bisa terdiri dari berbagai variasi.

“Aku cemburu karena aku serius sama kamu,”

“Aku posesif karena aku mau melindungi kamu, menjaga hubungan kita,”

“Kalau aku enggak cinta, ya mana mungkin aku cemburu gini?” 

Seorang teman, sebut saja Aya, melarang pasangannya untuk ambil tawaran promosi naik jabatan hanya karena di posisi baru itu pasangannya jadi punya seorang sekretaris. Ketika sang pasangan berusaha menjelaskan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Aya berkomentar sinis, “Jadi kalau posisinya dibalik, aku setiap hari dekat dengan seorang cowok di kantor, kamu nggak cemburu gitu? Yah, berarti cintanya kamu nggak segede aku.” 

Justru perasaan cemburu itu sangat berseberangan dengan cinta, lo. Hati yang sedang cemburu itu biasanya dipenuhi dengan ketakutan, keminderan, dan ketidakamanan. Saat dirasuki kecemburuan, seseorang sulit percaya bahwa pasangannya cukup dewasa dan cerdas untuk mengelola diri. Dia gemar memikirkan dan memelihara berbagai asumsi buruk tentang pasangan. Alhasil, dia jadi tidak segan-segan untuk mengontrol dan menyunat kehidupan pasangan, demi dirinya merasa aman dan nyaman. Bahkan, semakin dipelihara cemburunya, semakin terasa bertambah rasa cemasnya dan berkurang rasa cintanya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Lex dePraxis adalah Love & Relationship Coach yang selama empat belas tahun ini menjadi pionir pengembang ilmu manajemen relasi cinta dan rumah tangga di Indonesia. Sebagai co-founder Kelas Cinta, visinya adalah menyejahterakan hidup manusia lewat peningkatan kualitas hubungan dan pernikahan, sesuai dengan mottonya, “Love beter, live better!” Seusai pendidikan di Universitas Indonesia, Lex rajin menambah berbagai kompentensi dan sertifikasi pengembangan diri dari dalam dan luar negeri. Beliau mempelajari teknologi alam bawah sadar dari Indonesian Board of Hypnosis, Neuro-Linguistic Programming dari NLP Consult Indonesia dan NF-NLP Florida, psikologi transpersonal dari Insight Institute Indonesia, life coaching dari Indonesia Association of Life Coach, professional coach dari Loop Institute of Coaching, serta Gottman Method Couples Therapy Level 1 & 2 dari The Gottman Institute