Dilema Menikah di Usia 23 dan Kenapa Mas Aji Bisa Meyakinkan Saya

Bagi kebanyakan orang, menikah merupakan satu momen besar dalam hidup, termasuk bagi saya. Awalnya hanya soal diri sendiri, sekarang harus berbagi peran dan ‘membelah diri.’ Salah kaprah pernikahan yang kerap ditemui adalah tentang pernikahan yang sering dikira merupakan sebuah solusi. Padahal, belum tentu dengan menikah semua masalah dapat teratasi. Ada pula yang percaya bahwa menikah memberikan rasa stabil, tetapi terkadang mungkin banyak yang lupa bahwa tetap ada risiko yang harus kita ambil.

Kenyataannya, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menikah, terlebih menikah di usia yang relatif muda. Komitmen dan tanggung jawab dari sebuah peran baru membuat seseorang terkadang harus memilih dan mengorbankan banyak hal di depan mata.

Yang perlu diketahui, menikah bukanlah akhir dari sebuah cerita. Akan tetapi, menjadi awal untuk babak hidup yang baru ke depannya

Ada peran-peran baru yang harus dijalani. Bukan lagi sekedar menjadi seorang anak, tetapi akan ada peran baru yaitu menjadi suami-istri maupun ayah-ibu. Tidak hanya terbatas pada hal itu, ketika bekerja pun, saya memiliki peran yang berbeda lagi. Tentunya tidak mudah untuk menghadapi ekspektasi orang-orang di saat umur masih relatif muda sehingga bagi saya tidak ada yang lebih penting selain menemukan alasan yang kuat untuk menikah. 

Alasan yang kuat bisa menjadi fondasi dalam hidup rumah tangga yang kuat pula. Ketika kita memutuskan untuk menikah, justru alasan tersebut yang membantu kita untuk tetap mempertahankan pernikahan. Meskipun begitu, alasan yang kuat saja belum tentu cukup. Menemukan seseorang yang tepat dan satu visi dengan kita merupakan hal lain yang perlu digarisbawahi. Pada hakikatnya, menikah merupakan keputusan berdua dan harus dijalani berdua pula. Bahkan, lebih besar lagi, menikah itu menyatukan dua keluarga besar yang berbeda.

Saat saya menikah di usia 23 tahun, ada dilema besar antara mimpi dan berkeluarga

Memutuskan untuk menikah di usia 23 tahun merupakan salah satu keputusan terbesar yang pernah saya lakukan. Sebagai seseorang di usia tersebut, belum banyak hal yang bisa saya capai. Ada berbagai mimpi yang ingin saya raih mulai dari segi edukasi hingga karier. 

Datang dari keluarga yang bukan memiliki latar belakang edukasi yang cukup tinggi membuat saya belajar bahwa pendidikan yang tinggi adalah salah satu sumber dari kemudahan hidup. Sejak dulu saya memiliki prinsip bahwa sebagai seorang wanita, saya harus dapat mencapai pendidikan setidaknya hingga jenjang doktor. Bahkan, saya sempat berencana untuk menikah di usia 27 atau 28 tahun setelah menyelesaikan seluruh pendidikan saya. 

Akan tetapi, ternyata semua tidak semulus yang direncanakan. Dengan ijazah lulusan sarjana, saya mencoba peruntungan untuk bekerja. Tidak mudah memang, terlebih usia tersebut merupakan tahapan di mana seseorang sedang membangun karier dan kehidupan selanjutnya setelah menyelesaikan pendidikan primer. Di awal, jangankan bermimpi untuk menikah, memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai diri sendiri selama satu bulan ke depan saja masih menjadi satu problem yang membuat saya mau tidak mau harus kerja part time dan membuka butik kecil sebagai pemasukan lain untuk hidup saya. 

Nikah atau mimpi?/ Illustration by Hipwee

Pada satu titik, pasangan saya malah mengajak saya untuk menikah. Dengan kondisi keuangan, baik saya dan pasangan, yang bisa dibilang masih masih belum stabil, saya ragu untuk mengiyakan ajakan tersebut. Saya berpikir bagaimana nantinya saya dapat melanjutkan karier atau pendidikan seperti yang saya impikan sebelumnya. Terlebih, saat itu saya masih memiliki pendirian bahwa saya akan menikah di akhir umur 20 tahun setelah berhasil menyelesaikan pendidikan yang selalu saya idam-idamkan.  

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang psikolog klinis yang senang berbagi perihal kesehatan mental