Mereka cuma anak-anak. Masa depannya juga masih panjang.
Sering, kan, kamu mendengarkan pernyataan tersebut ketika muncul kasus kejahatan dengan anak-anak sebagai pelakunya? Tindak kriminalnya memang nggak bisa dibenarkan, apalagi kalau kejahatannya sampai merenggut nyawa orang. Namun, status pelaku yang masih di bawah umur kerap menimbulkan dilema tersendiri. Pelaku akan dihukum berat, tapi kok mereka masih di bawah umur. Kalau nggak dihukum, lantas siapa yang bakal bertanggung jawab? Lalu, bagaimana dengan nasib korban?
Rasanya tuh, serba salah dan susah, apalagi menghukum para pelaku kejahatan anak-anak kerap terganjal perlindungan hukum yang kuat. Seperti kita ketahui, anak-anak termasuk kelompok di bawah umur yang dinilai belum dewasa untuk mengambil keputusan. Makanya, meski melakukan tindak kriminal sadis sekali pun, hukuman yang dijatuhkan biasanya ringan dan sebatas mendapatkan bimbingan. Terdengar nggak adil, bukan?
Nah, muncul pertanyaan besar nih. Ketika anak-anak menjadi pelaku kejahatan, bagaimanakah hukum harus ditegakkan?
Cerdik menangkap fenomena, terutama isu kejahatan anak di Korea Selatan, drama Juvenile Justice menyuguhkan beragam kasus kriminal anak dan proses peradilannya yang tepat. Lewat drama ini, kita diajak untuk bersikap adil sejak dalam pikiran dan perbuatan bila menghadapi kejahatan anak sehingga nggak ada lagi pelaku yang percaya diri usai berbuat jahat di balik statusnya sebagai anak di bawah umur.
Ini dia beberapa gambaran nyata kasus kejahatan anak dalam Juvenile Justice serta hukuman yang pantas dijatuhkan!
Ketika anak menjadi pembunuh kejam, hukum harus hadir untuk menunjukkan konsekuensinya sebagai bentuk pembelajaran
![Juvenile Justice]()
Anak-anak jadi pelaku kejahatan | Illustration by Hipwee
Membayangkan anak sebagai pelaku penculikan, pembunuhan, dan mutilasi tentu sangat sulit. Rasanya mustahil terjadi, apalagi mengingat dunia anak-anak umumnya dipenuhi kebaikan dan kepolosan. Namun, kita nggak bisa memungkiri terus-menerus bahwa memang ada anak-anak yang tumbuh menjadi pelaku kejahatan.
Inilah yang dipotret oleh Juvenile Justice di episode 1 dan 2. Gambaran kisahnya diambil dari kejadian nyata dengan identitas umur yang sengaja dibuat berbeda dari umur pelaku sesunguhnya. Sadar bahwa dirinya masih di bawah umur, pelaku (16 tahun) yakin bebas dari jeratan hukum meski telah membunuh bocah laki-laki berusia 8 tahun. Tersangka lain yang berinisial Baek (13 tahun) percaya diri sebab ia menggunakan gangguan mentalnya sebagai dalih.
Keduanya memiliki faktor X tersebut yang bisa membuat mereka mendapatkan hukuman ringan, yakni menjalani masa percobaan dan bimbingan. Pihak keluarga pelaku juga berusaha agar anaknya nggak mendapatkan hukuman penjara. Sayangnya, bayangan indah pelaku harus hancur ketika hakim memvonis hukuman maksimal untuk remaja, yaitu 20 tahun. Dalam kasus dunia nyata, hukuman yang dijatuhkan lebih lama.
Dari putusan hakim Sim Eun-seok dalam Juvenile Justice, kita belajar untuk tegas agar anak-anak sadar konsekuensi atas perbuatannya. Menoleransi perilaku mereka dengan berlindung di balik status di bawah umur nggak akan memberikan pembelajaran apa pun. Selain itu, perspektif korban dan keluarga yang ditinggalkan disorot dengan baik dalam drama ini sehingga kita tahu bahwa korban adalah pihak yang paling dirugikan.
Bocornya soal ujian masuk perguruan tinggi yang melibatkan 21 siswa. Siapa yang mendapatkan hukuman?
Sepertinya, kasus kebocoran soal dan kunci jawaban masuk perguruan tinggi bukan sesuatu yang baru. Fenomena miris tersebut bukan hanya terjadi di Korea Selatan, tapi juga di Indonesia. Nggak sedikit, lo, kasus kecurangan semacam itu terjadi di Indonesia ketika menjelang Ujian Nasional. Sayangnya, hal ini juga sering dianggap sepele.
Kamu sedang membaca konten eksklusif

Dapatkan free access untuk pengguna baru!
Maaf, kamu tidak memiliki akses
Yuk langganan
atau beli akses artikel ini untuk melanjutkan.
Sama seperti kasus yang digambarkan dalam Juvenile Justice, anak-anak yang masih menjadi siswa ikut terseret dalam kecurangan itu. Jika kejadiannya seperti ini, proses peradilan nggak boleh berhenti pada keterlibatan anak semata. Pasalnya, kebocoran soal ujian sering kali didalangi oleh pihak-pihak yang punya kuasa dan akses untuk mengetahui berkas ujian beserta kunci jawaban. Anak-anak tentu bukan dalang sesungguhnya.
Dalam drama ini, guru di sekolah dan guru bimbingan belajar yang menjadi otak kejahatan itu menerima ganjarannya. Sesuai dengan kasus aslinya, mereka harus bertanggung jawab atas kecurangan yang ternyata sudah bertahun-tahun dilakukan. Pelaku mendapatkan vonis penjara selama tiga tahun.
Ada satu hal menarik yang disuguhkan oleh drama ini, yakni keterlibatan orang tua dalam kecurangan. Disadari atau tidak, orang tua membayar calo kunci jawaban agar anak-anak mereka lolos ujian. Mereka nggak peduli jika tindakan itu merugikan siswa lain yang seharusnya memiliki kesempatan lolos dengan jujur. Pada akhirnya, kecurangan itu dilakukan demi gengsi orang tua. Duh, memrihatinkan, ya~
![Juvenile Justice]()
Sosok Sim Eun-seok dalam Juvenile Justice | Illustration by Hipwee
Kekerasan seksual tetap kejahatan yang perlu ditindak tegas walaupun pelakunya masih anak-anak
Pernah nggak kamu mendengar kasus kekerasan seksual yang perlahan menghilang tanpa proses hukum yang jelas? Di tengah masyarakat yang masih sering menyalahkan korban, kasus semacam ini semakin sulit ditangani bila pelakunya adalah anak-anak. Seakan ada pemakluman atas tindakan kriminal yang telah dilakukan. Ujung-ujungnya, kasus seperti ini justru berakhir damai.
Drama Juvenile Justice menunjukkan bahwa hukum tetap berlaku pada anak-anak dengan tindak kriminal berat, apalagi kasusnya adalah kekerasan seksual. Bayangkan aja, bila di usia remaja sekitar 17 tahunan, mereka udah melakukan kekerasan seksual dan menjual rekamannya di situs ilegal. Lalu, mereka dibiarkan bebas tanpa merasa bertanggung jawab atas perbuatannya. Hidup tanpa mengetahui dan menyadari kesalahannya, para pelaku anak-anak ini bisa melakukan kejahatan yang sama atau bahkan lebih buruk di masa depan. Sementara, korban mengalami penderitaan seumur hidup.
Pentingnya mengusut kasus kejahatan anak. Jangan sampai anak tetap tumbuh jadi pelaku sampai dewasa
We need to show them how harsh the law can be! We have to teach them that when you hurt someone, you have to pay the consequences
Ucapan hakim Shim Eun-seok tersebut ibarat tamparan keras. Sudah seharusnya, hukum memang diterapkan seadil-adilnya walaupun anak di bawah umur yang menjadi pelakunya. Jangan sampai pelaku nggak mendapatkan proses peradilan sama sekali hanya karena masih anak-anak. Menurut hakim Shim, adanya hukum adalah untuk membuat jera dan mencegah pelaku anak-anak menjadi pelaku di masa depan ketika ia udah tumbuh dewasa.
Bagaimana jika pelaku dibiarkan begitu aja?
Seperti kasus dalam Juvenile Justice yang terinspirasi dari kejadian nyata, yaitu kematian anak laki-laki akibat kejatuhan batu bata dari lantai 13 apartemen di Busanjin. Pelaku yang masih di bawah umur berakhir di pengadilan anak dan mendapatkan bimbingan. Berselang beberapa tahun kemudian, pelaku anak ternyata masih melakukan tindak kejahatan. Kali ini, ia terlibat pemaksaan hubungan seksual bersama teman-teman sebayanya.
Dari adegan yang nyaris bisa kita temui di dunia nyata ini, kita diajak untuk merenungkan banyak hal. Menganggap enteng kejahatan yang dilakukan anak hanya akan membuka peluang tindak kriminal selanjutnya. Inilah alasan mengapa kasus kejahatan anak tetap perlu diadili, supaya anak paham akan dampak atas tindakannya. Selain itu, orang tua yang berperan besar dalam proses pengasuhan anak juga melek akan pentignya menumbuhkan anak yang berjiwa manusia sehingga nggak menyakiti sesamanya.