Kisah mereka yang sempat merasakan bekerja di kota, tapi pilih pulang ke desa | Illustration by Hipwee via www.hipwee.com
SoHip, apa yang kamu pikirkan jika ada perantau yang sudah mendapat pekerjaan bagus di kota, tapi hanya sejenak merasa betah, kemudian memutuskan kembali ke desa?
Mungkin banyak yang akan menyayangkan keputusan ini. Pasalnya, pekerjaan di kota biasanya dianggap lebih bagus dan sering diincar oleh anak muda. Tempat ini dinilai tepat untuk membangun karier, mendapat peluang yang menjanjikan, dan bertemu banyak jaringan atau relasi yang lebih luas. Apalagi, jika didukung pendidikan yang baik dan bisa bekerja di perusahaan-perusahaan bergengsi.
Siapa sih, yang nggak mau sukses berkarier di kota-kota besar? Namun, ada hal lain yang perlu kita lihat dari kehidupan di kota, yakni biaya hidup yang tinggi, persaingan ketat, dan pola kerja yang juga serba cepat. Belum lagi jika bicara soal lingkungan, misalnya polusi, banjir, air bersih, hingga sampah.
Hal ini nggak membuat semua orang merasa betah menjalani kehidupan di kota besar, apalagi jika ada masalah personal seperti nggak nyaman dengan gaya hidup di sana atau kesepian karena jauh dari keluarga. Nggak jarang pekerja di kota memutuskan kembali ke desa meski sudah mendapat pekerjaan yang cukup baik dan nyaman, lo.
Bicara soal pekerja yang sempat mencicipi pekerjaan di kota dan memutuskan pulang ke desa, Hipwee Premium telah mengulik beberapa tokoh ternama hingga berkesempatan mewancarai langsung pekerja yang memutuskan pulang kampung. Katanya sih mereka merasa lebih nyaman, tenang, dan bahagia hidup di desa. Seperti apa kisah mereka? Yuk simak!
Kisah Sridhar, pendiri Zoho asal India yang memilih hidup tenang di desa setelah 25 tahun merintis bisnis di Silicon Valley
Sridhar saat bersepeda keliling desa | Credit by @svembe on Twitter
Sridhar Vembu adalah pria asal India yang tercatat oleh Forbes sebagai salah satu miliarder sukses yang membangun bisnis layanan cloud atau jaringan antarkomputer bernama Zoho di Silicon Valley, Amerika Serikat. Setelah 25 tahun merintis Zoho hingga berkembang pesat, Sridhar justru memilih pindah dari Amerika dan pulang ke negara asalnya. Ia meninggalkan kantor pusat Zoho yang megah di Silicon Valley, memilih kerja jarak jauh, dan tinggal di Mathalamparai, sebuah desa terpencil di selatan India sejak November 2019.
Melansir dari BBC, desa tempat tinggal Sridhar saat ini bukanlah kampung halaman asalnya. Sridhar sengaja memilih tinggal di desa yang asing supaya bisa menikmati ketenangan. Baginya, ia hanya butuh listrik dan jaringan internet supaya tetap bisa bekerja. Sidhar benar-benar menjalani kehidupannya di desa sesuai keinginannya. Setiap hari ia mengayuh sepeda keliling desa untuk mengobrol dengan penduduk yang ditemuinya di jalan. Hal ini membuatnya merasakan ketenangan dan kedamaian, merasa hidup melambat, sehingga lebih bisa dinikmati.
“Hidup di desa bagiku adalah ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan uang yang kudapatkan dari bekerja siang malam di kota,” ujar Sridhar, mengutip dari BBC.
Kisah Li Ziqi dan Ukke Kosasih resign dari pekerjaan di kota dan pulang ke desa untuk menjalani slow living
Li Ziqi sedang menjahit pakaian | Credit by Li Ziqi on Commons Wikimedia
Kehidupan perkotaan yang padat dan serba cepat kadang memang terasa begitu melelahkan. Hal ini membuat banyak kaum urban memutuskan menjalani gaya hidup yang melambat atau dikenal dengan slow living. Melansir dai Voi, slow living adalah gaya hidup yang menentang pola serba cepat yang banyak terjadi di masyarakat kota. Slow living akan membuat orang yang menjalaninya melakukan sesuatu dengan santai dan mengalir sembari menikmati apa yang dikerjakan tanpa harus terburu-buru.
Bahkan ada orang yang rela resign dari pekerjaan di kota dan pindah tinggal di desa demi menjalani slow living ini. Jika kamu pernah menonton channel YouTube Li Ziqi, pasti tidak asing lagi dengan sosok Li, perempuan asal Tiongkok yang menjalani kehidupannya di desa dengan damai dan tenang. Melansir dari Dig Mandarin, Li sebelum terkenal sebagai vlogger pernah merantau ke kota. Namun, setelah beberapa tahun bekerja, Li memutuskan untuk kembali ke desa untuk merawat neneknya.
Sepulangnya dari kota, Li memilih bercocok tanam setiap hari, membuat kerajinan, dan memasak dari hasil kebunnya. Li benar-benar menerapkan gaya hidup slow living dengan mengerjakan sesuatu yang membuatnya sangat menikmati kegiatan tanpa harus terburu-buru seperti saat di kota. Li mendokumentasikan berbagai aktivitas tanpa bicara dalam video. Ketenangan dan kedamaian yang Li tunjukan di vlog-nya ternyata memikat jutaan orang di seluruh dunia. Kini Li memiliki 16,3 juta subscriber di channel YouTubenya.
Ukke sedang istirahan di sebelah rumah usai berkebun | Credit by @ukkerkosasih on Instagram
Selain Li ada juga Ukke Kosasih, perempuan asal Bandung yang resign dari pekerjaannya sebagai Advisor Campaign di sebuah perusahaan internasional dan memilih pindah ke desa Cihanjuang, Bandung. Ukke bersama sang suami menjalani slow living sejak pindah ke desa pada tahun 2006.
Mereka melakukan berbagai aktivitas yang sebelumnya tidak bisa dilakukan di kota seperti menanam bebagai bahan makanan, mendirikan workshop kerajinan, bahkan ia juga memberdayakan perempuan di desanya untuk bekerja di workshop-nya. Berkat menekuni bisnis pembuatan boneka circa, Ukke kini menjadi wirausaha perempuan yang berhasil mengekspor kerajinan khas Cihanjuang ke berbagai negara.
Li dan Ukke sama-sama membuat keputusan pulang ke desa dan meninggalkan pekerjaannya, lalu menjalani kehidupan yang tenang tapi lebih bermanfaat daripada saat di kota. Namun, hal ini tidak membuat mereka tertinggal karena ada hal lain yang dikerjakan dan ditekuni, sehingga mereka justru semakin berkembang saat hidup di desa.
Bekerja sejenak di kota membuat pemuda asal Banjarnegara ini memutuskan mengambil sistem remote working sejak sebelum pandemi supaya bisa kembali ke desa dan bekerja dari rumah
Pilihan hidup untuk kembali ke desa setelah beberapa saat bekerja di kota besar juga diabil oleh Cahyo, pemuda asal Banjarnegara. Ia sempat merantau untuk kuliah di Yogyakarta selama 3,5 tahun, kemudian bekerja di Jakarta selama 3 tahun. Namun, selama hidup di kota besar, apalagi saat bekerja di Jakarta, ia merasa hidupnya hanya seputar pekerjaan saja.
“Pas di Jakarta aku harus berangkat pagi-pagi untuk menghindari macet atau berdesakan di KRL, terus pulangnya di atas jam enam, kalau lembur bisa sampai jam sepuluh. Saat weekend cuma bisa di rumah aja karena udah capek buat bekerja. Aku merasa hidup kayak gitu nggak sehat banget,” tutur Cahyo pada Hipwee Premium.
Belum lagi persoalan lingkungan yang membuat tempat tinggalnya sering kebanjiran, polusi udara, dan kesulitan air bersih. Hal ini membuatnya merasa tidak bisa selamanya tinggal di kota besar, apalagi ia memiliki anak yang saat itu masih bayi. Memikirkan hal tersebut, ia sempat berpikir untuk resign dan memboyong keluarga kecilnya pulang ke desa, sayangnya tidak didukung oleh keluarga besar karena bagaimanapun kariernya sudah cukup bagus di Jakarta.
Beruntung, Cahyo bekerja di perusahaan internasional yang sedang mengujicobakan sistem kerja hybrid. Pria 28 tahun ini segera mengambil kesempatan untuk mengajukan romote working atau kerja jarak jauh. Akhirnya, pada awal tahun 2019 Cahyo mewujudkan impiannya untuk pulang ke Banjarnegara dan menjalani kehidupan yang menurutnya lebih sehat, tenang, dan damai daripada saat tinggal di kota besar.
“Setelah merasakan kerasnya Ibukota, aku bersyukur banget bisa kerja jarak jauh dan pulang ke kampung. Di sana (kota) aku cuma merasa sedang bertahan hidup aja, tapi kalau di desa ini benar-benar merasakan kehidupan yang sebenarnya. Hidup jadi lebih tenang dan santai, tapi justru bisa makin produktif,” pungkas Cahyo.
Hikmah pandemi membuat perempuan asal Boyolali ini mengajukan remote working untuk seterusnya supaya bisa pulang dan tinggal di desa
Berbeda dengan Cahyo, perempuan asal Boyolali bernama Deviana awalnya nggak berpikiran untuk pulang ke desa setelah 3 tahun merintis karier di sebuah perusahaan start-up di Jakarta. Namun, sejak awal pandemi kantornya menerapkan remote working yang membuatnya harus bekerja dari kos-kosan. Hal ini membuatnya merasa bosan, jenuh, bahkan sampai mengganggu kesehatannya. Setelah tidak mendapat kepastian sampai kapan bisa kembali bekerja di kantor, akhirnya Devi memutuskan pulang ke Boyolali.
“Setelah merasakan kerja di kota sama kerja di rumah alias di desa, aku merasa ‘wow, ini nih yang aku cari’, hidup tuh jadi kerasa lebih bermanfaat aja buat diri sendiri dan keluarga karena banyak hal yang bisa dilakukan saat kerja dari rumah,” tutur Devi pada Hipwee Premium.
Devi merasa saat tinggal di kota hidupnya terlalu dituntut untuk produktif terus-terusan. Ia menghabiskan waktu seharian untuk urusan pekerjaan saja, mulai perjalanan pulang pergi dan bekerja dari pagi hingga sore hari, saat sampai kos tubuhnya sudah lelah dan segera istirahat. Sementara, saat di rumah, ia punya banyak waktu untuk keluarga, bahkan mencoba keterampilan baru seperti berlatih gitar dan ikut kelas-kelas daring.
Hal tersebut membuat Devi makin mantap untuk memilih remote working supaya tetap bisa tinggal bersama keluarganya di Boyolali. Beruntung perusahaan tempat Devi bekerja mengizinkannya untuk bekerja jarak jauh. Kendati ada urusan pekerjaan yang mendesak, Devi rela datang ke Jakarta untuk beberapa hari, tapi tidak untuk menetap lagi di sana.
“Bukan berarti di kota nggak enak. Di sana semua serba mudah, kalau di desa kan kadang jaringan internet sulit, ya semua pasti ada plus minusnya, tapi secara personal aku merasa tinggal di desa, apalagi di rumah sendiri bareng keluarga itu lebih bahagia. Waktu yang aku punya jadi lebih berkualitas daripada menghabiskan waktu seharian untuk kerja seperti saat di kota,” pungkas Devi.
Alasan dan tantangan yang dihadapi mereka yang memutuskan kembali ke desa setelah mencicipi rasanya kerja di kota
illustration by Hipwee
Dari beberapa kisah di atas, mayoritas memang menjadikan kehidupan di desa yang tenang dan damai menjadi alasan mereka ingin kembali ke desa dan melanjutkan hidup di sana. Apalagi, masalah di perkotaan mulai dari lingkungan kerja, masyarakat, dan tempat tinggal dirasa tidak sebaik di desa. Pola hidup yang serba cepat juga membuat sebagian orang merasa kewalahan untuk mengikuti ritmenya. Apalagi, penduduk yang padat juga bisa mengurangi kesejahteraan hidup seseorang dari segi interaksi sosial dan hubungan bermasyarakat.
Walau ada yang memutuskan berganti pekerjaan seperti Li Ziqi dan Ukke, banyak juga orang-orang seperti Sridhar, Cahyo, dan Devi yang memilih remote working supaya tetap bisa bekerja di perusaahaan, tapi juga bisa tinggal di desa. Alasan pekerjaan yang sudah nyaman dan nggak mungkin ditinggalkan begitu saja membuat mereka memilih bekerja jarak jauh. Bagi kamu yang merasakan hal yang sama dengan mereka, pilihan remote working bisa dicoba, lo. Apalagi, di masa pandemi kemungkinan perusahaan bisa mengizinkan sistem kerja seperti ini.
Kendati perusahaan mengizinkan, tapi sebenarnya memutuskan pulang ke desa bukanlah hal yang mudah. Apalagi, jika soal meyakinkan keluarga soal pekerjaan yang kita jalani dan pengembangan karier ke depan. Belum lagi jika fasilitas di desa misalnya jaringan internet dan transportasi kurang memadahi untuk menunjang pekerjaan jarak jauh. Hal ini juga harus menjadi pertimbangan sebelum memutuskan pulang ke desa.