Anak UGM Memang Kelihatan Biasa Saja. Tapi Mereka Calon Menantu Terbaik yang Ibumu Bisa Punya

Sebagai universitas tertua di Indonesia UGM punya nama besar yang tak perlu diragukan lagi tajinya. Kualitas lulusan UGM pun harus diakui keberadaannya. Mulai dari pengusaha, pekerja kreatif, sampai menteri dan petinggi negara sudah ditelurkan oleh universitas ternama yang berbasis di Jogja.

Advertisement

Sekilas, anak UGM memang terlihat ‘biasa’ dibanding lulusan universitas besar lainnya. Saat anak cetakan Jakarta atau Bandung vokal mengungkapkan pendapat, anak UGM memilih diam mendengarkan. Kultur Jogja yang selow membuat mereka santai dalam berpakaian. Sekali pandang, anak UGM memberikan kesan: ‘duh-pinter-sih-tapi-kok-agak-ndeso-ya?’ 

Sekilas mereka memang bisa terlihat kurang meyakinkan. Tapi percayakah kamu kalau anak UGM adalah calon menantu terbaik yang bisa Ibumu dapatkan?

1. Kelak, Ibumu butuh menantu yang perhatian dan mau turun tangan. Empati anak UGM sudah teruji lewat berbagai kegiatan kemahasiswaan

Empati anak UGM sudah teruji lewat berbagai kegiatan kemahasiswaan (Kredit: Tara Arani Faza)

Empati anak UGM sudah teruji lewat berbagai kegiatan kemahasiswaan (Kredit: Tara Arani Faza) via www.facebook.com

Tinggal di Jogja selama masih jadi mahasiswa, anak UGM ditantang kreativitasnya untuk menciptakan event mahasiswa berskala besar lewat rute yang lebih sederhana. Di Jogja tidak terdapat banyak perusahaan besar, mengharapkan dana dari Universitas? Hehe. Duh, ngimpi!

Advertisement

Putar otak demi agar terlaksana buat anak UGM sudah seperti nafas saban harinya.

Tapi karena keterbatasan ini empati anak UGM teruji. Bersama-sama jadi laskar bunga (jualan bunga mawar) di perempatan tiap sore, jadi pasukan bersih-bersih kost demi menambah dana acara, sampai rela turun tangan sendiri menempel poster kegiatan di pinggir jalan saat tengah malam pernah dilakukan.

Saat kelak jadi menantu empati yang tumbuh semasa kuliah akan tercermin dalam perlakuannya pada orangtuamu. Ia tak akan keberatan membantu. Hal lebih sulit pernah dilaluinya saat di Jogja dulu.

Advertisement

2. Diam-diam Ibumu berharap punya menantu yang membuatmu tak kerepotan. Terbiasa makan burjo dan angkringan, apa yang perlu dikhawatirkan?

Terbiasa makan burjo tiap waktu, apa yang harus dikhawatirkan? (Kredit: Hasto Siswanto)

Terbiasa makan burjo tiap waktu, apa yang harus dikhawatirkan? (Kredit: Hasto Siswanto) via www.facebook.com

Orangtua mana sih yang ingin hidup anaknya jadi lebih susah pasca menikah? Panjang lebar mereka berpesan agar kamu tak salah memilih pasangan. Terselip langkah sedikit saja bisa-bisa kamu dapat dia yang jalan pikirnya berseberangan, minta dilayani setiap waktu, melarang ini itu — pasangan yang merepotkanmu.

Kerepotan macam ini akan kecil terjadi saat anak UGM jadi pasangan yang mendampingi saban hari. Dari jaman mahasiswa saja mereka sudah terbiasa makan burjo dan angkringan. Paling pol juga makan di warung prasmanan. Menu yang wow bukan jadi keharusan…

3. Pernikahan butuh kemampuan tingkat dewa untuk beradaptasi. Anak UGM yang jadi saksi perubahan Jogja sudah khatam soal ini

Mereka yang jadi bukti perubahan Jogja amat paham soal ini (Kredit: Brian Aziz Ibrahim)

Mereka yang jadi bukti perubahan Jogja amat paham soal ini (Kredit: Brian Aziz Ibrahim) via www.facebook.com

Bukan cuma manis yang akan terasa saat kalian sudah menikah nanti. Kebiasaannya menarik pakaian yang sudah diseterika rapi dengan asal dari lemari, bagaimana dia selalu meletakkan handuk bekas pakai di atas tempat tidur yang rapi, sampai kekonyolan lain harus kamu hadapi. Demi bertahan, ikatan membutuhkan kemampuan adaptasi.

Anak UGM sudah khatam soal ini. Merekalah jadi saksi bagaimana Jogja bertransformasi. Mulai dari jalanan yang masih lenggang, jalan Kaliurang yang perlahan berubah jadi padat, sampai mall yang kini jumlahnya sudah mulai tak bisa dihitung dengan jari.

Menghadapi perubahan yang membuat hidup tak nyaman lagi, anak UGM tetap bisa selow dalam menjalani hari. Mungkin Jogja dan segala kebersahajaannya yang membuat mereka begini. Atau mungkin, sifat mau beradaptasi memang sudah ada dalam hati.

4. Terbiasa tinggal di Jogja bikin mereka tak risih pada ke-kepo-an tetangga. Bukankah kelak kalian tidak hanya hidup berdua?

Terbiasa turun di masyarakat, empati mereka pun kuat (Kredit: Anggita Paramesti)

Terbiasa turun di masyarakat, empati mereka pun kuat (Kredit: Anggita Paramesti) via www.facebook.com

Selepas jadi suami istri hidup jelas tidak akan sama lagi. Sesekali kalian harus rela menghadapi tetangga yang terlalu perhatian dan terus bertanya kapan perut istri terisi. Atau kenapa rumah kalian belum segera direnovasi, padahal tetangga sudah banyak yang mendahului. Dibutuhkan orang yang cukup andhap asor dan rendah hati untuk menghadapi semua ini.

Dia yang anak UGM dan terbiasa tinggal di Jogja sudah cukup hapal menghadapi pertanyaan-pertanyaan macam ini. Dulu, semasa masih jadi mahasiswa dia terbiasa berbasa-basi dengan ibu kost atau penjual burjo langganannya. Menyapa dan tersenyum pada orang yang sebenarnya membuat kesal di dada bukan masalah besar baginya.

5.  Sifat anak UGM yang tak banyak bicara anehnya membuat mereka tetap kompetitif untuk jadi yang terbaik di bidangnya

Meski tak banyak bicara, mereka tetap kompetitif di bidangnya (Kredit: Anggita Paramesti)

Meski tak banyak bicara, mereka tetap kompetitif di bidangnya (Kredit: Anggita Paramesti) via www.facebook.com

Walau kelihatan selow-selow saja dan kurang kompetitif diam-diam anak UGM tetap punya jiwa pejuang dalam dirinya. Lihat saja berapa banyak anak UGM yang masuk ke perusahaan ternama dan jadi leader di bidangnya. Tak sedikit pula anak UGM yang membangun startup dan sukses di luar jalur pekerjaan biasa. Meski tak banyak bicara, mereka tak pernah kehilangan kegarangannya.

Di samping anak UGM akan kamu temukan pasangan yang lebih banyak menahan diri. Tidak langsung bercerita panjang lebar soal project yang kini sedang dijalani. Tapi diam-diam mengagetkanmu dengan kesuksesannya nanti.

6. Perkawanan yang tumbuh di kampus ini akan terus lekat sampai dewasa nanti. Kelak, Ibumu bisa punya menantu dengan social support yang tinggi

Kelak, Ibumu akan punya menantu dengan social support yang tinggi Kredit: Bara E Brahmantika)

Kelak, Ibumu akan punya menantu dengan social support yang tinggi Kredit: Bara E Brahmantika) via www.facebook.com

Pernikahan, pada akhirnya, bukan cuma soal kalian saja. Jika tidak ada social support yang kuat di baliknya hubungan yang awalnya baik-baik saja bisa rapuh di tengah jalan. Bahkan kemudian bubar tanpa penjelasan.

Bagi anak UGM, perkawanan adalah hal yang mahal. Mereka yang menemani makan angkringan di akhir bulan, mereka yang rajin menggedor kamar agar tidak kesiangan, mereka yang menyemangatimu menyelesaikan skripsi saat prosesnya berhenti di tengah jalan.

Tak jarang kamu akan menemukannya janjian dengan kawan kuliah sepulang kerja. Sekadar makan dan berbagi canda tawa khas Jogja. Mereka membuat pasanganmu tetap pada akarnya. Kawan-kawan dari UGM menjaga kewarasannya di tengah kesibukan yang makin menggila.

7. Bagi anak UGM hidup bukan cuma untuk diri sendiri. Besar di kampus yang ‘sempat’ dekat dengan rakyat memunculkan rasa ingin mengabdi

Besar di kampus yang dekat dengan rakyat akan memunculkan rasa ingin mengabdi (Kredit: Hardya Pranadipa)

Besar di kampus yang dekat dengan rakyat akan memunculkan rasa ingin mengabdi (Kredit: Hardya Pranadipa) via www.facebook.com

Ada masanya anak-anak UGM turun ke jalan demi memperjuangkan KIK berhenti diberlakukan. Tidak sedikit pula anak advokasi yang mendampingi mahasiswa baru yang permohonan keringanan uang UKT nya tidak disetujui. UGM menumbuhkan rasa ingin mengabdi. Ilmu, sedangkal apapun, mesti punya kemanfaatan di kampus ini.

Selepas jadi menantu nanti akan kamu temukan pasangan yang tidak hanya fokus pada diri sendiri. Dia juga tidak hanya akan perhatian padamu sebagai manusia yang sehati. Di tengah kesibukannya akan kamu temukan dia masih sempat mengurusi orang-orang yang ada di sisi. UGM membentuknya jadi orang yang tak cuma mementingkan diri sendiri.

8. Bersama anak UGM, cinta itu seperti wine yang tua. Makin lama disimpan malah lebih kuat rasanya. Bukankah hal ini akan membuat Ibumu bahagia?

Bersama anak UGM, cinta seperti wine yang tua (Kredit: Anggita Paramesti)

Bersama anak UGM, cinta seperti wine yang tua (Kredit: Anggita Paramesti) via www.facebook.com

UGM memang bukan kampus paling modern se Indonesia. Perpustakaannya masih jauh dari kata apik. Gedungnya pun masih banyak yang bisa dikritik. Tapi harus diakui UGM punya cara lain untuk membuat mahasiswanya terdidik.

Dari kepala yang melenting ke depan karena mengantuk, mereka yang melewati fase hidup di UGM belajar menghargai dosen sepuh (tua – red) yang ilmunya layak membuat kita merunduk. Buku perpustakaan dengan halamannya kuning juga menyimpan filosofi yang kaya. Ternyata lamanya sesuatu tidak membuat mereka kehilangan nilainya.

Filosofi macam ini akan terbawa dalam sikapnya soal hati. Dia tak akan mudah pergi hanya karena hubungan tidak penuh kejutan lagi. Seperti wine yang sudah disimpan lama, semakin tua malah semakin kuat rasanya. Orangtua mana yang tidak bahagia melihat anaknya jatuh cinta berulang kali pada orang yang sama?

Jelas, calon menantu yang baik bisa datang dari universitas mana saja. Tapi kalau ditanya calon menantu terbaik yang Ibumu bisa punya — rasanya UGM yang jadi jawabannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat puisi dan penggemar bakwan kawi yang rasanya cuma kanji.

CLOSE