Friends with Benedikta [4] – Keep it banter! Don’t baper!

Friends with Benedikta Aya Widjaja

Demi nama baik saat nobar bareng gebetan, Prinsa bertekad untuk belajar soal sepak bola. Setidaknya biar nggak ngeluarin statement memalukan yang bikin namanya viral seperti tempo hari. Pertanyaannya, siapakah orang bernasib sial yang harus repot mengajari Prinsa?
***

Aku menyeringai lebar-lebar waktu pintu yang aku ketuk akhirnya terbuka. Lakes berdiri di balik pintu dengan muka kucel kayak bangun tidur padahal ini sudah pukul sepuluh.

“Nyasar nggak?” tanyanya sambil bergeser supaya aku bisa masuk.

“Nggak. Nomor rumahnya jelas, berurutan, nggak kayak kompleks rumah gue.”

Yups. Aku main ke rumah Lakes di daerah Tebet. Gara-garanya, aku jadi sok sibuk semenjak Taksa mengajakku nobar malam minggu nanti. Sibuknya ngalah-ngalahin pas ngerjain skripsi. Gimana nggak sibuk? Dalam rangka nggak mau mengulang kebodohan yang sama pas nobar nanti, aku belajar mati-matian soal bola. Mungkin karena ngenes melihat kondisiku, Lakes akhirnya menawari belajar kelompok—rasa anak SD.

“Kes, lo ‘kan, nggak suka bola. Lo beneran bisa ngajarin atau mau modusin doang, biar gue mau ke rumah lo yang gede dan sepi ini?” Aku melangkah masuk mengikuti Lakes. Tengak-tengok kayak orang bego. Melongo melihat rumahnya yang besar dan sepi.

“Kenapa?” Dia memutar badannya menghadapku. Kedua tangannya tersimpan di saku celana training yang kayaknya dia pakai tidur.

“Kita berdua saja?” tanyaku hati-hati. Jujur sih, serem juga cuma berdua di rumah cowok yang belum lama aku kenal. Lakes asyik, dia juga baik. Tapi siapa tahu, ‘kan?

“Jam segini, nyokap bokap lagi kerja. Adek gue kuliah.”

Aku mengedarkan mata, mencari celah di mana bisa kabur kalau terjadi sesuatu yang diinginkan—maaf, ‘tidak’-nya ketinggalan. Lakes tertawa setelah menatap tampangku. Kayaknya muka takutku kelihatan banget. Lakes puas banget ketawanya.

“ID Twitter FWB, tapi di rumah berduaan aja lo takut,” ledeknya sambil senyum sinis.

Aku meringis.

“Ada ART di belakang. Kalau gue macam-macam, lo tinggal teriak atau lari. Gue nggak bakal bisa ngejar.”

Lakes kalau sinis begitu malah jadi kelihatan manis kenapa, sih?

“Gue payah urusan lari,” akuku. “Kalau pelajaran olahraga, gue cari alasan kabur. Makanya bego soal olahraga, apalagi bola.”

“Nggak lebih payah dari gue, ‘kan?”

Waktu Lakes menggiringku ke ruang tengah, aku baru sadar cara berjalan Lakes agak terpincang. Sebetulnya nggak terlalu kentara, tapi karena dia mention soal lari tadi, aku jadi memperhatikan. Duh, ke mana saja selama ini sampai aku nggak sadar? Tanganku menepuk kepala. Ya ngapain memperhatikan cara berjalan kalau muka dia lebih enak dipandang. Buset, filter mulut gue ketinggalan di rumah.

Prinsa baru menyadari kondisi kaki Lakes | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com

“Kaki lo kenapa, Kes?” Lalu aku ingat Lakes tidak begitu suka ditanya hal-hal yang pribadi, jadi aku menambahkan, “kalau gue boleh tahu aja sih. Nggak juga nggak apa-apa. Gue mandang teman dari hatinya, bukan kakinya.”

“Kecelakaan mobil.”

Singkat dan padat. Mayan daripada nggak jawab sama sekali.

oOo

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Bagi Aya Widjaja, menulis novel lebih menyenangkan daripada menulis profilnya sendiri. Aya telah menulis enam novel (Starstruck Syndrome, Failure Tale, Editor’s Block, Monster Minister, Hellove & Alegori Valerie). Karyanya yang lain bisa dikepoin di IG @ayawidjaja

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi