Doni melihat dirinya sebagai manusia babi | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Ada apa, Mas?” Risa yang berada di ruang depan bersama Rini sekarang berada di dekatku.
Aku spontan menoleh ke arah Risa. “Eng-engak,” jawabku yang masih tegang. “Saya nggak apa-apa. Tadi kaget megang kecoak.”
Risa terkekeh, lalu kembali menemani Rini.
Dengan gerakan perlahan aku kembali melihat ke cermin lemari baju. Kali ini aku mendapati diriku yang sebenarnya. Aku mengembuskan napas lega, meski kedalaman dada meyakini kejadian barusan adalah sebuah pertanda. Entah apa.
***
Setelah menemui Anwar, aku diajaknya ke rumah seorang guru bernama Mbah Murwo. Kediaman Mbah Murwo berada di sisi jalan raya. Anwar memawanti-wanti, jangan pernah mengucapkan salam kepada Mbah Murwo. Aku menurut saja dan berharap nanti tidak akan lupa.
Aku sungguh tidak menyangka kalau kediaman Mbah Murwo terbilang mewah. Rumah besar dengan pilar-pilar tinggi menjulang itu terlihat kuat dan bagus. Pintu utamanya besar dan tinggi, serta pasti terbuat dari kayu terbaik. Kaca-kaca bagian depan rumah juga besar dan mengilap.
Aku dan Anwar melangkah di halaman depan rumah menuju gazebo di sisi kiri, di mana bagian ini adalah taman yang cukup asri karena terlihat sangat terawat. Aku masih terkagum-kagum dengan rumah Sang Dukun.
“Jangan heran, Don. Dukun yang bisa memberikan kekayaan haruslah yang kaya. Jangan pernah minta dibimbing menjadi orang kaya sama dukun miskin yang bahkan rumahnya saja gubuk,” jelas Anwar disudahi dengan terkekeh.
Setelah bersalaman dan berkenalan, aku dan Anwar dipersilakan Mbah Murwo duduk di dalam gazebo. Kami disediakan kopi dan kudapan manis. Seusai berbasa-basi, Mbah Murwo langsung ke topik pembicaraan.
“Kalau memang kamu mau menjalani Pesugihan Babi Ngepet, itu artinya kamu nggak boleh lagi beribadah dan menyebut nama Tuhan dalam bentuk apa pun. Mengerti?” Mbah Murwo melihatku dengan mata tuanya yang begitu tajam. Wajahnya yang tampak keras itu dengan pakaian serbahitam menambah kesan angker pada dirinya.
“Baik, Mbah.” Aku mengangguk.
“Sebelum melakukan perjalanan gaib menuju Gua Celeng Ireng, kamu harus melalukan Ritual Nyuwun Pesugihan Celeng Kresek,” kata Mbah Murwo lagi dengan suaranya yang serak.
“Ritual apa itu, Mbah?” Aku penasaran.
“Itu cara meminta izin untuk menjadi babi ngepet. Nanti kamu harus menyediakan ayam cemani, kembang tujuh rupa, kemenyan, dan lain-lain sebagai persembahan untuk Setan Celeng Ireng.” Mbah Murwo diam sejenak untuk menyulut rokok.
“Tenang saja, Don, nanti untuk membeli semua perlengkapan ritual akan saya biayai.” Anwar menepuk pundakku sambil tersenyum menenangkan.
Doni harus mempersiapkan persembahan | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Aku hanya mengangguk menanggapi Anwar.
“Setelah itu, kamu akan siap dilepas,” tandas Mbah Murwo.
“Dilepas?” Aku mengerutkan dahi.
“Itu artinya kamu sudah siap melakukan perjalanan gaib.”
“Saya nggak paham perjalanan gaib yang dimaksud seperti apa, Mbah.”
“Kamu akan pergi ke dalam hutan untuk masuk ke Gua Celeng Ireng. Kamu ikuti saja kata hatimu mengarah ke mana. Akan ada sesuatu yang menuntunmu secara gaib. Selama perjalanan itu, kamu enggak akan merasa capek, lapar, atau haus. Yang perlu kamu ingat, jangan pernah beribadah dan tinggalkan semua ucapan kebaikan atau nama Tuhan. Paham?” Mbah Murwo manatapku makin tajam dengan air muka yang lebih serius.
Aku menelan ludah dengan gelisah. Tak terbayangkan bagaimana nanti melakukan perjalanan gaib itu. “Paham, Mbah,” sahutku kemudian.
“Nanti, setelah kamu ketemu sama lelaki tua di sana, ikuti saja semua perintahnya. Setelah itu, kamu akan kembali ke rumah dengan selamat. Mengerti?”
“Iya, Mbah.”
“Mulai dari sekarang, kamu pikirkan lebon untuk kamu beri tahu sama lelaki tua penunggu Gua Celeng Ireng itu. Katakan padanya nama lengkap, tanggal lahir, serta hubunganmu dengan lebon itu apa.”
“Lebon itu apa, Mbah?”
“Tumbal,” tegas Mbah Murwo. “Harus anak yang belum akil balig.”
Aku menoleh menatap Anwar. Aku meminta penjelasan mengenai tumbal yang sebelumnya tak pernah dia sampaikan.
“Anak saya mati memang karena sakit, Don, itu dari sisi medis. Sebenarnya, dia sudah saya jadikan tumbal,” terang Anwar dengan tenang. Aku sama sekali tidak melihatnya menyesal. Gila! Ataukah, setelah mendapatkan kekayaan dia telah membunuh penyesalannya itu?
Aku mengusap wajah dengan batin semakin resah. Barangkali mukaku sudah pucat. Aku lantas teringat pada mimpi saat aku membangungkan Risa untuk bekerja sama melakukan Pesugihan Babi Ngepet. Aku tidak mendapati Rini di tempat tidur. Ketiadaan Rini di dalam mimpiku pastilah anakku sudah mati karena aku jadikan tumbal.
“Awalnya memang sedih, bahkan saya merasa hampir gila, Don,” kata Anwar lagi, “Tapi setelah saya mendapatkan banyak uang, segalanya bisa berubah. Luka hati saya terobati. Lagian, saya dan istri bisa bikin anak lagi.” Dia terkekeh pelan.
Mbah Murwo tertawa keras.
Aku terdiam.
“Kalau kamu takut sama Risa, nggak perlu kamu kasih tahu bahwa pesugihan ini mengharuskanmu menyerahkan tumbal. Biarkan Risa cuma tahu anakmu nanti mati karena sakit atau kecelakaan,” kata Anwar lagi menambahkan.
Aku semakin bungkam.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: Nyuwun Pesugihan – Chapter 4