Sagara menelepon di waktu yang tepat | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Panjang umur nih orang,” gumamnya karena dirinya ingat baru saja memikirkan Sagara.
“Sagara,” sapa Sara begitu panggilan Sagara dijawab. “Lo salah pencet?” tebaknya.
“Besok sabtu gue kosong seharian. Mau gue jemput jam berapa?”
“HA?” Seketika Sara mengangah. Seingatnya, setelah kekacauan yang mereka lakukan, keduanya tidak lagi berhubungan. Dan tahu-tahu saja Sagara mau menjemputnya besok.
“Wait, wait, kenapa lo jemput gue besok?” Tiba-tiba ada kepanikan dalam diri Sara. “Nyokap lo nggak jadi ilfeel sama gue atau tiba-tiba bonyok (read: bokap-nyokap) kita mau lanjutin perjodohan, Sag?”
Terdengar dengkusan geli di ujung sana. Tak lama suara tawa terdengar, dan Sara baru menyadari betapa renyah cara Sagara tertawa.
“Pikiran lo terlalu jauh, Sara,” balas Sagara. Pria itu berdeham beberapa kali, kemudian berbicara setelah selesai terbahak. “Barusan gue lihat Story yang lo buat, cari teman nonton Spiderman akhir pekan ini, kan?”
“Iya–”
“Nah, kebetulan gue available akhir pekan ini dan kebetulan gue pengen nonton Spiderman juga. Karena kita berdua sama-sama malas nonton sendiri, jadi kenapa nggak nonton bareng aja? Besok lo bisa jam berapa, nanti gue jemput. Tertarik gue temenin?”
Sara tak langsung menjawab. Ia merasa cukup ragu karena history hubungan mereka, takut canggung juga karena mendadak berteman setelah perjodohan dibatalkan.
Lama sekali wanita itu termenung, suara Sagara kembali terdengar. “Sar, panggilan nggak keputus, kan? Lo mau nggak pergi sama gue? Kalau iya, kasih jam kita berangkat biar gue pesankan tiket.”
“Ditraktir nggak?” tanya Sara asal.
Lagi dan lagi Sagara tergelak, membuat Sara cemberut. Wanita itu tidak minta ditraktir, hanya ingin tahu saja bagaimana mantan calon suaminya itu memperlakukannya besok. Dan jawaban apa pun yang Sagara berikan, bisa jadi pertimbangannya untuk pergi.
“Besok semua gue yang bayarin, Sar. Anggap aja gue yang ngajak lo nonton besok, jadi gue merasa bertanggung jawab menjaga dan memastikan lo kenyang dari berangkat sampai pulang ke rumah.”
“DEAL!”
Jawaban itu langsung meluncur begitu saja dari mulut Sara. Dia cukup salut dengan jawaban Sagara yang sesuai dengan pemikirannya terhadap bagaimana prianya harus memperlakukan Sara, jika pria tersebut mengajaknya keluar rumah.
Hingga Sara tersentak. Kemudian, buru-buru menggeleng. Memarahinya dirinya sendiri karena tanpa sadar menyebut Sagara sebagai prianya. Pasti otaknya sedang eror.
***
Sara dan Sagara keluar ruang bioskop paling terakhir. Tidak ada yang bicara, tapi keduanya memasang ekspresi takjub yang sama. Seolah-olah apa yang ditonton adalah salah satu karya masterpiece yang pernah ada.
“KEREN!”
Tiba-tiba mereka berbicara berbarengan. Sara menoleh, begitu pula Sagara. Keduanya bertatapan beberapa detik, sebelum akhirnya tawa mereka pecah. Sama sekali tidak peduli bahwa kini mereka jadi pusat perhatian, mengingat keduanya tertawa terbahak-bahak di tengah-tengah kerumunan orang yang sedang menunggu antrean ruang bioskop.
Sagara yang berhasil mengendalikan diri lebih dulu, langsung menarik lengan Sara. Digiringnya wanita itu menuju tempat yang lebih sepi. Dia bertanya, “Lo lapar nggak, Sar? Tadi kita belum sempat makan siang.”
Belum sempat menjawab, terdengar suara keroncongan keras dari Sara. Wanita itu meringis. “Sori,” gumamnya. “Jadi malu karena ketahuan laper. Ternyata popcorn sama minuman selama nonton nggak cukup bikin gue kenyang, Sag.”
“Sama.” Sagara menyeringai. “Lo mau makan di mana?”
Mereka kompak terdiam. Lalu, bersahutan bersamaan. “CHOCOFFEE!”
“What?” Sara menarik lengan Sagara agar mereka berdiri berhadapan. Matanya melebar sambil memasang ekspresi tidak yakin. “Serius lo tahu Chocoffee? Itu kafe anak muda dan gaul, Sag.”
“Sara, kita seumuran loh,” balas Sagara. Pria itu mendengkus geli. “Gue emang keliatan kaku dan selalu sibuk kerja, bukan berarti gue nggak punya waktu untuk bersenang-senang. Well, Chocoffee salah satu kafe langganan gue dan teman-teman sejak SMA sampai sekarang. Suasana, makanan, dan pelayanannya juga oke. Harga ramah kantong, tapi nggak murahan. Beberapa cabangnya emang rame, tapi beberapa lainnya enggak terlalu dan disesuaikan dengan sekitar. Terpenting, Latte-nya enak banget.”
Sara mengangah. Tanpa sadar dia memukul lengan Sagara. “Lo suka Latte mereka? Sag, gue juga! Kok gue baru sadar kita banyak kesamaan sih?”
“Baru masalah film, kafe, dan minuman aja, Sar, belum bisa dinamakan punya banyak kesamaan,” gumam Sagara. Dengan pelan pria itu menarik lengan Sara, lalu menggiring wanita itu keluar area bioskop. Mereka siap mengarungi kota demi menuju ke kafe langganan mereka. “Buat mengetahui apakah dua orang itu banyak kesamaan atau tidak, mereka perlu banyak waktu bersama dan saling mempelajari satu sama lain. Benar-benar punya banyak kesamaan atau hanya malah sebaliknya.”
Lama sekali mereka terdiam, bahkan setelah keduanya berada di mobil sampai akhirnya Sara kembali bersuara. “Sag, gimana kalau kita cek dengan cepat aja, apakah kita punya kesamaan lain? Lumayan buat menghabiskan waktu selama jalan ke Chocoffee.”
Mata Sagara menyipit sambil melirik Sara di sebelahnya. “Caranya?”
“Nanti gue kasih pertanyaan terus gue hitung sampai tiga, baru kita jawab bareng-bareng. Oke?”
Begitu mendapati anggukan kepala Sagara, Sara langsung girang. Otaknya dengan cepat mencari pertanyaan yang cocok. Kemudian, memulai permainan.
“Makanan kesukaan di Chocoffee. Satu, dua, tiga!”
“Fettucini Carbonara,” jawab mereka berbarengan.
Sara menepuk lengan Sagara. Badan wanita itu bergoyang seolah jawaban mereka adalah sesuatu yang menarik. Kemudian, Sara kembali bertanya, “Sekarang, apa kue yang sering dipesan di Chocoffee. Satu, dua, tiga!”
“Tiramisu.”
Dan jawaban yang sama sukses membuat keduanya tergelak. Benar-benar tidak menyangka mereka memiliki jawaban yang sama berulang kali. Tidak terima karena kesamaan-kesamaan jawaban itu, Sara terus berusaha melemparkan pertanyaan. Sayangnya, keduanya selalu menjawab hal yang sama.
Obrolan di mobil berjalan renyah | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Sag, jangan ikut-ikut mulu jawabannya,” omel Sara. Bibirnya mengerucut, tapi ada geli yang terselip dalam sorot matanya. “Terakhir nih terakhir, semoga beda. Setelah tadi kita nonton film superhero, siapa jagoan favorit lo dalam geng mereka? Satu, dua, tiga.”
“Iron Man.”
“Spiderman!”
“BEDA!” teriak Sara girang. Dia merasa bangga luar biasa karena akhirnya ada satu jawaban yang berbeda. Berbeda dengan Sagara yang hanya geleng-geleng kepala melihat reaksi mantan calon istrinya itu.
Untungnya saat sampai di Chocoffee, tempat itu tidak terlalu ramai. Keduanya jadi bisa memilih duduk tepat di sebelah jendela. Mereka terus mengobrol sampai tahu-tahu saja makanan di piring keduanya tandas, tersisa minuman kesukaan mereka.
“Sar,” panggil Sagara. “Harusnya kita nggak usah batalin perjodohan itu kali, ya?”
“Sagara, hanya karena banyak hal yang sama di antara kita, bukan berarti itu modal yang bagus dalam pernikahan.” Sara mencondongkan badannya. Memamerkan senyum mengejek. “Karena setahu gue, semakin banyak kesamaan lo sama pasangan, maka semakin kecil jodoh di antara kalian. Cepet bosan karena dua-duanya punya ritme yang sama.”
“Kata siapa?” Sagara ikut mencondongkan badannya. Membuat wajah mereka cukup dekat. Pria itu menyunggingkan senyum miring. “Justru kalau punya banyak kesamaan, pasangan itu jadi memiliki obrolan yang nyambung. Belum lagi kalau punya hobi yang sama, bisa sering-sering melakukan hobi bareng-bareng. Makin sering bersama, makin terikat pula satu sama lain. Kalau bosan, ya tinggal cari hobi baru dan pastinya pasangan itu lebih mudah mencocokan hal baru bersama.”
Seketika Sara meringis. Jawaban Sagara seperti menampar dirinya keras. Namun, saat ini, hubungan kasual seperti inilah yang wanita itu inginkan.
“Masalah perjodohan sebelumnya, kita lupakan dulu ya, Sag. Gue merasa lebih nyaman semuanya berawal dari pertemanan. Masalah cocok atau enggak, kita lihat ke depannya gimana?”
“Friend?” Sagara menyodorkan tangannya pada Sara.
Wanita itu dengan senyum lebar membalas jabat tangan Sagara. “Friend.”
Lagi dan lagi, bahkan mungkin tidak ada henti-hentinya mereka tertawa sepanjang hari itu. Siapa sangka dari dijodohkan, kemudian drama pembatalan perjodohan, sekarang mereka malah berteman. Ternyata alur kehidupan lucu sekali, sulit ditebak dan penuh kejutan.
Bersambung
Baca bab selanjutnya: Perfectly (Un)Matched [4] – The Plot Twist