Rasanya Jadi Anak Muhammadiyah di Kampung yang Mayoritas NU. Ada yang Pernah Ngerasain?

Rasanya jadi orang Muhammadiyah

Indonesia memiliki dua ormas Islam besar yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Sama-sama Islam, keduanya memiliki sedikit perbedaan dalam tata cara peribadatan. Dan kebetulan saya dibesarkan dalam keluarga yang mayoritas merupakan pengikut Muhammadiyah.

Advertisement

Sebagai penganut Muhammadiyah, saya cukup beruntung tumbuh di lingkungan yang mayoritas NU, sebab dari sanalah saya merasakan yang namanya jadi minoritas. Saat kecil, saya banyak mengalami kejadian unik yang belum tentu pernah kamu temui dalam hidup. Beginilah rasanya jadi penganut Muhammadiyah di kampung yang mayoritas NU. Cekidot!

Saat kecil, saya dan kakak sering banget menertawakan satu sama lain kalau kelupaan ada prosesi kunut saat salat Subuh. Udah langsung sujud aja 😀

Lupa kunut~ via www.kaskus.co.id

Musala di kampung saya berada di seberang rumah persis. Saat subuhan, sering kali saya kelupaan kalau musala saya pakai kunut. Saya sering kelewatan langsung sujud setelah rukuk rakaat kedua sebelum akhirnya berdiri lagi. Namanya bocah, salah bukannya istigfar malah cengengesan.

Nggak pernah diajarkan yasinan, tapi gara-gara temen yang ngajak, jadi ikutan. Lumayan dapet jajanan :))

Setiap malam jumat, warga kampung saya berkumpul di salah satu rumah untuk baca yasin. Saya selalu diajak oleh teman, padahal orang tua saya nggak pernah ikutan. Karena rame, saya ngikut aja, toh seru juga pulangnya bisa dapat jajan. Beruntung, orang tua saya cukup toleran, nggak pernah melarang saya melakukan sesuatu di luar kebiasaan Muhammadiyah. 😀

Advertisement

Saya sering pisah dengan keluarga kalau salat Tarawih. Mereka salat di masjid Muhammadiyah, saya ngikut temen-temen

Nggak dibolehin bukan karena beda, tapi karena sering bercanda. via www.kompasiana.com

Perbedaan Muhammadiyah dan NU juga ada pada tata cara salat Tarawih. Muhammadiyah 11 rakaat (4-4-3), sementara NU 23 (10 kali 2 rakaat, dilanjut 2+1 rakaat). Dulu saya sering dimarahi karena misah salat sama orang tua. Mereka mencari masjid yang 11 rakaat, sementara saya salat di musala depan rumah yang 23 rakaat.

Sebenarnya nggak apa-apa sih salat di sana, cuma ibu saya tahu kalau di musala saya sering bercanda karena salatnya cepet banget. 😀

Enaknya jadi orang Muhammadiyah itu saya udah tahu kapan lebaran, nggak kayak teman-teman saya yang nunggu sidang isbat

Enaknya jadi orang Muhammadiyah itu puasa dan lebaran jelas. Teman-teman saya dulu kalau nongkrong menjelang puasa atau lebaran sering bingung kapan mulai dan berhentinya puasa. Mereka mesti nunggu sidang isbat. Sementara saya sudah tahu duluan karena pakai cara perhitungan ala Muhammadiyah~

Advertisement

Nggak enaknya, kadang saya jadi lebaran duluan. Suasananya nggak begitu ‘ngena’ kalau nggak bareng

Hype lebarannya agak kurang. via www.gomuslim.co.id

Sering banget saya sekeluarga lebaran duluan dibanding teman-teman saya. Saat yang lain masih puasa, saya sudah salat Id. Besoknya, saat yang lain salat id, saya nungguin di rumah buat ikut keliling. Rasanya beda aja gitu. Kurang dapet lebarannya kalau nggak barengan.

Itulah beberapa pengalaman saya menjadi bocah Muhammadiyah di kampung NU. Dari sana saya belajar banyak hal, terutama soal perbedaan dan toleransi. Bahwa menjadi berbeda itu wajar, yang penting saling menghormati dan nggak saling merasa paling benar. Pedoman itu yang juga saya pegang ketika jadi mayoritas di antara teman kantor saya yang nonmuslim.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Fiksionis senin-kamis. Pembaca di kamar mandi.

Editor

Senois.

CLOSE