![]()
Gendhis dan Ghandi duduk bersebelahan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Aku mengangkat bahu dan tersenyum ragu-ragu. Aku masih Gendhis yang dibicarakan olehnya. Aku masih malas memulai obrolan sama orang, apalagi orang asing. Kalau dilihat dari cara aku mengelompokkan orang, Ghandi masuk ke bagian orang asing, tetapi khusus hari ini—aku bersyukur dia menemukanku dan memutuskan menyapa.
“So, ini bener-bener first flight international lo?”
Aku mengangguk. “Perdana gue pakai paspor setelah dua tahun cuma jadi barang nggak guna di laci.”
“Terus, lo ada bayangan mau ke mana aja di Malaysia?”
Aku menggeleng. Tiga hari lalu aku melihat-melihat tiket di aplikasi pemesanan tiket, menemukan ada diskon penerbangan dan hotel, dan langsung memesan tanpa pikir panjang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di sana, tidak ada bayangan bakal berada di tempat seperti apa, mungkin ujung-ujungnya aku bakal mendekam di hotel dan keluar membeli makan saja.
Setelah cukup lama menatapku dengan ekspresi tidak percaya, Ghandi berkata, “Bukannya pergi jauh buat pertama kali tanpa persiapan agak menyeramkan ya, Dhis?”
“Gue ….”
Apa yang bisa aku katakan tanpa terdengar menyedihkan dan putus asa? Tidak ada. Karena semuanya selalu berkaitan dengan Elvan. Aku selalu pergi jauh bersamanya. Dan setiap detail mulai dari tiket, hotel, mau pergi ke mana, mau melakukan aktivitas apa, semua Elvan Bachtiar yang mengatur. Pernah beberapa kali aku coba meyakinkan dia, bahwa aku bisa melakukan persis seperti yang dia lakukan. Tahu apa jawaban dia? Kamu duduk manis, terima beres. Elegy, salah satu dari si kembar menganggap itu manis, pada awalnya aku juga menganggap begitu. Namun, semakin bertambah umur hubungan kami, aku gagal mencegah kemunculan pertanyaan besar dalam diriku; dia ini tidak mau aku repot, atau memang tidak mau percaya sama aku?
Ghandi tiba-tiba melanjutkan pertanyaan, dan aku sangat berterima kasih karena topiknya berganti cepat. “By the way, lo nginep di mana?”
Karena tidak menghafal nama hotel, aku buru-buru merogoh tas dan mengambil ponsel android yang kubeli khusus untuk menggantikan ponsel asli yang kumatikan total. Meski dalam mode airplane, nama hotel sudah aku screenshot dan masuk ke gallery.
“Lo juga nggak ingat mau tidur di mana malam ini?”
Perutku menegang. Aku benar-benar terlihat kacau, tidak tertolong, tetapi aku menggeleng. Lalu membacakan nama hotel, “Maison Boutique.”
“Wah, lo—eh?” Ketika aku menengadah, Ghandi sedang menaikkan satu alis. Sepersekian detik kami hanya saling tatap, sampai dia tertawa kecil dengan nada rendah. “Kayaknya gue emang dikirim Tuhan buat jagain lo, deh.” Ini sinting, tetapi kalimat yang kutahu tidak memiliki makna khusus—membuatku beringsut gelisah sekaligus hangat. “Gue juga nginep di hotel itu.”
Seperti khawatir aku menganggapnya membual, Ghandi meraih ponsel miliknya, lalu kembali menatapku sembari menunjukkan bukti pemesanan kamar dari hotel yang sama denganku.
“Gini aja,” ucapnya sembari menaruh ponsel di kursi kosong antara kami. “Apa yang lo bayangin di liburan perdana ke luar negeri ini? Tempat wisata. Makanan. Apa aja. Gue temenin. Kebetulan gue udah lumayan sering ke Malay, dan kali ini pure mau refreshing bukan kerja. Waktu gue super duper bebas. Bisalah jadi tour guide ala-ala buat lo.”
Wow. Tebakanku benar. Sejak dia pindah duduk ke sini, aku sudah memikirkan kemungkinan dia bakal memberikan ide jalan bareng-bareng. Tidak bisa kumungkiri, itu menarik. Namun, aku tidak mau langsung mengiakan.
“Bayarannya?”
Ghandi menggeleng.
Apa dia bercanda? “Harus bayar. Gue nggak mau ngerepotin lo, terus nggak kasih efforts apa-apa.”
“Kita tuh simbiosis mutualisme. Lo menyelamatkan gue dari kesepian, dan gue bisa memastikan lo liburan aman.”
“Gue traktir lo makan.” Aku mengajukan ide yang kurasa tidak bakal merugikan siapa pun di antara kami. Dia meluangkan waktu, aku mengeluarkan sedikit ringgit untuk mengisi perut. Adil.
“Sekali aja cukup.” Meski terlihat setengah hati, Ghandi memahami menerima permintaanku satu-satunya cara agar idenya berjalan. Sepasang mata kelabu Ghandi melirik ke samping sementara satu jemarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel. Aku merasa masih ada yang ingin dia sampaikan jadi memilih diam dan menunggu. Kemudian, dia berkata sembari menunduk, “Lain kali kalau mau pergi sendirian ke luar negeri, seenggaknya lo udah punya list bepergian. Cari tahu tempatnya seperti apa, aman atau nggak. Apalagi lo sendirian.”
Bahkan Elvan tidak pernah merangkai kalimat kekhawatiran yang tenang dan lembut sejenis itu.
“Ndis, sori, gue bukan bermaksud sok ngajarin, tapi—”
“Gue bakal ingat pesan lo,” potongku, seraya tersenyum tipis—berupaya menunjukkan aku sama sekali tidak merasa terganggu dengan nasihatnya. “Semoga kalau besok-besok gue patah hati lagi, gue bisa lebih prepare.”
Aku menarik napas lalu meluruskan duduk seperti seharusnya. Rasa iba menguar dari badan tegap dan berotot Ghandi, sampai-sampai aku mengutuki diri sendiri. Aku memilih terbang jauh supaya terhindar dari tetek bengek macam begini, eh, malah aku menjeburkan diri dengan sengaja—di depan orang yang belum aku kenal-kenal amat lagi.
“Nanti kita ke hotel bareng aja.” Aku menoleh, dan Ghandi masih di posisi awal. “Sebelum ke sana, kita bisa ke Alor Night Market, makan malam di sana. Jaraknya nggak jauh dari hotel, kok.”
Aku menggangguk.
“Let’s have fun,” katanya lagi, sebelum ikut meluruskan duduk dan memasang earphone.
![]()
Penerbangan ke Malaysia bersama Ghandi | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
***
20.15 PM
Setelah melewati beberapa makanan yang berbaris di kanan-kiri, aku dan Ghandi sepakat memilih makanan paling aman. Chinesse food. Dan yang membuatku lebih yakin mengiakan, kondisi rumah makan ini cukup tepercaya. Kursi di bagian dalam dua ruko gandeng terisi, begitu pun bagian luar; di depan-belakang kami ada turis yang makan dengan lahap. Karena aku tidak punya bayangan night market di luar negeri seperti apa. Kemeriahan lampu-lampu gantung, orang-orang yang berusaha menarik pembeli dengan teriakan selamat datang, turis-turis dari berbagai negara, lagu yang dipasang dari satu toko dan toko lain berbeda jenis tetapi berdekatan—menghasilkan suara tumpang-tindih, cukup menarik untuk diamati selagi menunggu makanan siap.
“Kalau hari Jumat, Sabtu, Minggu, padet banget.” Posisi kembali seperti di awal. Sejak kami turun dari pesawat, Ghandi yang memulai obrolan.
Dan tentu saja, bagian tidak ramah diriku sudah 100% pulih. Yang namanya tempat wisata kalau weekend pasti ramai, sahutku dalam hati. Lalu, mengeluarkan jawaban yang singkat dan sopan, “Oh.”
Lagi-lagi, Ghandi seperti memahami kalau keheningan masih jadi kawan paling menyenangkan buatku. Jadi, dia tersenyum dan mengunci bibir rapat-rapat, mulai terlihat sibuk sama ponsel. Sementara aku, gagal meneruskan niat mengamati sekitar. Mataku terkunci pada tato yang menghiasi tangan kanan Ghandi. Sedari di Jakarta keseluruhan badan Ghandi tertutup oleh hoodie, dan benda itu baru dibuka saat kami turun dan ditinggalkan di mobil sewaan. Kalau aku tidak salah tebak, yang melewati keliman lengan pendek kaus dark army-nya dan melingkar sampai ke pergelangan tangan adalah bagian ekor dari—
“Naga.” Alih-alih suaraku yang menggema dalam benak, justru suara berat Ghandi yang menyelinap masuk ke telingaku—yang entah bagaimana—cukup memberikan sensasi ganjil—ah, sudalah.
Aku lapar, sampai berpikir yang aneh-aneh.
“Lo punya keahlian baca pikiran, atau—”
“Atau lo ngelihatinnya terlalu serius, sampai gue mikir kalau gue nggak kasih tahu lo bakal ambil kaca pembesar.”
Kami sama-sama tertawa. Aku tertawa malu karena sekali lagi bersikap konyol, sementara dia—entahlah. Aku tidak merasa itu sebuah ejekan, tetapi juga tidak berpikir tawanya adalah hal baik.
Lalu, kondisi kembali hening.
Aku berusaha menjadikan ini lebih mudah mengingat kami sepakat mau jalan-jalan bersama. Sayangnya, sebagian besar diriku tidak tahu harus berkata apa. Tidak ada kenangan istimewa yang bisa kubahas selama kami satu kelas, tiga tahun berturut-turut kecuali namaku selalu di atasnya.
“Ndhis ….”
“Ya?” Diam-diam aku menghela napas lega. Setidaknya kadar kecanggungan berkurang sedikit.
“Kayaknya kita perlu tukeran WhatsApp. Biar bisa saling berkabar besok.”
Keningku mengerut lalu menggeleng sangat cepat. “Nanti kita check in bareng, bisa tahu nomor kamar masing-masing. Gue hubungin lo lewat telepon kamar aja.” Ghandi mendelik ke arahku. “Bukan gue nggak mau kasih nomor, tapi—” Aku menarik napas tajam. “Gue juga matiin nomor asli gue. Handphone yang tadi dimasukin sim card masih kosong. Nanti di hotel gue download terus daftar pakai nomor ini. Besok gue kasih lo.”
Setelah jawaban panjang lebar dariku, keheningan yang canggung bertambah pekat. Kalau makanan tidak datang juga, mungkin aku bakal mematikan situasi tidak nyaman ini dengan berjalan-jalan mengunjungi penjual minuman atau cemilan unik. Namun, di saat kami mulai sibuk sama makanan,kerikil kecil tiba-tiba muncul dalam hatiku, mengganggu kenikmatan makanan sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sejenak.
![]()
Makan bersama pertama di Malaysia | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Gue putus dari hubungan yang berjalan cukup lama. Empat tahun,” kataku seraya mempertahankan mata tetap menempel di piring bulat merah. “Dan masing-masing keluarga udah kenal, jadi—lo paham ‘kan?”
“Lebih banyak orang yang berkomentar,” sahut Ghandi, tetapi aku masih belum berani mengangkat wajah. “Tapi tetap aja ini bahaya.”
Seketika rasa tidak nyaman menghilang, dan aku mempertemukan pandangan kami. Sesuatu membanjiri mata Ghandi.
“Gue yakin lo punya satu orang yang bisa dipercaya, orang yang nggak banyak tanya dan mempercayakan keputusan di lo karena berpikir; mungkin, ini cara Gendhis bahagia.” Untuk kali pertama, aku melihat Ghandi memaksakan seulas senyum. “Lain kali pastiin orang itu tahu lo ada di mana.”
Aku membuang pandanganku sebentar ke sembarang arah. Saat aku kembali memandang Ghandi, dia sudah sibuk melahap nasi goreng ala Hong Kong.
“Honestly, gue bersyukur banget bisa ketemu lo, Ghandi.”
-Bersambung-
Baba bab selanjutnya: Searching for Someday #4 – Drowning
