Searching for Someday #3 – Chances

Searching for Someday Flara Deviana

Pertemuan di bandara berlanjut lebih lama dari perkiraan. Ternyata Gendhis dan Ghandi menuju negara yang sama. Akankah Gendhis mau keluar dari zona nyamannya, dan mengubah liburan sendiri menjadi bersama?
***

8 JULI 2018
15.50 P.M

PENERBANGAN DI HARI biasa menyisakan banyak kursi kosong, termasuk dua kursi di sampingku. Ya, setidaknya kosong selama lima belas menit awal. Karena pada menit selanjutnya, Ghandi mengisi kursi di dekat jalan—menyisakan kursi tengah, lalu berkata, “Pramugarinya udah bolehin, kok.”

Aku tidak punya alasan menolak idenya. Toh, aku memang perlu seseorang buat pengalihan dari rasa takut pada ketinggian ini. Biasanya selalu ada Elvan. Tanpa kalimat-kalimat Elvan; “Aku capek kalau harus berjam-jam di kereta. Jakarta-Surabaya jauh.” “Mau sampai kapan takut terus? Kalau aku mau pergi ke luar negeri, kamu milih buat ditinggal gitu?” Aku yang sangat menyukai jalur darat tidak mungkin memilih pesawat.

“Ini pertama kali gue ke luar negeri,” kataku setelah lima menit berlalu, dan Ghandi belum membuka obrolan.

Seketika dia menoleh dan terdiam. Seakan-akan sedang menunggu, siapa tahu ada yang kurang dari kalimatku.

“Nggak ada yang salah dari omongan gue. Selama gue hidup. Ini kali pertama gue terbang ninggalin Indonesia.” Aku sengaja menaikkan tangan kursi, duduk sedikit miring menghadap Ghandi.

Untuk beberapa saat, kami hanya saling mengadu pandang, dan aku tahu kenapa. Semasa kami sekolah, orangtuaku terkenal sebagai donatur paling loyal untuk berbagai acara. Ada mobil pribadi bernilai lebih dari 900 juta plus supir yang mengantar-jemputku. Barang-barang yang kupakai pun lebih banyak branded, sesuai pilihan Bunda. Intinya, aku terlihat seperti orang yang bisa dengan mudah menghabiskan uang buat jalan-jalan ke luar negeri.

“Gue takut ketinggian.” Aku kembali jadi orang pertama yang memecahkan keheningan. “Terbang terjauh gue, ke Bali. Kalau gue capek kerja dan butuh banget liburan, gue selalu milih kota-kota yang bisa dijangkau naik mobil atau kereta api.” Dia masih belum juga bereaksi, lalu aku dengan nada gemas mencecarnya, “Demi Tuhan, Ghandi! Jangan diam aja. Di bandara tadi lo ngomong terus, baru diam pas kita dipanggil suruh naik pesawar, sekarang—”

Tawa kecil Ghandi membuatku tersadar aku baru saja melakukan hal konyol. Suara yang kami keluarkan memang tidak besar-besar amat, masih tahu diri sama sekitar, tetapi aku amat sadar kalimat terakhirku itu bernada tinggi—memekik.

“Sori,” ujar cowok itu, ikut memosisikan duduk sepertiku sampai melenyapkan ruang kosong antara bangku depan. “Gue tuh dari tadi lagi nebak-nebak apa alasan lo mendadak mau mulai obrolan duluan, udah gitu kalimatnya panjang-panjang lagi. Seingat gue waktu sekolah lo pendiem banget, nggak pernah mulai obrolan duluan sama orang lain termasuk gue. Terus di ruang tunggu tadi juga lo cuma ngangguk atau jawab satu dua kata. Beberapa detik lalu gue sempat mikir; ah, mungkin Gendhis udah berubah, tapi ruang tunggu itu ibarat pemanasan karena emang kami udah lama nggak ketemu. Ternyata …” Dia mencodongkan badan. Bersikap seolah-olah akan membicarakan sesuatu yang penting dan rahasia. “Lo panik karena takut ketinggian?”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ibu dari tiga anak yang lebih suka nulis romance, daripada masak. Sudah berhasil menerbit 8 buku. Untuk melihat atau mencari informasi tentan naskah lain, bisa follow IG: @Flaradeviana

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi