Yang Disimpan oleh Waktu – Chapter 6

yang disimpan oleh waktu chapter 6

Lima belas menit kemudian, bel pintu unit apartemenku berbunyi. Sedikit tertatih, aku membukakan pintu. Wajah Pak Satpam yang pertama kali kulihat.

“Selamat siang, Bu Tara.”

Gegas berdiri di belakangnya, tersenyum tipis ketika aku menatapnya dengan heran. Kupersilakan ia masuk, lalu kuucapkan terima kasih kepada Pak Satpam yang segera kembali untuk bertugas di bawah.

Gegas tengah melihat-lihat foto di dinding ketika aku berbalik dan menutup pintu. Pria itu memakai celana jeans hitam dan kaus lengan panjang biru tua. Seperti biasa, ada ransel di pundaknya dan rambutnya dibiarkan tergerai begitu saja. Ada kantong plastik hitam di tangannya. Ia menoleh dan memandangku dengan ekspresi menelaah yang familier itu.

“Lo oke?” tanyanya.

“Nggak,” jawabku jujur, sembari mengempaskan diri ke sofa ruang tamu. “Sama sekali nggak oke.”

Memangnya ada yang akan percaya kalau aku bilang baik-baik saja, saat penampilanku saja sudah seperti keset rumah?

“Ngapain ke sini?” tanyaku. “Gue pikir lo udah balik ke Wamena atau udah entah ke mana.”

Sebenarnya agak aneh bagaimana Gegas ada di sini. Gegas, mantan sahabatku yang bahkan tidak mau memberiku nomor teleponnya. Sayangnya, kini aku paham alasan di balik itu semua.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi