#KesehatanMental – Cerita Tentang Perkelahian Senyap dan Upayaku untuk Bangkit dari Keterpurukan

Sebuah perkelahian tanpa lawan maupun pemenang

Tahun 2018-2020 awal adalah tahun terberat yang pernah aku rasakan dalam hidupku. Aku merasa seperti bongkahan kayu usang yang sudah tidak layak pakai, namun masih dipaksakan untuk dipahat menjadi perabotan rumah yang indah. Mungkin ia memang bisa dipahat sesuai tuntutan, namun ia sudah rentan dan begitu rapuh.

Kala itu, aku merasakan kekeringan hebat. Lelah berkelahi dengan diri sendiri selama dua tahun lebih. Aku berpikir bahwa tidak ada lagi ambisi yang harus dikejar, tidak ada lagi kebahagiaan yang bisa dicari. Aku ingin menjauh dan menghilang dari ingatan semua orang. Oh tidak, mungkin lebih tepatnya aku hanya ingin beristirahat dari segala urusan duniawi yang begitu pelik.

Sebab, aku seringkali merasa bahwa aku dituntut untuk menjadi sempurna dalam segala hal, baik akademis, organisasi, pertemanan, pencapaian, pengalaman hidup, dan tidak terkecuali penampilan. Aku berusaha sekeras mungkin untuk memenuhi semua tuntutan itu, entah dari mana asalnya. Padahal faktanya, semakin aku berupaya untuk menjadi sempurna, semakin jatuh berserakan pula diri ini yang aku rasa. Di situ, aku merasa bahwa aku telah gagal untuk menjadi diriku yang dikagumi oleh banyak orang karena ketidaksempurnaanku.

Advertisement

1. Tidak ada hari tanpa angan untuk mengakhiri hidup

Photo by Kat Jayne from Pexels

Photo by Kat Jayne from Pexels via https://www.pexels.com

Hampir tidak ada hari dalam satu minggu kuhabiskan untuk berangan-angan tentang mengakhiri hidupku yang payah. Aku sering memikirkan cara paling efektif apa yang cepat dan tidak menyiksaku.

Beruntung, aku tidak pernah memiliki keberanian sedikit pun untuk melakukannya, bahkan untuk melakukan percobaan, aku tidak kuasa. Membayangkannya saja sudah terasa menyakitkan, ngeri, dan menyesakkan. Aku merasakan darahku mengalir begitu deras di dalam helai pembuluhku setiap kali memikirkannya.

Advertisement

Aku melupakan sebuah fakta bahwa aku hanyalah seorang manusia, bahwa aku hanya seonggok tubuh bernyawa bersama dengan kelebihan dan kekurangannya.

2. Menghukum diri karena ketidaksempurnaan yang aku miliki

Photo by Limuel Gonzales from Pexels

Photo by Limuel Gonzales from Pexels via https://www.pexels.com

Aku sangat membenci diriku sendiri. Aku sering menghukumnya tanpa alasan yang jelas. Aku sangat jarang memberikan perawatan dasar sekalipun yang ia butuhkan, seperti makan teratur, tidur cukup, menjaga penampilan, bersosialiasi, dan hal-hal mendasar lainnya. Aku berpikir bahwa aku memang layak untuk diperlakukan demikian, bahkan seharusnya lebih buruk.

3. Pandemi memberikan ruang bagi diriku

Advertisement
Photo by Thought Catalog from Pexels

Photo by Thought Catalog from Pexels via https://www.pexels.com

Hadirnya pandemi kemudian menyadarkanku bahwa aku ini manusia. Aku tersadar bahwa manusia adalah makhluk yang begitu rapuh dan rentan terhadap ketakutan. Meskipun pandemi adalah bencana, tapi setidaknya aku merasakan ada dampak baik yang dapat aku terima.

Menghabiskan sebagian besar waktu berada di rumah memberikanku lebih banyak ruang untuk diri sendiri, untuk merenungi dan menyelami emosiku. Di dalam kesendirian yang mengisolasi, aku lebih banyak berpikir mendalam, berusaha mengenali setiap perasaanku dan apa yang aku inginkan … atau mungkin yang aku butuhkan selama ini.

4. Menyelami diri, mencari apa yang sebetulnya aku butuhkan

Photo by John Diez from Pexels

Photo by John Diez from Pexels via https://www.pexels.com

Berproses untuk menyelami emosi tidak semudah menyelam di laut dangkal untuk melihat keindahan terumbu karang. Bila kita ingin menyelam di laut dangkal, alat dan perlengkapan yang dibutuhkan sudah jelas. Bahkan kita juga bisa didampingi oleh orang yang sudah berpengalaman.

Sementara untuk menyelami emosi, aku sama sekali buta akan hal itu. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dipersiapkan, apa yang akan aku lihat di dasar sana, dan makhluk mengerikan apa yang akan aku temui di kedalaman diriku. Bahkan aku tidak tahu harus mencari pendampingan kepada siapa. Aku begitu tertutup kepada orang-orang terdekat sekalipun. Aku berpikiran bahwa aku harus berjuang seorang diri.

Aku menempuh sebuah perjalanan panjang meskipun hanya berdiam diri di rumah, yaitu perjalanan untuk memahami diri sendiri dan berdamai dengannya. Aku kemudian dipertemukan oleh sejumlah bacaan dan tayangan mengenai penerimaan dan mencintai diri. Secara perlahan, pada akhirnya aku tersadar bahwa selama ini aku terlalu keras kepada orang yang sesungguhnya selalu ada untukku, yaitu diriku sendiri. Aku tidak pernah mencintainya dengan setulus hati.

Aku hanya menuntut dan menetapkan standard yang begitu tinggi, bahkan terlalu tinggi dan mustahil untuk dicapai kala itu. Aku menuntutnya untuk selalu berhasil hanya demi memenuhi nafsuku, yaitu untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.

 

5. Berdamai dengan diri sendiri, mendeklarasikan bahwa aku adalah manusia

Photo by Ketut Subiyanto from Pexels

Photo by Ketut Subiyanto from Pexels via https://www.pexels.com

Perlahan tapi pasti, aku mengalami proses pemulihan, sedikit demi sedikit. Aku menjadi lebih berani untuk membuka diri pada orang-orang yang aku sayangi dan aku percaya.

Aku menjadi berani untuk menuangkan isi kepalaku menjadi rentetan cerita, berani berbagi tentang apa yang aku rasakan, serta berani menyingkapkan kekahwatiran dan menunjukkan sisi lemahku kepada mereka. Aku pada akhirnya dapat mendeklarasikan kepada orang lain dan kepada diriku sendiri bahwa aku ini adalah manusia.

Prosesku untuk mengenal diri sendiri masih berlanjut hingga detik ini … dan aku tidak akan pernah berhenti. Aku akan terus berusaha mengenalinya. Aku sudah berhasil menemukan sebagian dari diriku dan aku sangat mencintainya. Mungkin aku terlalu terburu-buru untuk mengklaim bahwa ini adalah keberhasilan … karena prosesnya tentu masih begitu panjang. Tapi yang jelas, aku sudah berprogres dan aku menghargai itu.

Melalui proses panjang ini, aku mendapatkan sebuah insight baru, yaitu bahwa ketika kita berhasil menemukan diri kita, maka kita akan menemukan hal lain pula yang selama ini kita cari.

Mungkin kedamaian, mungkin kebahagiaan, mungkin juga pengembangan diri, atau mungkin hal-hal lain yang tidak pernah kita sadari. Aku ucapkan terima kasih kepada diriku sendiri karena telah menjadi diriku sendiri, dan tetaplah demikian sampai seterusnya. Aku mencintaiku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang mahasiswa tingkat akhir yang lagi skripsian. Suka berbagi informasi seputar kesehatan mental dan komunikasi interpersonal, serta hal-hal lain yang masih relevan. Lebih suka menuangkan isi kepala ke dalam tulisan karena lebih enak aja gitu.

CLOSE