Sekelumit Cerita tentang Bertahan dan Menjalani #RamadandiPerantauan. Ada yang Sedih Sampai Bikin Nangis :(

bertahan dan menjalani ramadan di perantauan

Bulan suci Ramadan yang datang bersamaan dengan mewabahnya virus Covid-19 tentu menjadi cerita sendiri bagi umat muslim. Di satu sisi mereka menyambut dengan suka cita karena bulan suci yang ditunggu-tunggu ini telah datang. Namun di sisi lain mereka tidak dapat menjalankan ibadah tarawih, itikaf atau ibadah-ibadah lain yang biasanya dilakukan secara berjama’ah. Alasannya tentu saja saat ini masyarakat harus melakukan physical distancing demi memutus rantai penularan virus tersebut.

Apalagi imbas dari virus tersebut menjadikan banyak orang kehilangan pekerjaan akibat PHK yang terjadi secara masif. Namun masih banyak saudara kita para perantau yang masih harus bertahan di wilayah pandemi dengan segala keterbatasan dan mengikuti anjuran pemerintah untuk tidak pulang kampung di tengah wabah ini. Ada yang masih bekerja walaupun daerah mereka termasuk red zone.

Namun setiap kisah mereka ada saja yang menarik untuk disimak. Apa saja kisah-kisah tersebut? Penulis sudah mewawancara beberapa kawan para perantau yang membagi ceritanya kepada penulis. Nama mereka disamarkan demi menjaga privasi.

Advertisement

1. Salah satu saudara dari penulis membagikan kisahnya

Photo by cnnindonesia

Photo by cnnindonesia via https://www.cnnindonesia.com

“Alhamdulillah saya masih puasa walaupun sambil menyusui. Sebenarnya saya udah jenuh banget di rumah karena ramadhan sekarang beda banget sama tahun-tahun kemarin, tapi ya bagaimana lagi. Keadaan kami disini baik-baik aja cuma masih ada rasa was-was karena suami masih kerja sebagai cleaning service, kalau gak kerja gak dapat uang. Suami kerja juga di kantor gak ada siapa-siapa, karena semua sedang WFH. Jadi kadang bawa uang, kadang nggak. Kalau lagi nggak bawa uang bingung juga buat nanti makan sama jajan anak-anak. Soalnya bantuan juga belum dapat, cuma beberapa tetangga aja yang dapat. Alhamdulillah kalau beras sih masih ada, tapi yang bikin bingung susu anak udah habis. Keadaan kita sebenarnya susah tapi mau minjam uang udah nggak berani karena orang-orang pasti lagi butuh bantuan juga. Saya juga belum sempat pulang ke Bogor sekaligus ziarah ke makam orang tua karena PSBB.” (Nuraini-Pasar Minggu, 31 tahun)

2. Masih kerabat dari penulis yang saat ini sedang bekerja di Jepang

Photo by Travel Detik

Photo by Travel Detik via https://travel.detik.com

“Kesan berpuasa di negeri orang itu sepi, nggak ada yang bangunin sahur, nggak ada jalan-jalan sehabis shalat subuh, nggak ada pasar dadakan. Pokoknya sepi. Waktu sahur dan berbuka disini juga tergantung musimnya. Sekarang kan sudah musim semi, jadi siangnya lebih lama. Otomatis sahurnya lebih malam, buka puasanya juga lebih lama. Di Jepang juga nggak ada adzan, sekalipun ada adzan di masjid nggak boleh pakai speaker outdoor, jadi pakai speaker indoor biar nggak mengganggu aktivitas warga lokal. Itu di Shizuoka ya, nggak tau kalau di Tokyo.” (Herdi-Shizuoka, Jepang, 29 tahun)

Advertisement

3. Salah satu teman dari penulis yang saat ini hanya tinggal berdua dengan suami di kos-kosan karena penghuni lainnya sudah tak mampu bayar kosan 🙁

Photo by merdeka.com

Photo by merdeka.com via https://www.merdeka.com

“Sedikit kesulitan mencari makanan disini karena banyak tempat makan yang tutup. Rata-rata hanya warteg yang buka itupun saya suka bosan karena menunya itu-itu aja, hehehe… tapi saya inisiatif beli peralatan masak dan bahan-bahan makanan untuk di kosan setidaknya bisa menghemat pengeluaran. Tapi paling sulit untuk pergi ke pasar karena banyak jalan ditutup jadi kalau mau beli lauk harus memutar arah. Penjual ta’jilpun sudah berkurang drastis sekarang. Dan biasanya saya sama suami beli makanan untuk buka sekalian untuk sahur supaya nggak repot keluar rumah lagi. Kos-kosan tempat saya tinggalpun sekarang semakin berkurang penghuninya karena udah pada nggak kuat bayar kosan akibat PHK besar-besaran. Saya juga masih berpikir dua kali untuk pulang ke Bekasi.” (Mitha-Rawamangun, Jakarta Timur, 25 tahun)

4. Buat anak perantau legend, puasa sendirian itu sudah biasa 🙂

Photo by Tribunnews

Photo by Tribunnews via https://wartakota.tribunnews.com

“Sebenarnya ini bukan puasa kali pertama dalam perantauan. Sudah beberapa tahun aku terbiasa dengan ini. Namun tetap saja perbandingannya dengan puasa di rumahku di Bayah, Banten Selatan bersama keluarga di rumah itu lebih nikmat. Puasa tanpa kebersamaan ayah, ibu, kakak dan adik rasanya kurang lengkap. Namun disitulah pelajarannya, puasa di perantauan melatih hidup untuk mandiri. Bagaimana tidak, mungkin yang semula di rumah tinggal menyantap makanan yang ada, disini kami harus menyiapkannya sendiri. Jadi aku suka rindu sama masakan ibuku. Kalau untuk ibadah seperti tarawih, tadarus dan lainnya kurasa sama saja antara di rumah atau di perantauan. Cuma memang karena dampak Covid-19 sebagian besar masjid disini ditutup, jadi ramadhan kali ini nggak ada kegiatan apapun di masjid.” (Sinta-Tangerang, 27 tahun)

5. Di negara 4 musim, jadwal shalat-sahur-buka itu beda banget sama di Indonesia

Photo by Ehef

Photo by Ehef via https://ehef.id

“Ini untuk pertama kalinya kami sekeluarga berpuasa ramadhan di negeri orang yaitu di Inggris. Karena muslim disini minoritas, jadi beda sekali rasanya dengan di Indonesia. Ditambah dengan pandemi wabah Covid-19 yang mengharuskan kami stay at home. Tapi hal tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap puasa kami. Disini tidak pernah terdengan adzan dari masjid-masjid. Bukan karena adanya wabah saja, tetapi memang sudah menjadi peraturan dari Negara Inggris dengan alasan untuk menjaga toleransi dengan agama yang lain. Tidak ada adzan membuat kami harus sering melihat jadwal shalat. Apalagi di negara empat musim ini, jadwal shalatnya seringkali berubah sesuai musimnya tidak seperti di Indonesia. Seperti ramadhan kali ini yang bertepatan dengan musim semi menuju musim panas. Pada musim ini waktu siangnya jadi lebih panjang. Imsak pukul 4 pagi, buka puasa pukul setengah 9 malam. Jadi kami berpuasa sekitar 16-17 jam.” (Diana-Birmingham, Inggris, 37 tahun)

Advertisement

6. Kalau ini kisah anak rantau yang tahun ini sudah puasa bareng sama suami. Alhamdulillah sudah ada yang menemani ya..

Photo by politik.rmol

Photo by politik.rmol via https://politik.rmol.id

“Jadi anak rantau tuh nano-nano rasanya. Kemandirian benar-benar dituntut apalagi pas bulan puasa. Karena sekarang aku udah menikah jadi tanggung jawabnya double. Apalagi cuma tinggal berdua di rumah. Pekerjaan extra menunggu setiap hari. Menyiapkan segala sesuatu sendiri mulai dari makan sahur sampai berbuka plus dengan camilan dan kebingungannya. Untungnya posisi rumah cukup dekat dengan penjual sayur mayur yang menjadi penolong kegalauan karena dimana-mana terpampang nyata spanduk lock down sampai gang kecil sekalipun. Belum lagi tempat kerja aku yang termasuk red zone Covid-19, tapi harus tetap kerja karena aku bekerja di bidang farmasi dimana obat-obatan sangat dibutuhkan saat ini. Tapi di kantor sudah memberlakukan protokol atau anjuran pemerintah dan saran kesehatan lainnya. Untuk cuci tangan kebetulan sudah disediakan wastafel di dekat pintu masuk. Kalau desinfektan hanya bisa ditemukan di pintu utama kawasan pergudangan saja.” (Nadya-Kelapa Gading, Jakarta Utara, 27 tahun)

Kita hanya bisa berdoa semoga wabah ini cepat berakhir dan para perantau bisa segera melepas rindu dengan keluarganya masing-masing. Bagaimanapun keadaan saudara-saudara kita di perantauan sana, semoga segalanya baik-baik saja, ya! Apakah kamu termasuk anak perantau yang punya kisah seperti cerita diatas? Sharing, yuk.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Masih berusaha untuk menulis ditengah kesibukan mengurus anak

Editor

une femme libre

CLOSE