Babak Baru Sinta #2 – Kuota Habis, Kondisi Kritis

Menelisik tahun-tahun ke belakang, rasanya seperti mimpi bisa sampai di titik ini. Hapeku sampai jatuh terpelanting saking girangnya melihat pengumuman SBMPTN itu. Akhirnya aku diterima di kampus negeri favorit. Tak sabar kulangkahkan kaki ini tanah Jogja —kota yang katanya selalu istimewa itu. Namun sayang, keberangkatanku ke perantauan mesti ditunda. Bayangan-bayangan indah tentang perkuliahan menjadi suram semenjak Covid-19 menyerang.

Advertisement

Namaku Sinta Dewi, inilah ceritaku menjadi mahasiswa baru di masa pandemi..

—–

Sinar mentari menyapa kulitku. Menelusup dari dedaunan pohon mangga depan rumah. Kicau burung terdengar lirih dari rumah tetangga. Perempuan paruh baya sedang menjemur cucunya di beranda. Pagi ini cerah dan syahdu, tak seperti hari-hari lalu. Beberapa orang melintas. Tak sedikit dari mereka yang menyapaku. Barangkali mereka heran melihatku; pagi-pagi berpakaian rapi, menatap laptop dengan wajah berseri.

Advertisement

Memang, sejatinya teras rumah bukanlah tempat cocok untuk mendengarkan dosen yang bermonolog di dalam layar. Terlebih buat aku yang gampang sekali hilang fokus. Aku terpaksa memilih tempat teras sebab dari setiap sudut rumah di sinilah posisi yang paling baik untuk menarik sinyal. Hari ini jadwalnya, Psikologi Komunikasi. Salah satu mata kuliah favoritku. Dosennya cukup cakap menerangkan materi dibanding dosen-dosen lain. Barangkali karena masih muda, masih semangat-semangatnya.

Sudah hampir sebulan kuliah online, aku sudah mulai hafal nama dan wajah dosenku. Lain cerita dengan teman kelasku, saking banyaknya aku jadi bingung. Entah kenapa wajah mereka masih terasa asing saja buatku. Kalau boleh memilih, terus terang aku lebih cocok dengan pertemanan di dunia nyata ketimbang maya. Tapi apa daya, di luar sana masih corona. Sistem kuliah seperti ini yang paling memungkinkan untuk dilakukan.

Advertisement

Gambar di layar tiba-tiba tak bergerak. Suara Pak Hasan juga tak terdengar lagi dalam earphone. Siaran terhenti. Seketika laptop dan hape kuangkat. Kubawa jalan, berpindah tempat di sekitar teras. “Ini pasti gangguan sinyal” pikirku. Sial. Kuotaku habis. “Panjuuuuuul!!”

“Apa mbak?”
“Semalam kamu pakai hape mbak buat nonton Youtube, ya?”
“……”
“Sebel banget sih, kan aku jadi nggak bisa kuliah”

Sungguh tak habis pikir dengan adikku yang satu ini. Sudah kubilang jangan dulu pakai hapeku, masih saja cari-cari kesempatan.

Aku sempat menceritakan masalah ini ke Bimo. Ia menyarankanku untuk pasang Wi-Fi. Aku sih mau saja, namun tak enak hati untuk memberatkan orangtuaku.

Jarak rumahku ke konter hape terdekat kurang lebih satu kilometer. Aku masih bisa mengejar waktu, kuliah belum lama dimulai. Kukayuh sepeda lekas-lekas. Meski kondisinya sudah butut, sepeda inilah telah menemaniku berangkat-pulang sekolah dari SMP hingga SMA. Beruntung sekali lalu lintas jalanan hari ini tak begitu ramai.

Tikungan itu sudah terlihat. Setelahnya aku hanya perlu belok ke kanan lampu merah. Tak jauh dari lampu merah itu ada toko mainan “Lucu”, nah, di sebelah ruko itulah letak konternya. Lampu merah itu tak kunjung berganti hijau. Aku diburu waktu.

“Braaaak!”

Pandanganku mengabur. Orang berkerumun. Pengendara motor itu bangkit dan menghampiriku. Tak bisa kudengar. Gelap.

—–

“Berisik sekali!”. Dari suaranya aku tahu bahwa Panjul sedang bermain-main dengan Razak, anak tetangga. Kepalaku pusing. Kakiku nyeri. Kubuka mataku pelan-pelan. Terakhir kali kuingat, tubuhku menggelepar di aspal. Kini sudah berpindah ke rumah. Segelas teh tersedia di meja. Di dapur terdengar percakapan Ibu dan Riski, adikku yang pertama. Hmm.. bau masakan.

“Bu..”
“Alhamdulillah kamu udah bangun. Sebentar Sin, ibu lagi bikin sayur sop kesukaanmu”
“Tolong ambilkan laptop”
“Hah.. mau ngapain kamu? Udah tiduran dulu aja”

Tumben sekali ibu sudah pulang dan masak jam segini. Kalau di lihat dari hawa panas, barangkali ini sudah jam 12 siang. Waw. Sebuah loncatan waktu yang tak terasa. Ingatan yang masih bisa kugali dari kejadian nahas tersebut ialah laju motor Supra dan suara klakson. Selebihnya, buyar. Setelah kejadian itu aku jadi tak bisa ke mana-mana. Kakiku terkilir. Bengkak. Dibuat jalan rasanya tak karuan. Sepedaku penyot. Wujudnya kini seperti orang yang sedang meringkuk kedinginan.

Hal lain yang tak terselamatkan dari kejadian itu adalah materi kuliah Pak Hasan. Aku telah melewatkan separuh kuliah Pak Hasan. Kabar terakhir yang kudapat dari grup WA kelas, beliau memberikan tugas untuk mahasiswanya. Kami disuruh bikin esai penilaian tentang komunikasi Jubir Penanganan Covid-19 dalam selama tiga bulan terakhir. Aku sama sekali tak ada bayangan untuk mengerjakannya.

Sial. Kalau saja kuotaku tidak habis mungkin aku tidak apes seperti ini. Badanku sakit, sepedaku rusak, lalu aku disuruh mengerjakan sesuatu yang tak kumengerti. Semua gara-gara Panjul! Dia memang bandel! Tidak. Dia masih bocah. Dia terlalu kecil untuk bisa paham kebutuhanku akan kuota.

Kalau saja ada Wi-Fi di rumahku, mungkin ceritanya akan lain. Sudah lah.. aku tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Lancang pula aku menyalahkan keadaan. Masih diberi kesempatan kuliah saja mestinya aku bersyukur.

Baca semua episode cerbung ini selengkapnya di sini

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Fiksionis senin-kamis. Pembaca di kamar mandi.

Editor

Penikmat jatuh cinta, penyuka anime dan fans Liverpool asal Jombang yang terkadang menulis karena hobi.

CLOSE