Cerita #MimpiMasaMuda, dari Siswa yang Gemar Tidur di Bangku Sekolah

Tak berprestasi bukan berarti tak punya mimpi-mimpi~

Alih-alih menghabiskan masa muda dengan segudang prestasi, aku yang masih berusia 15 tahun lebih memilih banyak bermain dan tidur di bangku sekolah. Walaupun begitu, aku memiliki #MimpiMasaMuda yang tak kalah hebatnya. Simak di bawah ini, akan kuceritakan padamu!

Advertisement

Kala itu, bisa dipastikan tak ada sederet piala atau sertifikat bergengsi yang mampir di meja belajarku. Di sana, hanya ada setumpuk novel, komik, dan DVD murah yang bisa kulahap secara bergantian di setiap malam hingga akhirnya tertidur. Lalu keesokan harinya, kupastikan diriku terburu-buru berangkat ke sekolah dengan melupakan sarapan dan mandi pagi lantaran tak bangun tepat waktu.  

Mengutuk alarm pun lebih sering kulakukan alih-alih menyalahkan diri sendiri yang sulit mengatur waktu. Hal itu pun berangsur selama bertahun-tahun, hingga akhirnya aku berada di penghujung tahun bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). 

Berawal pada suatu jam pelajaran di sekolah, aku tengah asik mengabaikan guru dan tertidur pulas di bangkuku. Kemudian, tiba-tiba aku terbangun dan sontak melihat teman-temanku tenggelam bersama buku-bukunya. Ternyata, mereka tengah menyiapkan diri untuk masuk ke universitas ternama. Dan aku? Masih tak tahu akan pergi ke mana dan jadi apa. 

Advertisement

Sepulang sekolah, pikiran itu pun masih asik mengusikku saat berada di dalam becak motor yang mengantarkanku pulang ke rumah. Hingga akhirnya, pertanyaan dari tukang becak yang membawaku saat itu menyadarkan lamunan. “Kelas berapa, Dik?,” tanyanya penasaran. Aku pun menjawab dengan sigap setengah berteriak untuk mengalahkan bisingnya suara kendaraan di jalanan. “Terus mau kuliah di mana? Mau ambil jurusan apa?,” tanya tukang becak itu lagi, seolah tahu apa yang kupikirkan. 

Aku pun seketika terdiam, tak berani menjawab, bahkan sekedar basa-basi. Hanya senyum ragu yang bisa kulemparkan saat itu, yang kemudian dibalas dengan raut wajah bingung dari tukang becak tersebut. Sebelum tidur di malam harinya, kutiadakan agenda rutin untuk melahap novel, komik dan film. Kuputuskan kembali tenggelam bersama pikiranku, dan seketika tersontak menemukan titik terang. 

Advertisement

Sewaktu kecil, aku ingat betul pernah membayangkan diri tampil di layar televisi. Bukan menjadi artis sinetron atau bintang iklan, aku berharap bisa menjadi seorang reporter. Ketika teman-temanku sibuk membayangkan diri mereka menjadi dokter dan insinyur, aku mendambakan cita-cita yang pekerjaannya berada di bawah terik matahari dan genangan banjir. Hingga malam itu, aku rasa pun aku masih tertarik dengan #MimpiMasaMuda itu.

Selanjutnya, kupastikan diriku memang pantas dengan cita-cita tersebut. Aku mencoba mengenal lebih dalam diriku, dan kutemukan aku adalah orang yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, senang berbicara dan bertemu banyak orang, serta suka pergi ke sana-sini.  Kecintaanku pada menulis pun memengaruhi cita-cita itu, aku mulai berpindah hati di tengah jalan dan mulai membayangkan diri menjadi seorang wartawan. Aku menemukan diriku lebih bebas bermain dengan kata-kata, dan itu membuatku sangat antusias bukan kepalang!

Akhirnya, kuputuskan memilih jurusan jurnalistik di salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia. Mengingat aku yang berada di jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), aku pun belajar lebih ekstra untuk mengejar jurusan impianku itu. Sepulang sekolah, kuhabiskan waktu untuk ikut bimbingan belajar hingga larut malam. Di tengah membaranya semangatku, sayangnya aku turut abai dengan kesehatanku. Aku tidak mengonsumsi makanan bergizi, tidak tidur secara teratur, dan tak sedikit pun mengonsumsi vitamin untuk menjaga stamina tubuhku.

Singkat cerita, aku gagal menggapai #MimpiMasaMuda itu. Aku merasa dunia tidak adil karena waktu dan tenaga telah kukerahkan sepenuhnya demi kelak bisa menjadi seorang wartawan hebat. Untungnya, diriku menolak untuk berlarut-larut dalam kesedihan.  Segera kudaftarkan diriku di sebuah universitas swasta di Yogyakarta dengan tetap mengambil jurusan impianku, yaitu jurnalistik. Aku pun berhasil masuk ke universitas tersebut, kemudian menikmati dunia perkuliahan yang menyenangkan dan penuh kejutan!

Turun ke lapangan untuk melakukan liputan adalah tugasku sehari-hari sebagai mahasiswa jurnalistik. Aku harus bisa mendapatkan informasi dari peristiwa yang tengah terjadi di sekelilingku, dan menumpahkannya ke dalam tulisan. Bahkan saat menjadi mahasiswa magang pada sebuah media online di Yogyakarta, load kerjaku pun turut menyita jatah jam tidur. 

Namun kucoba untuk tidak mengeluh, mengingat menjadi wartawan adalah impian terbesarku! Pikiran dan stamina yang banyak terkuras pun sesekali membuatku jatuh sakit. Tapi, aku tak tinggal diam dan berusaha untuk menjaga kesehatan diriku dengan mengonsumsi makanan bergizi. 

Kujauhkan pikiranku dari stigma yang mengatakan bahwa anak kos terbiasa hidup dengan mengonsumsi makanan instan dan makanan lain yang cenderung tidak sehat. Aku pun mematahkan stigma tersebut lewat cara yang sederhana, yaitu selalu mengusahakan makanan di atas piringku selalu berdampingan dengan sayuran. Sayuran hijau adalah makanan yang hampir bisa ditemukan di setiap warung makan dengan harga yang terjangkau. Sayuran adalah jenis makanan sehat dengan paket lengkap yang di dalamnya terdapat serat, vitamin A, vitamin C, vitamin K, magnesium, kalsium, zat besi, folat, dan kalium.

Selain itu, aku juga rajin mengonsumsi susu setiap pagi sebelum beraktivitas. Hal ini sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil. Susu yang mengandung banyak vitamin, mineral, protein hewani berkualitas, dan lemak sehat adalah sumber kalsium terbaik. Lewat pangan yang bergizi, aku pun memiliki kondisi tubuh yang sehat untuk terus mengejar cita-citaku. 

Namun, di luar privileseku yang bisa dengan mudah mengakses pangan bergizi, terkadang aku memikirkan banyak orang di luar sana. Terlebih lagi di tengah pandemi COVID-19, Organisasi Pangan dan Pertanian, Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan tantangan saat ini terletak pada terganggunya akses pangan. 

UNICEF juga menunjukkan bahwa dengan tidak adanya tindakan yang tepat waktu, jumlah anak Indonesia yang mengalami wasting atau kekurangan gizi akut di bawah 5 tahun dapat meningkat secara global sekitar 15 persen di tahun 2020 karena COVID-19. Salah dua penyebabnya yaitu rantai pasokan makanan yang terganggu dan hilangnya pendapatan. Banyaknya keluarga yang kehilangan pendapatan rumah tangga mengakibatkan mereka kurang mampu membeli makanan sehat dan bergizi untuk anak-anaknya.

Maka itu, cara paling sederhana dalam menanggulanginya yaitu dengan menghabiskan makanan di atas piring kita. Mengapa? Karena krisis pangan utamanya diakibatkan oleh konsumsi berlebih, misalnya saat kita membeli makanan lebih dari yang bisa kita konsumsi. Sehingga, pangan yang daya belinya tinggi akan berdampak bagi orang-orang yang daya belinya lebih rendah. Mereka pun menjadi sulit mengakses pangan karena terhambatnya supply.

Lewat cerita ini, aku pun ingin mengajak kalian semua yang membaca untuk peduli dengan gizi diri sendiri dan orang-orang yang ada di sekeliling kita. Sebab sebagai sesama manusia, kita berhak #SehatSamaSama untuk mencapai tiap-tiap mimpi kita! 

#HipweexNI

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Sedang mondar-mandir di Yogyakarta

CLOSE