#DestinasiHipwee – Perjalanan Penuh Makna, Pendakian Gunung Cikuray

Sebelumnya saya selalu mengira bahwa mendaki gunung hanyalah untuk menikmati pemandangan yang indah. Bagaimana tidak, foto-foto gunung begitu banyak yang tersebar dengan rupa cantik di sosial media. Membuat hampir semua orang menjadi tergoda dan ingin melihatnya secara langsung. Namun, perjalanan pendakian pertama saya di Gunung Cikuray membuat pandangan tentang naik gunung menjadi berbeda. Bahwa naik gunung bukanlah hanya tentang soal menikmati keindahan saja. Tapi ada banyak pelajaran yang gunung ajarkan pada pendakinya.

Advertisement

Saat itu tanggal 16 Agustus, satu hari sebelum saya dan teman-teman melaksanakan pendakian esok hari. Saya sudah siap, dari mulai logistik, fisik, kendaraan, dan uang. Malam di hari itu menjadi terasa panjang. Sulit sekali untuk menutup mata dan segera tenggelam untuk tidur. Benar kata orang, saat esok hari ada sesuatu yang ditunggu-tunggu, maka siap-siaplah malam sebelumnya akan jadi malam yang panjang.

Tanggal 17 Agustus saya terbangun, bersiap diri dan segera berangkat. Saya menghubungi teman-teman dan berkumpul di titik temu. Titik temu yang berada di pertengahan antara semua rumah kami masing-masing. Pukul tujuh kami berangkat dari titik kumpul. Kami sampai pada kaki gunung pada pukul satu siang. Panas sekali di sana, kami memutuskan untuk mengisi perut dahulu dengan nasi bungkus yang sudah kami beli di perjalanan tadi.

Pendakian kami mulai. Perkebunan warga dan jalan berbatu menjadi langkah awal kami. Saya yang jarang sekali olahraga membuat mental sedikit goyang. "Bisa tidak ya, semoga kuat" adalah isi kepala yang selalu menghantui. Benar saja, belum lama berjalan sudah ada tanjakan yang begitu vertikal. Membuat kaki harus mendorong bumi begitu keras karena beban yang saya bawa di tas cukup berat. Saya melihat ke depan, melihat teman-teman saya yang sama-sama sedang lelah. Sesekali saya tertawa, entah kenapa kelelahan seperti ini adalah hal lucu bagi saya. Teman saya yang menjadi leader bertanya "Istirahat dulu gak?" jelas jawab saya adalah "ayo lah istirahat" dan akhirnya kami istirahat di sebuah gubuk yang mungkin milik tukang kebun di sana.

Advertisement

Kami berbincang dan minum air sedikit, lalu melanjutkan pendakian. Waktu sudah sore, tak terasa pendakian sudah berjalan selama tiga setengah jam. Matahari sudah tidak terasa panas, apalagi trek pendakian sudah banyak vegetasi. Membuat langkah menjadi tidak terlalu mudah lelah. Jarak kami sudah tak lagi sedekat di awal. Kini, kami membagi jadi tiga regu, di depan, tengah dan belakang. Bukan karena apa-apa, ini tiba-tiba terbentuk begitu saja. Saya mulai merasakan lelah yang tak biasa, membuat teman saya sering menunggu karena langkah saya sering berhenti dahulu. Perasaan tak enak akhirnya datang, membuat saya mengatakan "Duluan aja, asli ngga papa" tapi teman saya tetap bertahan untuk menunggu.

Cahaya matahari perlahan memudar, membuat trek pendakian mulai kehilangan cahaya. Saya sadar bahwa waktu sudah tak sore lagi. Senter mulai digunakan, suhu sudah mulai terasa sangat dingin. Membuat keadaan menjadi bingung, ika diam maka panas tubuh akan hilang dan tubuh akan dingin. Tapi jika terus bergerak kondisi tubuh sudah sangat lelah, sangat butuh rehat sejenak. Kami kembali mendekatkan jarak, teman saya yang paling depan selalu berkata "ayo puncak sepuluh menit lagi" tapi setelah sepuluh menit berjalan nyatanya tak sampai-sampai juga, bahkan satu jam berlalu pun puncak belum saja terlihat. Benar-benar menguji kesabaran.

Advertisement

Saya benar-benar tak menyangka pendakian ini begitu melelahkan. Tak jarang saya berpikir untuk turun kembali, atau terpikir untuk diam di trek pendakian saja. Tapi saya tak tega melihat teman-teman saya. Akhirnya kami memutuskan untuk diam sejenak dalam waktu yang cukup lama untuk istirahat. Setelah dirasa pulih kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan akhir menuju puncak yang rasanya begitu menyakiti kaki bagi saya. Nafas sudah tak karuan, badan lelah, badan kedinginan, dan mata seringkali kunang-kunang. Puncak bagaikan satu-satunya keinginan saya saat itu, tak sabar sekali untuk segara menghentikan langkah dan mendudukan tubuh sembari melihat langit. Lalu teman saya berteriak dan mengatakan "Huhu!!! Puncak woy! Puncak asli ayo semangat!" Mendengar itu saya langsung semangat, dengan mata yang sudah mengantuk, kaki yang tak bertenaga, saya paksakan untuk mempercepat langkah, dan akhirnya saya sampai.

Saya lepaskan tas yang membebani pundak sangat berat, dan saya duduk. Saya diam dan tak menyangka bisa sampai. Saya berpirik saya termasuk pendaki payah, saat sampai puncak saya benar-benar tak ada tenaga untuk membantu memasang tenda atau memasak. Saya hanya duduk dan segera tidur saat tenda sudah dibangun. Saya belajar banyak.

Besoknya saya terbangun, menyantap beberapa makanan karena perut terasa sangat lapar. Mungkin sekitar pukul setengah lima saya terbangun. Suhu di luar tenda benar-benar dingin, wajar saja puncak gunung ini berada pada ketinggian 2821 mdpl. Saya membangunkan teman-teman karena sayang sekali jika momen matahari terbit harus dilewatkan. Pendaki-pendaki lain sudah keluar dari tenda masing-masing, tak saya sangka, ternyata banyak sekali pendaki di puncak ini.

Kami menuju titik tengah puncak, untuk menyaksikan matahari 17 Agustus. Kaos, jaket, lalu jaket lagi adalah pakaian saya saat itu. Badan kedinginan, namun hati begitu hangat. Melihat pemandangan yang begitu cantik di depan mata. Tak pernah saya rasakan perasaan ini sebelumnya. Lalu seorang pemuda naik ke atas sebuah bangunan kecil, mengibarkan bendera Indonesia, dan memberi aba-aba. Satu, dua, tiga, dan kami semua bernyanyi. Indonesia raya dan Tanah air adalah dua lagi yang menjadi ruang untuk kami bersatu. Saya mengeluarkan air mata terharu, benar-benar menyentuh hati. Tak peduli dari mana kami berasal, kami menjadi satu di puncak ini. Bersama samudera awan yang mempesona, di atas atap garut yang megah, disaksikan matahari 17 Agustus, kami sangat mensyukuri kemerdekaan Indonesia ini.

Tak lupa kami berfoto. Latar belakang awan yang indah dan matahari yang cantik menjadi pelengkap. Setelahnya kami memasak dan bergegas untuk turun. Ternyata proses turun gunung sama-sama melelahkan. Tapi tak apa, saya belajar banyak dari pendakian gunung ini. Wajar ada banyak orang yang menanyakan "untuk apa naik gunung? capek-capek turun lagi" ternyata jawabannya tidak akan pernah mereka temukan sebelum mereka mencobanya sendiri.

Gunung Cikuray menjadi salah satu destinasi yang indah. Tapi tentu memiliki resiko yang cukup besar, jadi perlu persiapan yang cukup matang. Gunung ini bisa menjadi pilihan bagi sobat Hipwee untuk mendaki. Puncaknya sangat indah, dan treknya cukup menyenangkan.

#DestinasiHipwee

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE