Duka dan Tetangga: Menyelami Makna Syukur di Balik Kematian

Saya termangu, tidak percaya dengan apa yang barusan saya dengar. "Bapak sudah nggak ada, Dek" Ucap mas sepupu saya. Tulang-tulang saya seperti lepas menghilang dari tubuh, lemas sekali. Saya tidak bereaksi, hanya mematung. Belum juga saya memproses berita yang paling traumatis selama 26 tahun hidup saya, suara riuh rendah ibu-ibu datang menghampiri saya. Saya tidak tahu ada berapa orang, tapi mereka datang secara bergerombol dan bergantian memeluk saya. Mengelus kepala, pundak, dan punggung saya secara serempak. Saya linglung.

Advertisement

Kematian, kata yang sangat menakutkan bagi saya. Apalagi jika itu terjadi pada Bapak. Sampai kapan pun, entah diumur berapa pun ketidaksiapan menghadapi kematian bapak membayangi saya setiap saat bahkan ketika Bapak masih hidup. Saya yang hidup dibentengi dengan filosofi dan pemikiran milik bapak, suatu saat pernah berdoa supaya saya diizinkan pergi duluan daripada saya harus hidup tanpa bapak. Bapak adalah ruang aman bagi saya. Menghadapi kenyataan bahwa Bapak harus pergi meninggalkan saya terlebih dahulu, meninggalkan luka yang akan selalu dan terus menganga.

Ibu-ibu dan para tetangga lainnya yang sore itu datang pun tahu bahwa saya begitu kehilangan Bapak. Mereka membisikkan kalimat semangat, doa untuk keikhlasan, merekatkan dahi mereka ke dahi saya dan berbisik, Sebelum 40 hari, bapak masih ada di sini. Di sekeliling rumah. Ayo yang kuat, biar ketika Bapak melihat bapak nggak sedih. Kalimat yang bertujuan untuk mengangkat hati saya kembali. Sebelum kabar kematian bapak, saya tahu dan benar-benar paham bahwa kalimat yang dilontarkan tersebut adalah sebuah mitos belaka. Saya bahkan hanya menggelengkan kepala tidak percaya. Namun, ketika itu saya ingin mempercayainya lebih dari apa pun. Saya ingin percaya bapak masih ada di rumah ini, bersama saya, dan melihat saya. 

Setelah saya yakin saya cukup kuat untuk berdiri, saya berjalan ke luar rumah. Para tetangga dusun sudah berbondong-bondong datang padahal belum ada satu jam kabar bapak pergi. Tanpa dikomando siapa pun, mereka menjalankan fungsinya masing-masing. Ada yang sudah menyingkirkan kursi-kursi ruang tamu, ada yang sudah membawa kabel listrik lengkap dengan lampu neon besar, para Ibu dan simbah yang sudah membawa baskom, piring, pisau beserta perangkat dapur lainnya. Tetangga Bapak, orang-orang dusun yang berada di pelosok selatan Klaten ini sudah memposisikan diri mereka tanpa suara. Mereka terdiam, apalagi setelah melihat saya yang berdiri mematung, mereka pun ikut mematung di sebelah saya. Menunggu ambulans bapak pulang.

Advertisement

Selama pre-ritual pemakaman sampai dengan tujuh hari terakhir setelah ritual, jiwa saya melayang entah kemana. Ketika itu, tujuh hari berturut-turut ritual kematian adalah hal yang sangat berat bagi saya. Mendengar lantunan doa-doa tahlil setiap malam membuat seluruh badan saya gemetar hebat. Saya hanya meringkuk di tempat tidur. Tidak punya tenaga untuk menemui orang-orang yang silih berganti berdatangan. Selama itu pula, hal yang baru saya sadari adalah para tetangga tidak pernah absen datang dan membereskan semua hal yang dibutuhkan untuk ritual tahlilan selama tujuh hari berturut-turut.

Semua itu, mereka lakukan dengan mengorbankan malam lebaran dan sisa-sisa libur lebaran mereka. Yang seharusnya bisa digunakan untuk berkumpul dengan keluarga, menghabiskan waktu dengan anak-cucu, bersenda gurau, makan-makan dengan bahagia. Namun, mereka memilih untuk setiap sore hingga malam datang ke rumah, ikut merasakan duka, mengorbankan waktu lebaran yang hanya setahun sekali datang untuk mendoakan bapak. Menemani kami yang diterpa kesedihan kehilangan orang yang dicintai.

Advertisement

Sebagai anak yang tumbuh dengan paparan ilmu modern dan menghabiskan banyak waktu di tengah kota, saya tidak begitu paham tentang srawung tetangga. Saya sangat membatasi antara ruang privasi dan ruang publik pada diri saya. Saya membentengi diri saya untuk tidak terlalu tahu cerita-cerita tentang tetangga sekitar. Bahkan saya pernah mempertanyakan keputusan-keputusan bapak yang selalu berbasis pada mengutamakan kebahagian orang lain di atas kepentingan dirinya sendiri, baik urusan keluarga maupun kehidupan bertetangga. Suatu waktu, saya pernah membuka obrolan dengan Bapak kenapa orang-orang suka sekali mengadakan ritual dari mulai pernikahan sampai dengan kematian.

Apalagi ritual kematian, untuk saya pribadi, proses berduka mengeluarkan energi yang luar biasa hebat. Saya berpikir bahwa berduka hanya perlu diri sendiri karena belum tentu orang lain bisa mengerti perasaan kehilangan yang dirasakan. Tidak perlu sampai harus diperingati dengan tahlilan dari mulai tujuh harian, empat puluh harian, seratus hari, setahun, dua tahun, sampai seribu tahun. Ketika itu bapak hanya menjawab bahwa tetap saja, manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan pernah sendiri. Manusia akan selalu hidup bergolongan, membutuhkan satu sama lain.

Kematian bapak menjadi sebuah tamparan keras untuk opini dan asumsi saya tentang batasan ruang privasi dan ruang publik. Orang-orang yang tidak pernah absen datang ke rumah, tidak hanya mendoakan dan membantu menyelesaikan ritual kematian bapak tetapi juga menunjukkan bahwa keluarga kami tidak pernah sendirian. Tradisi tahlilan yang selama ini saya anggap tidak perlu dilakukan, nyatanya tradisi tersebut malah menjadi sebuah penghiburan bagi saya dan keluarga. Ritual kematian yang amat panjang dan awalnya banyak menguras energi ini berubah menjadi sebuah pengharapan baru untuk saya, keluarga, dan tentu saja untuk bapak.

Tahlilan menjadi sebuah ruang untuk menunjukkan kedukaan bagi orang-orang yang mengasihi bapak. Tahlilan ini bukan hanya sebagai penghantar doa melainkan simbol kehadiran, kebersamaan, dan penghormatan terakhir yang ditunjukkan untuk orang yang telah berpulang. Bapak berpulang tepat ketika hari lebaran, menyisakan trauma kehilangan mendalam untuk saya. Dan mungkin, para tetangga dusun memahami hal itu. Saya kini paham maksud bapak bahwa manusia memang betul makhluk sosial, bukanlah makhluk yang kekal dan abadi.

Manusia sampai kapan pun tidak akan pernah hidup sendiri, mereka akan selalu merasakan ketergantungan satu sama lain. Bahkan ketika mereka sampai pada lembaran terakhir kehidupan. Kematian bapak dan segala ritual kematian yang menyertainya muncul menjadi sebuah bentuk syukur atas kehidupan yang telah bapak jalani. Para tetangga yang selalu ada selama tujuh hari berturut-turut dan menemani saya beserta keluarga menjadi syukur atas serba serbi benang relasi yang bapak sulam selama bapak hidup.

Begitu pun ketika 40 harian bulan lalu, sebentar lagi 100 harian bapak akan tiba. Mungkin, ritual ini akan menjadi salah satu obat penyembuhan bagi luka duka. Atau mungkin juga sebuah alarm pengingat bahwa saya masih harus terus berduka setidaknya sampai tiga tahun setelah bapak tiada.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Suka pungut-pungut kucing, Kuatnya cuma minum kopi susu.

CLOSE