[CERPEN] Kala Hujan Membawamu Kembali

Kini telah kusadari, aku jatuh cinta sedalam ini. Hingga waktu pun tak mampu menghapusnya.

Advertisement

Andara melirik jam tangannya, jemarinya menghapus air mata yang sudah lama tertahan. Sepersekian detik kakinya sudah membawanya jauh berlari.

Hujan sudah lama reda. Andara bergegas mencegat taksi, membawanya sampai ke depan sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Dengan tergesak Andara menuju lift untuk menemui lelaki tampan yang telah 3 tahun lamanya bertunangan dengan dirinya.

Lift berdenting sebelum terbuka lebar, Andara melangkah masuk dengan mantap. Tak akan lagi ada ketakutan yang mengekangnya.

Advertisement

Matanya jatuh pada dinding lift yang memantulkan bayangan kakinya sendiri. Andara tertegun lalu berjongkok untuk mengikat tali sepatu yang lepas. Matanya mengembun, bahkan tali sepatu pun seolah turut menghukumnya, mengantarkan ingatan akan lelaki itu tanpa aba-aba.

Kenangan itu datang silih berganti, memutar kembali waktu 4 tahun lalu. Lelaki itu memimpin rapat tim sebelum para dokter melakukan tindakan medis pada pasien mereka.

Advertisement

Siap memasuki ruangan, Andara berjalan di sisi pria berbadan tegap dengan jas dokter itu. Dengan tatapan paling menawan yang pernah dikenalnya, lelaki itu mencegatnya. "Perbaiki dulu tali sepatumu." Oh Tuhan, hanya kalimat sialan itu, namun cukup bagi Andara untuk mulai memimpikannya.

Denting lift menyedot jiwa Andara kembali, seseorang akan masuk, jarinya secepat kilat menyapu air mata yang entah kapan mulai menetes.

"Anda…ra?” Lelaki itu sama terkejutnya dengan Andara.

"Ya…. Hai, Ben." Andara yakin wajahnya terlihat gugup.

"Ada apa, An? Tiba-tiba saja datang. Memberi kejutan sama sekali bukan dirimu." Ben tersenyum lebar, ingin memeluk wanita yang selama 3 tahun ini menemaninya, meski Ben tahu dirinya tak pernah ada di hati terdalam Andara.

"Mungkin ini akan sangat mengejutkanmu Ben, tapi…," lama terjeda, Andara berusaha mencapai kalimat itu namun gagal. “Maafkan aku,” sambungnya lirih.

"Maaf?" Ben mengulang kata yang terdengar seolah akan menikamnya perlahan. Firasat Ben buruk, tidak biasanya Andara ingin bicara perihal serius yang menyangkut Ben. Andara tipe orang yang terlalu tertutup, apalagi terhadap Ben.

Di lift itu, saat hanya ada mereka berdua. Andara merasakan detak jantungnya sendiri, matanya memerah. Mungkinkah ini akan mengecewakan orang tuanya mengingat pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Tapi Andara tahu bahwa Ben selama ini hanya bersandiwara dalam mencintainya. Ben hanya perlu dirinya untuk mewujudkan obsesi karirnya, tidak lebih.

Sebelum pernikahan ini terjadi dan tidak ada kesempatan lagi untuknya memperbaiki, ia harus mengatakan ini. Andara menghirup udara sedalam yang ia bisa, memejamkan mata demi mengumpulkan kekuatan untuk…"Kita akhiri saja, Ben."

Andara tersenyum pahit, tatapannya mengambang. Matanya mencuri pandang pada wajah Ben yang memucat.

"Kita sama-sama tahu bahwa tidak mudah melewati 3 tahun bersama, tanpa…cinta,” sambung Andara terbata.

Ben mengusap wajahnya yang kebas, tidak bisa berpikir jernih. Bisa-bisanya wanita yang terpaksa dilamarnya ini mengatakan hal yang terasa menyakitkan bagi Ben.

Setelah 3 tahun bersama, kenapa baru sekarang Andara mengungkapkannya. Seharusnya Andara mengatakan ini dulu, saat Ben tidak menaruh rasa apapun padanya.

"Apa karena lelaki itu?"

Andara diam membisu oleh pertanyaan Ben, bagaimana Ben tahu.

"Kau yang sudah meninggalkannya sendiri, An, lalu untuk apalagi?"

"Ben, kumohon…," air mata Andara berjatuhan, pertahanan Andara runtuh seketika saat ingatan ketika dirinya meninggalkan Reinaldi.

"Pulanglah! Kita bicarakan ini nanti," lift berdenting dan terbuka perlahan. Oh Tuhan ingin rasanya Ben memohon saat itu juga pada wanita di hadapannya. Ben bergegas meninggalkan Andara, mencoba melarikan kekalutan di hatinya. Ketakutan kehilangan wanita yang mulai dicintainya sejak dua tahun lalu itu menyelimutinya.

Andara berjalan perlahan, begitu gontai. Hingga sesaat setelah dia menyeret kakinya sampai keluar gedung kantor Ben, langit menyiramnya dengan segala ingatan bertubi-tubi. Cemooh saja dirinya, Andara tidak peduli. Meninggalkan pria tampan lagi mapan adalah hal bodoh, namun menjalaninya akan terasa hampa dan membuatnya rapuh.

Memang menerima pertunangan dengan Ben yang dijodohkan oleh orang tuanya adalah pilihan Andara 3 tahun lalu. Pun meninggalkan Reinaldi yang namanya telah lama ia simpan di hati. Saat itu Andara terlalu logis, dia terlalu realistis hingga berpura-pura tegar dan menepis perasaannya sendiri.

Perjodohan itu, Andara takut akan mengecewakan orang tuanya, takut jika jalan yang akan dilewatinya bersama Reinaldi akan begitu terjal dan berliku. Logikanya membuat takut akan banyak hal, Andara terlalu banyak berpikir.

Andara tidak menyadari bahwa selama ini cintanya pada Reinaldi masih berakar meski ditutupi berbagai usaha untuk melupakan. Nyatanya, ia masih menunggu lelaki pertama yang berhasil menawan hatinya. Hujan sore itu semakin deras, langit menghukumnya begitu keras.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE