Ketika Aku Menjadi Aing, Pemakaian Bahasa Daerah yang Dicampur Aduk

Sejak kecil hingga menginjakkan umur dua puluh tahun, belum pernah penulis meninggalkan Tanah Pasundan ini lebih dari satu minggu. Saat kuliah pun, penulis tidak sengaja memilih untuk menempuh pendidikan S1 di salah satu universitas di Jawa Barat. Namun, mungkin patut disyukuri karena kampus yang dipilih memiliki beragam suku bangsa di dalamnya. Sehingga, walaupun berkuliah di daerah yang sama, penulis masih bisa belajar di ruang yang memiliki dan mengakui keberagaman.

Advertisement

Sebagai seseorang yang dari balita sudah akrab dengan bahasa Sunda, tentu bukanlah hal yang sulit bagi penulis untuk membiasakan diri karena apa yang mesti dibiasakan jika sudah terbiasa? Namun, hal itu tentu berbeda dengan teman-teman yang merantau ke daerah ini. Terkadang mahasiswa yang merupakan orang Sunda perlu menjadi pemandu bagi mereka yang kurang fasih berbahasa Sunda agar dapat membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat maupun mahasiswa lainnya.

Berkuliah di daerah yang masih menggunakan bahasa daerah yang sama seharusnya membuat penulis tidak terlalu asing dengan daerahnya. Namun, sayangnya pemikiran itu penulis hempas jauh-jauh ketika mendengar salah satu teman sekelas yang merupakan perantau dari Jakarta berkata, Eh, Aing lupa gak bawa pulpen. Boleh minjem yang sia gak? Walaupun di kota asal penulis banyak teman-teman yang suka mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda, belum pernah seumur hidup penulis mendengar orang dengan leluasanya menggunakan kata aing yang dicampur dengan bahasa Indonesia sesantai itu.

Pasalnya, kata aing bukanlah sekedar kata ganti orang pertama dalam bahasa Sunda. Kata aing juga merupakan kata yang dikategorikan sebagai bahasa loma atau bahasa kasar yang digunakan oleh mereka yang setara atau seumuran. Begitupun kata sia yang merupakan kata ganti orang kedua yang termasuk bahasa kasar dalam bahasa Sunda. Sayangnya, penggunaan kata kasar ini terasa lumrah bagi beberapa teman yang merupakan perantau dari luar daerah Jawa Barat. Beberapa warlok (warga lokal) pun menormalisasi hal tersebut dan juga menggunakannya dalam keseharian.

Advertisement

Pernah suatu waktu di tahun 2020, penulis menemukan cuitan di suatu akun menfess Twitter (portal pengirim pesan tanpa nama) yang mengutarakan bagaimana ketidaknyamanan si pengirim terhadap mereka yang menggunakan kata aing sebagai kata ganti aku dengan alasan yang serupa. Namun, orang-orang di kolom komentar cuitan tersebut malah mengatakan kalau si pengirim pesan ini lebay (berlebihan) menanggapi hal tersebut. Bahkan ada yang malah membandingkan isu tersebut dengan anehnya penggunaan lo-gue oleh orang Sunda, terutama mereka yang dari Priangan Timur, dengan alasan aksen Sundanya  terlalu kental. Padahal, dua hal itu merupakan hal yang berbeda. Lagi pula, klaim dari mana yang menyatakan orang Priangan Timur aneh dalam menggunakan kata lo-gue? Gue nggak tuh!

Memang sebetulnya isu tentang penggunaan kata aing tersebut bukanlah suatu hal yang mendesak dan bukan suatu hal yang salah. Namun, perlu diingat oleh pembaca yang masih sering menggunakan kata aing agar lebih paham bahwasanya kata tersebut tak bisa digunakan di sembarang tempat, apalagi di depan orang yang jauh lebih tua dibanding pembaca. Terlebih lagi, bahasa Sunda merupakan bahasa yang berbeda dengan bahasa Indonesia dikarenakan ia memiliki tingkatan bahasa yang mengelompokan bahasa sesuai dengan kedudukannya (konteks saat ini jauh lebih ke usia dibanding strata, ada juga yang berdasarkan gender).

Advertisement

Maka dari itu, dalam rangka memperingati bulan bahasa, penulis mengajak pembaca untuk bijak dalam berbahasa. Terlebih dalam mencampur adukan bahasa, seperti halnya bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda. Lumrah sebenarnya untuk kita sekali-kali mencampur bahasa karena sebagian orang Indonesia adalah seorang bilingual atau trilingual seperti halnya yang disampaikan oleh IDN Times. Tetapi, sesuatu yang lumrah tidak lantas menjadi suatu pembenaran. Apalagi, jika kita menggunakan campuran bahasa Indonesia dengan bahasa daerah yang kasar. Selain tidak enak didengar oleh sebagian orang daerahnya, hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak sopan dan tidak menghargai budaya daerah setempat. Jadi, sebagai pemuda-pemudi Indonesia, mari kita lestarikan penggunaan bahasa yang baik dan benar!

Apakah Anda sudah memulainya?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE