Maaf Jika Saya Terpaksa Menjauh. Karena Jujur, Saya Orang Yang Sangat Pecemburu

Wanita itu,

Aku memang sudah lama menjaga jarak dengannya.

Bukan tanpa sengaja, tapi memang sengaja. Aku sengaja menjauh, menghindar, menutup rapat-rapat telinga. Bukan, dia bukan sosok yang layak untuk kuasingkan memang. Dia sama sekali bukan penjahat kelas kakap. Ini memang murni salahku. Dan aku sedang berjuang untuk memperbaikinya. Berjuang untuk menyapanya kembali, entah kapan.

Wanita itu,

Beberapa hari lalu sialnya kita berpapasan. Ya, aku hampir saja bertatap muka dengannya. Tapi untungnya aku bisa secepat kilat melenyapkan diri dari pandangannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menata diriku bila kita jadi berjumpa kala itu. Barangkali air mataku akan tumpah. Entah karena kerinduan atau justru kemarahan. Ya, aku memang se-childish itu.

Traumata ini memang harus segera kuselesaikan. Sudah berkali-kali aku memimpikan hal yang sama. Tentang itu-itu saja. Ada kamu, dan wanita itu. Ada romantisme, ada pula sendu yang melingkupinya. Mimpi yang berulang-ulang ini mengisyaratkanku bahwa ada traumata yang harus segera kuselesaikan. Ya, aku harus segera menyelesaikannya. Dan ini sama sekali tak memerlukan campur tanganmu, pun wanita itu. Ini hanyalah masalah hati, yang mungkin belum sepenuhnya merelakan kau pergi. Sebab merelakan memang tak semudah menjatuhkan hati. Moga saja, aku segera menemukan jalanku, jalan terang sehingga kau bisa kurelakan. Karna aku sudah terlalu lelah dengan traumataku. Aku sudah terlalu muak dengan mimpi-mimpi romantisme itu.

***

Pernah suatu hari,

Di suatu majlis ilmu, wanita itu menghampiriku.

Tetiba saja ia berlari kearahku lalu sekonyong-konyong memelukku erat. Aku pun tak bisa menghindar. “Astagfirullahaladzim.. mimpi buruk apa lagi ini????” (kataku dalam hati). Mau bagaimana lagi, tak ada pilihan lain selain menerima kenyataan bahwa ia ada di hadapanku. Persis di hadapanku. Ia begitu ceria kala itu. Entah karna bertemu denganku, atau karna ada sebab lain. Aku pun segera menyapanya dan mengkondisikan gemuruh di hatiku agar tidak meluap.

“Mbak, kemana aja? Aku susah sekali menghubungimu,” tanya wanita itu.

Aku menelan ludah. Dengan sangat hati-hati kujelaskan padanya, “Maaf dek, mbak lagi sibuk. Aku sempat ingin menghubungimu, tapi nggak bisa.”

“Gak bisa mbak? Kenapa?”

“Maksudku, aku terlalu sibuk sampai-sampai nggak sempat menghubungimu,” jawabku mencoba meyakinkan.

Ya, aku memang sengaja menjaga rahasia ini. Rapat-rapat di dalam hati. Biar saja ini menjadi traumata, yang entah kapan sembuhnya.~

Mbak, aku mau bilang …”

Seakan tahu apa yang akan ia sampaikan, aku pun segera memotongnya, “Sudah, mbak sudah tau, Mau. Nggak perlu kau ceritakan lagi, hehe,”

Ia pun segera menanggapi, “Loh enggak mbak, aku cuma mau bilang terimakasih. Mbak aku mau bilang makasih aja susah banget ya..”

“Mau..”

Mbak, mohon dengerin dulu, aku mau ngomong.. beberapa bulan ini mbak kemana? Sesibuk itukah? Semua akun media sosial mbak kenapa nggak bisa dihubungi? Padahal aku cuma mau bilang *Terimakasih*. Mbak, aku sudah menemukan kebahagiaanku sekarang. Aku sudah menemukan cinta sejatiku, dan itu berkat mbak. Bahkan, aku sangat berharap mbak datang ke resepsi kami, tapi…”

Kita terdiam beberapa saat.

Lalu dengan hati-hati aku mulai berbicara, “Kamu, e… kalian, sudah menikah?

Iya mbak, sudah 3 minggu yang lalu. Ahh kenapa mbak nggak datang? Padahal aku ingin mengumumkan ke semua tamu undangan bahwa mbak lah yang mempertemukan kami.”

“Aih.. aku cuma perantara Mau, itu semua sudah kehendak Tuhan. Selamat ya,” kataku pelan.

Ahh, kali ini aku tak bisa lagi menyembunyikan gerutu hati. Satu demi satu air di sudut mataku berhamburan keluar. Aku tak bisa menghentikannya. Aku pun segera memeluk wanita itu erat-erat. Ahh selama ini aku memang ingin memeluknya. Aku menyayanginya sebagaimana aku menyayangi adikku sendiri. Tapi entah mengapa, perasaan jahat selalu saja menang menguasai hatiku. Mungkin selama ini ada rasa kesal yang terselubung, sampai-sampai menyapanya saja aku tak mau. Ahh atau karna aku terlalu takut merasakan kesakitan lagi? Entahlah, apa yang setelah ini ia tanyakan pada tangisku.

Ahahahh maaf ya Mau, aku cuma terharu. Maaf, air mataku membasahi punggungmu,” kataku seusai pelukan itu.

“Apa yang mbak sembunyikan? Aku merasa ada yang janggal selama ini. Mengapa persahabatan mbak dengan mas Ahmad mulai pudar? Apa karena aku?"

Kamu ngomong apa Mau? Kata siapa? Aku dan Ahmad masih berteman baik. Hmm.. Ahmad sangat baik Mou, jadi tak pantas kalau aku memutuskan silaturrahim dengannya. Dan kamu Mau, ahh aku tak pernah menyangka kalau kau adalah tulak rusuk yang selama ini dicarinya, haha,” kataku, kepada wanita yang sering kupanggil Mau itu.

“Benarkah? Kalian tetap berteman baikkan? Mbak, terimakasih banyak.. Terimakasih sudah membantu mas Ahmad menemukan kekasih sejatinya. Aku sangat bahagia memilikinya,” ucapnya yang membuat palungku makin terisak.

“Mau, jaga dia ya.. :') Maaf aku harus segera pergi, karna masih ada urusan. Sampai jumpa.”

Bukan tanpa sengaja aku memutuskan untuk pergi. Aku harus pergi. Ya, aku harus pergi sebelum gemuruh di hatiku gagal menahan rahasia hati yang terus-terusan mendesak untuk keluar. Maka itu aku harus pergi, meninggalkan wanita itu dengan tanda tanya yang mungkin menyelinap dalam naluri. Ya, memutuskan untuk beranjak pergi adalah pilihan terbaik agar cemburuku yang meradang ini tak berhamburan keluar.

***

Pernah suatu hari —aku bermimpi yang demikian. Ya, untungnya pertemuan itu hanya ada di dalam mimpi. Pelukan itu hanyalah bunga tidur yang sampai saat ini selalu menghantui.

Haha, untungnya hingga saat ini aku masih bisa menjauhimu, Mau. Tak ada pertemuan di dunia nyata. Yang itu artinya, rahasia hatiku akan tetap terjaga.

Tiada yang tahu, selain aku… dan Ahmadmu.

Mau, maafkan aku menjauhimu. Sebab aku cemburu. Sebab aku mencintai lelakimu. Sungguh, tak lain maksudku, hanyalah agar bisingnya cemburuku tak melahirkan rasa benci yang terselubung padamu. Maafkan aku.

Semarang, 12/19/2016

Diah Fatimatuzzahra

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pada akhirnya sang waktu menuntut saya untuk menyadari dua hal; bahwa tanpa MEMBACA saya bukan apa-apa, pun tanpa MENULIS saya bukan siapa-siapa. So, bacalah! bacalah! bacalah! lalu MENULISLAH!

24 Comments

  1. Rio berkata:

    Dalam banget ?

  2. Fadila Nazian berkata:

    Ih kok namanya Ahmad juga. ?

  3. ,nyakitin sumpahhh, pernah juga ..���

  4. Cerita di atas hanyalah fiktif belaka ya mbak, mas.. :v

  5. Jhepii Avaira berkata:

    Nur Putri Handayani