Masih Bangga Menjadi Orang Indonesia? Coba Tanyakan Lagi Pada Dirimu.

Inikah Indonesia yang saya banggakan?

Selama ini saya selalu bangga dengan keragaman dan kekayaan  budaya, bahasa, agama, dan kekayaan alam kita. Betapa tidak? Dengan jumlah sekitar 700 suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara, dengan tipe kelompok masyarakat yang berbeda, agama yang beraneka ragam, pakaian dan rumah adat yang unik, bahasa daerah, adat istiadat, kesenian, dan makanan khas daerah, Indonesia dapat menjadi sebuah negara kesatuan yang menjunjung tinggi nilai Bhinneka Tunggal Ika.

Advertisement

Sejak kecil saya dididik untuk menghormati dan menghargai keanekaragaman yang dimiliki Indonesia. Saya, yang berasal dari keluarga beragama Islam, disekolahkan di sekolah berbasis agama Katolik sejak sekolah dasar sampai menengah. Akan tetapi, orang tua tetap mewajibkan saya mengaji setiap minggu. Saya juga belajar menari berbagai tarian daerah, dari Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi dengan penuh kebanggaan.

Saat berkesempatan berkuliah di Australia, saya aktif membantu mengajar bahasa Indonesia dan tari-tarian tradisional di beberapa sekolah dasar setempat dengan perasaan bangga.  Karena menguasai beberapa tarian daerah, saya juga sempat diikutsertakan dalam rombongan misi kebudayaan duta besar Indonesia ke beberapa kota di Australia.

Pengalaman tersebut begitu membekas dan membuat saya benar-benar bangga sebagai orang Indonesia!

Advertisement

Tapi Sekarang Saya Malu Menjadi Orang Indonesia

Mengapa demikian?

Advertisement

Setara Institute dalam siaran persnya pada tanggal 11 November 2019 memaparkan potret 12 tahun kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) di Indonesia.  Riset lembaga ini menunjukkan fakta bahwa telah terjadi 2.400 peristiwa pelanggaran KBB. Ini artinya telah terjadi 16.7 peristiwa  per bulan atau 4,22 peristiwa per minggunya. Ini merupakan angka yang sangat merisaukan.

Ternyata kita tidak dapat merawat keharmonisan dalam keberagaman kita, khususnya keberagaman beragama dan berkeyakinan, yang justru diajarkan kepada kita sejak dini melalui mata pelajaran PPKN.

Di sekolah kita wajib menghafal kelima sila dari Pancasila, sebagai pandangan hidup yang menjabarkan tentang keteraturan serta pola perilaku masyarakat di wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini. Para pendiri negara kita telah merumuskan dasar negara kita dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian, memasukkan rasa keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, untuk mengantar bangsa kita ke masa depan yang lebih baik.

Tentu para pahlawan kemerdekaan kita akan sangat kecewa melihat apa yang terjadi di masyarakat sekarang ini. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah tidak menjadi urat nadi kehidupan antar kaum beragama di Indonesia ini. Begitu banyak ujaran kebencian antar penganut agama yang berbeda di media sosial. Begitu cepatnya orang tersulut emosinya begitu melihat, mendengar, atau membaca berita yang menyinggung agamanya.

Bahkan, hanya mendengar ceritanya saja tanpa mengecek kebenarannya, orang bisa ikut-ikut berdemo di jalanan. Masyarakat dengan mudahnya menghujat orang lain dengan kata-kata kasar, menghakimi orang lain yang dianggap menghina agamanya, dan mengajak kelompoknya untuk beramai-ramai mengusung orang tersebut sebagai penista agama.

Tidak ada lagi aroma nilai toleransi, persahabatan, kebangsaan, dan persatuan yang merebak. Semua merasa paling benar dan paling berkuasa. Yang tercium adalah rasa kebencian, ketidakpedulian, kekerasan, dan kepuasan melihat orang lain disakiti atau dirampas hak-haknya. Sungguh menyedihkan! Kesan bangsa Indonesia yang ramah, sopan, dan peduli sesama telah sirna.

Inikah Indonesia yang saya banggakan?

 

Renungan Atas Pendidikan Nilai Toleransi Agama

Jadi, apa yang telah terjadi?

Saya bukanlah seorang akademisi atau pengamat sosial yang memiliki wawasan luas untuk memberikan hasil analis atas apa yang terjadi di masyarakat. Namun, saya berusaha merenung dari sudut pandang seorang ibu dan orang tua yang peduli terhadap masa depan generasi berikutnya.

Anak-anak di sekolah, termasuk anak-anak saya dahulu, wajib menghafal semua agama yang diakui negara. Mereka mampu menyebutkan nama rumah ibadahnya, sebutan untuk pemuka agamanya, dan hari raya yang diperingatinya. Mereka hafal di luar kepala semata-mata karena ingin memperoleh nilai PPKN yang bagus. Bagaimana dengan penerapannya sehari-hari di sekolah? Mungkin hampir tidak ada!

Kebanyakan anak sekarang bersekolah di sekolah berbasis agama tertentu, yaitu sekolah Katolik, Islam, Kristen, Buddha, atau yang lain. Ini adalah hal yang positif bila di maksudkan agar anak-anak memiliki fondasi nilai-nilai agama yang dianutnya. Midah-mudahan bukan dengan tujuan melempar tanggung jawab pendidikan agama sepenuhnya kepada pihak sekolah.u

Yang perlu dipantau oleh orang tua adalah bahwa pihak sekolah tetap mengenalkan murid pada agama-agama lainnya dan mengajarkan cara bersikap kepada penganut agama lain.

Anak-anak saya dahulu bersekolah di sekolah dasar berbasis agama Islam. Akibatnya, mereka tidak memiliki teman sekolah yang beragama lain. Begitu juga semua teman sekolahnya! Dalam berbagai kesempatan, mereka pernah menanyakan kepada saya bagaimana cara orang Kristen berdoa.

Kebetulan saya masih hafal doa-doa yang pernah diajarkan ketika saya bersekolah di sekolah Katolik. Maka, saya dapat menjelaskan. Anak-anak sangat tertarik pada hal-hal yang belum diketahuinya. Kami juga beruntung memiliki tetangga-tetangga yang beragama lain, sehingga anak-anak sempat mengalami pertemanan antar agama.

Sekolah Seyogyanya Memiliki Siswa dengan Beragam Agama

Kalau saja sekolah yang dibangun dan diayomi oleh yayasan pendidikan berbasis agama tertentu tetap diharuskan mempertahankan keragaman siswanya, baik keragaman suku, agama dan budayanya mungkin.. 

Pemikiran ini sebenarnya mengemuka ketika anak pertama saya akan memasuki jenjang SMA. Dia bersikeras ingin masuk ke sekolah negeri. Alasan utamanya adalah ingin memiliki teman dari segala kalangan, latar belakang ekonomi dan agama. Bersekolah di sekolah Islam swasta membuatnya terlalu sempit dalam memandang situasi dan permasalahan. “Bagaimana saya tahu cara berpikir orang non-Islam? Siapa tahu ada hal-hal baik yang belum saya pelajari dari mereka?” Begitu argumentasinya.

Sebenarnya saya agak terkejut sekaligus merasa bersalah. Apakah selama ini sebenarnya dia tidak setuju disekolahkan di sekolah Islam? Untungnya dia menyampaikan terima kasih bahwa dia sudah diperangkati dengan fondasi keIslaman untuk bekal hidupnya. Akan tetapi, dia membutuhkan bekal lainnya untuk masa depannya, yaitu keluasan wawasan dan kemajemukan pergaulan untuk persiapan terjun ke masyarakat. Wah senang sekali saya mendengarnya. Bukan saja karena ternyata dia sudah dapat menentukan sendiri apa yang dibutuhkan, tetapi juga karena itu berarti pengeluaran saya untuk biaya sekolahnya berkurang!

Selanjutnya saya memantau perkembangan psikologis maupun akademis anak saya tersebut selama dia bersekolah di sekolah negeri. Tentu ada naik-turunnya. Perubahan dalam proses pendidikan di sekolah swasta ke sekolah negeri sudah pasti berdampak pada prestasinya di sekolah. Namun, dia berhasil mengatasinya dengan baik. Semua yang dialaminya merupakan bekal hidup yang luar biasa!

Setelah lulus SMA sampai sekarang dia masih menjalin pertemanannya dengan teman-teman SMAnya, berkirim kabar, dan saling mengunjungi. Saya yakin hal ini akan mewarnai kehidupannya dan kehidupan teman-temannya seterusnya.

Semangat keagamaan, toleransi, kebangsaan, kesetaraan, dan keadilan (5 sila Pancasila, bukan?) Seyogyanya dapat dikobarkan dalam kehidupan anak-anak di sekolah. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pengajar, penggiat pendidikan anak, pekerja sosial, ibu dari tiga anak yang peduli terhadap masalah-masalah sosial dan pendidikan untuk masa depan bangsa

CLOSE